[1] Ayah dan Kehilangannya

2.6K 395 65
                                    

Sore di akhir pekan, Hendra baru selesai mandi dan duduk ruang tengah untuk menonton teve. Ada secangkir kopi mengepul yang diletakkan Ahsan untuk Hendra di atas meja. Lalu suaminya itu kembali ke kamar untuk mandi.

Teve di depannya berpendar. Suara penyiar berita berisik mengisi kesunyian rumah. Hendra memperhatikan sekeliling rumahnya yang kosong. Hanya ada dirinya dan Ahsan sekarang. Rian sudah pergi. Mendadak Hendra merasa kesepian.

Rian anak yang pendiam. Kehadirannya di rumah tidak membuat banyak keramaian. Satu-satunya yang mengisi kesunyian rumah hanya Ahsan, tabiatnya yang mudah bicara dan marah-marah menjadi satu-satunya sumber keramaian. Rian memang pendiam, tapi ketiadaannya merubah banyak hal di rumah ini.

Hendra melirik pigura foto di atas teve. Satu pigura besar yang ada di tengah adalah foto pernikahannya dengan Ahsan hampir 25 tahun lalu. Disampingnya, banyak pigura kecil-kecil yang mayoritas diisi oleh foto Rian. Saat Rian berulang tahun yang pertama, saat Rian pertama kali menginjak bangku taman kanak-kanak, saat Rian memenangkan kejuaraan bulutangkis pertamanya, saat Rian lulus SMA, saat Rian memenangkan medali perak Asian Games bersama Fajar, dan yang terakhir, pigura yang paling baru diantara yang lainnya; foto pernikahan Rian dan Fajar.

Belum genap 3 bulan sejak Rian pergi dari rumah dan tinggal bersama Fajar. Putranya itu akhirnya memutuskan cuti dari bulutangkis sampai bayinya lahir. Sedangkan Hendra akan sibuk memilihkan pengganti Rian untuk menantunya, Fajar. Dalam cuti panjangnya itu, Rian memilih tinggal di rumahnya dengan Fajar karena suaminya itu akan lebih sering pulang daripada tidur di asrama. Itu berarti, intensitasnya bertemu Rian akan semakin berkurang. Hendra diam-diam cemburu. Rian, putranya satu-satunya, yang saat kecil tak pernah lepas darinya, yang saat kecil selalu menangis dalam pelukannya sehabis kalah bertanding, yang tidak pernah bersandar selain padanya, kini menemukan rumahnya yang lain, pulang dalam pelukan suaminya.

Tiga bulan lalu, berbeda dengan Ahsan yang bereaksi terang-terangan tentang pernikahan Rian, Hendra justru sebaliknya. Laki-laki itu sering terduduk atau diam-diam menyusup ke kamar Rian dan memperhatikannya saat terlelap. Memikirkan hari pernikahan Rian yang akan datang. Membayangkan putranya akan diminta oleh pihak luar, mengurai tali perlindungan yang dia sematkan pada Rian sejak pertama kali putranya lahir, lalu mengikhlaskannya untuk mengikat janji dengan pria lain di depan matanya.

Para orangtua bilang, hal tersulit yang dihadapi seorang Ayah adalah, melihat anaknya yang susah payah dia besarkan dengan keringat dan air mata, direnggut darinya ketika menikah. Hendra akhirnya mengerti perasaan itu, dan dia terlampau menyesal. Saat waktu itu tiba, dia belum sempat memberikan seluruhnya pada Rian. Perhatiannya, pelukannya, menunjukkan rasa bangganya, semuanya. Dia begitu terlena melihat putranya tumbuh dengan baik, merasa waktu akan berbaik hati mengizinkan Rian berlama-lama bersama mereka, namun Rian direnggut darinya secara tiba-tiba. Hendra tidak bisa mengulang waktu. Baru kali ini, dia merasa kehilangan.

Tangis diam Rian pada malam sebelum pernikahannya, ucapan maaf Rian yang terselip dalam perkataannya, pelukan terakhir Rian sebagai putra kecilnya, Hendra teringat semuanya seolah baru kemarin terjadi. Rasa tidak relanya membumbung tinggi. Namun sekelebat bayangan Fajar terlintas. Tatapan mata Fajar padanya, keyakinan dalam setiap ucapannya, kekuatan dalam genggaman tangannya, dan air mata Fajar yang mengalir setelah ijab qabul, membuat Hendra luruh seketika. Setidaknya, putranya dimiliki oleh orang yang tepat. Dan Hendra harus paham, bahwa mungkin tugasnya sudah dia selesaikan dengan baik.

Siaran berita sudah berganti sinetron murahan. Kopinya di atas meja sudah dingin. Hendra bersandar lega di sandaran sofa. Ahsan yang baru selesai mandi terduduk di sampingnya, bau sabun yang segar menggelitik hidungnya.

"Mikirin apa?"

Hendra melirik Ahsan di sebelahnya. "Nggak ada," lalu membawa laki-laki itu ke pelukannya. Ahsan menurut saja. Keduanya bergerak nyaman dalam diam.

Suara mobil terdengar dari luar. Selanjutnya ada suara kenop pintu yang terbuka dan ucapan salam yang pelan. Hendra menoleh dengan perasaan luar biasa lega. Ada Rian disana, memasuki ruang tengah dengan Fajar di belakangnya. Pipi Rian yang gemuk merah merekah, bajunya yang longgar tidak bisa menutupi gundukan halus di perutnya, senyum malu-malu yang Hendra turunkan padanya ada pada belah bibirnya.

Rian meraih tangan kanannya untuk dikecupnya pelan, lalu putranya itu menghamburkan diri dalam pelukannya. Bertingkah persis seperti apa yang dia lakukan saat masih kecil dulu.

"Kangen Papah," bisikan Rian sore itu mengingatkan Hendra bahwa, Rian yang sedang bergelung dalam pelukannya itu akan selalu menjadi putra kecilnya.




.



"...dan satu hal yang nggak akan pernah Rian lupakan adalah, ketika Papah menitikkan air mata saat menikahkan Rian dengan pria pilihan Rian. Rian sayang Papah dan akan selalu menjadi putra kecilmu yang manja."

Rian.







[1] Ayah dan Kehilangannya.






A/N :

Padahal maunya humor, tapi kok jadi begini. Yasudah.

Mau menunjukan, kalau Ahsan mencintai Rian dengan vokal, Hendra mencintai putranya itu dalam diam. Yang jelas, mereka adalah orangtua terbaik bagi Rian.

Keluarga CipayungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang