[3] Fase Berikutnya

Start from the beginning
                                    

"Ya kita lagi jalan, kak!" Apri jadi ngegas, kesel juga tiba-tiba digas. "Masa kita jalan mau liat ke atas gitu!?"

"Iya! Liat aja ke atas!"

"Lah?" Jorji ikutan bingung, ini Rian datang-datang ngegas kaya jomblo kurang belaian.

"APA?!" Rian kembali membentak dua gadia tidak berdosa itu. Kesel karena merasa diliatin, mana lagi lapar pengen ngunyah. "Sana pergi! Gak usah liat-liat!"

"Sensi amat dah, kak!" Jorji geleng-geleng. Sama Apri mereka ngedumel pelan. “Heran, gak kak Ony, gak mas Jombang kalo hamil sensi amat.”

"Kalian ngatain gue? Gak suka sama gue?" Rian kesal, emosi jadinya gara-gara lapar terus ketemu dua manusia ini.

"Yee, siapa yang ngatain sih elah? Kakak yang sensitif kaya pantat bayi!" Apri hilang kesabaran, kata-kata yang keluar dari mulutnya jadi tidak tersaring padahal Fajar dan Jojo udah sering ngingetin.

"Lo ngatain gue kaya pantat?"

"Ini ada apa sih ribut-ribut?" Hendra keluar saat mendengar suara yang familar, diikuti anak-anak ganda putra pratama yang dia latih. Anak-anak muda yang pengen tau ada keributan apa siang-siang begini. "Loh Rian, kenapa kemari?"

"Ini loh, Pah! Apri sama Jorji ngatain Rian!" Rian sekonyong-konyong menghampiri Hendra.

"Nggak, Koh. Kita nggak bilang apa-apa," sangkal Apri nggak terima dituduh padahal dia sama Jorji cuma lewat doang.

"Itu tadi Rian katanya kaya pantat, Pah!" Rian bersungut-sungut mengadu pada Papahnya. Lalu bergantian mendelik menatap Apri dan Jorji.

Sedangkan Hendra hanya bisa geleng-geleng aja melihat kelakuan anaknya yang persis seperti Ahsan saat hamil. Bawaannya ngegas dan jutek sama semua orang. "Sudah, sudah, Rian kemari mau cari Fajar 'kan? Dia ada di dalem, sana kamu masuk. Jorji sama Apri sana jalan lagi."

"Awas, ya kalian!" gertak Rian sebelum berbalik dan lanjut jalan nyamperin Fajar di dalem.

"Dih!"

"Astaghfirullah, cobaan."



.



“Kamu kenapa sih, Dek, marah-marah sama Jorji sama Apri, biasanya juga akur.” Fajar nanya sehabis membantu Rian pasang seatbelt.

Sekarang mereka udah ada di mobil mau pulang. Rian yang ditanya pasang muka sebal, cemberut.

“Ya abis mereka ngeledekin aku.”

“Emang mereka ngomong gimana?”

Rian diam. “Nggak ngomong apa-apa, cuman ngeliatin aku, kan sebel!”

Fajar narik napas. “Mereka ngeliatin kamu karena kangen, kali. Kan lama gak ketemu.”

“B-bukan karena Ian gendut?”

Lalu Fajar senyum. “Kamu tuh, apa salahnya sih kalo gendut? Kan gendut juga karena dedek, berarti dedek sehat di dalem sini. Iya kan, anaknya Ayah?” Katanya sambil ngelus-ngelus perut Rian. Rian yang diperlakuin kaya gitu jadi diem.

“Aku cuman gak pede, Mas.” Rian nunduk, rautnya sedih. Fajar yang ngeliat Rian begini lagi-lagi ngerasa bersalah. Rian begini juga karena dia.

“Mas suka kamu apa adanya, kok.” Fajar narik dagu Rian buat natap dia, ngelempar senyum, Rian balas senyum.

“Udah, yuk, katanya mau beli JCO.”

Rian memekik senang waktu Fajar menyebut rencana awal mereka. Fajar cuman bisa menciumi pipinya gemas. Lalu mobil mereka bergerak meninggalkan pelatnas.

.

Saat mobil civic itu terparkir di carport rumah, Fajar melirik Rian yang tertidur di kursi penumpang. Ada kerdus donat yang tersimpan di pangkuannya, sisa beberapa potong dimakan Rian. Fajar mengelus rambut Rian pelan. Senang bisa membuat mood suaminya lebih baik hari ini. Bagi Fajar, trimester kedua kehamilan Rian adalah rollercoaster. Rian bisa tiba-tiba manja dan menyenangkan lalu ngambek dan marah-marah hampir sama semua orang. Napsu makannya yang meningkat juga buat Fajar senang, meski Rian berulang kali merasa kurang percaya diri dengan bentuk tubuhnya saat ini. Tapi Fajar terus meyakinkan Rian, bahwa apapun yang terjadi, dia akan melaluinya berdua, bersama Fajar.  Hingga fase berikutnya datang.






.






“Mas?”

Fajar merasakan badannya diguncang pelan. Lalu matanya terbuka, berkedip singkat sebelum berbalik menghadap Rian yang tertidur di sisi ranjang yang lain. Suaminya itu terlihat lelah, ada kantung mata yang menemani pipinya yang bulat.

Belakangan Rian susah tidur. Sering mengeluh sakit pinggang atau sesak napas karena posisi tidur yang tidak senyaman sebelumnya. Belum lagi Rian sering terbangun tengah malam karena pengen pipis. Fajar mau gak mau terbiasa bangun ketika merasakan guncangan kecil di ranjang mereka. Seperti malam ini, kamarnya temaram, tapi Fajar masih bisa melihat raut tidak nyaman Rian.

“Kenapa?” Fajar bertanya serak.

“Nggak bisa tidur.” Jawab Rian, beringsut ke dada Fajar. “Dedek nendang terus dari tadi.”

Sebelah tangan Fajar terangkat, menyentuh perut Rian, lalu mengelusnya dengan gerakan memutar.

“Anaknya Ayah lagi apa di dalem, hm? Lagi main bola, ya? Besok lagi dong mainnya, Bunda mau tidur nih,” Fajar bermonolog dengan mata tertutup, Rian yang melihatnya gemas sendiri.

Lalu gerakan di perutnya berhenti, Rian menghela napas lega dan menyamankan diri di pelukan Fajar.

“Udah hampir seminggu lho, Bun, dedek aktif terus. Besok periksa aja, ya?”

Telinga Rian agak memanas mendengar sebutan “Bunda” keluar dari bibir suaminya. Sudah  32 minggu, dan Fajar tiba-tiba berinisiatif memanggilnya dengan sebutan itu. Katanya agar terbiasa sebelum anak mereka lahir beberapa minggu lagi.

“Ayah yang nganter, ya?”

“Iya, abis latihan nanti Ayah jemput.” Fajar menarik diri untuk menatap matanya. “Ada lagi yang sakit? Punggung kamu masih sakit? Kaki kamu pegel, gak? Mau dipijit?”

Rian menggeleng lucu. “Nggak. Mau bobo aja. Peluuuk.”

Lalu Rian menghambur ke pelukan suaminya. Kepalnya merasakan dada Fajar bergetar karena tertawa. Punggungnya diusap-usap pelan oleh Fajar. Nyaman.

Di fase terakhir ini, Fajar kira akan lebih baik, tapi justru Rian berubah menjadi sedikit sensitif dan mudah menangis. Rian dan bayinya tumbuh sehat, dia sudah berhasil mengatasi ketidakpercayaan dirinya. Juga tidak lagi moody dan suka marah-marah. Tapi perubahan fisiknya membuat kegiatan Rian agak lebih terhambat. Rian jadi mudah pegal. Pinggangnya sakit. Kaki-kakinya bengkak dan nyeri kalau dibuat banyak berjalan. Belum lagi seperti malam ini dan malam-malam sebelumnya dia jadi susah tidur. Dan juga, menjelang hari H, Rian jadi mudah khawatir. Khawatir kalau bayinya kenapa-napa, khawatir tentang proses persalinan, dan  khawatir kalau ternyata dia belum siap mengurus satu napas baru dalam dekapannya.

Tapi seperti fase-fase sebelumnya, Fajar ada disana. Memenuhi apa yang dia butuhkan, membuatkannya sarapan, memijit kakinya ketika kelelahan, memeluknya ketika dia terjaga sampai jatuh terlelap. Menjadi suami yang selalu siaga, tidak pernah lengah. Memastikan Rian dan bayinya merasa cukup dan aman. Maka jika Fajar ada untuknya ketika fase-fase berikutnya datang, Rian sudah siap dan merasa cukup.








[3] Fase Berikutnya








A/N :

Nulis chapter ini susah sih, kaya kita udah ada bayangan tapi mau menuangkannya susah minta ampun. Sedangkan muka grumpy Rian berkali-kali terbayang.

Setengah dari plot ini terinspirasi dari video video Rian yang ribut dan tabok tabokan sama Apri Jorji. Lucu aja liat mereka ribut. Lucu banget Rian tuh! Ngebayangin dia marah-marah ngegas tapi gemesin. Trus cari makan maunya donat sekotak penuh tapi yang dimakan duluan gorengan. Yang sabar ya, Jar. Makanya kamu jangan mau enaknya doang, yang susah malah se- Cipayung😅

Au revoir!

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 09, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Keluarga CipayungWhere stories live. Discover now