Jeongin langsung narik tangan Felix lalu pergi meninggalkan Hwall yang bungkam karena perkataannya.

"Jeong, lo yakin? G-gue aja gak tau mereka masih di sekolah atau enggak," bisik Felix.

"Kita gak bakal tau sebelum ngecek, kan?"

"Ya, lo bener. Kalian gak bakal tau sebelum ngecek."

Sontak langkah mereka berdua terhenti. Mereka saling bertatapan lalu mengadahkan kepala mencari sumber suara.

"Halo semua, gimana? Dikunci di sekolah enak, kan? Makanya, taat peraturan sekolah, dong. Pulang setelah bel sekolah bunyi. Kata ketos kalian juga gitu, kan?"

"Woi! Lo siapa?!"

Jeongin terlonjak kaget pas Felix teriak. Ya iyalah, suara Felix berat ditambah suasannya sepi.

"Ada yang gak beres," ucap Hwall yang entah sejak kapan udah berdiri di samping Jeongin.

"Bagi yang masih kekunci sabar, ya. Nanti juga bakal dibuka, kok."

"Jadi masih ada orang di sekolah?"

Hwall dan Felix serempak mengangguk.

"Karena kalian yang ada di sekolah sekarang, gue punya game yang seru. Kalian cuma perlu sembunyi dan kumpul di lapangan pas gue nyuruh kalian. Kalian harus sembunyi dari penjaga, jadi kalo ketahuan ya mati."

"LO GILA HAH! MAU LO APA!"

Felix udah nggak bisa membendung amarahnya lagi. Rasanya dia ingin mengobrak-abrik sekolah dan menghajar orang itu sekarang juga.

"Tapi tenang, nanti gue kasih clue tentang penjaga, traitor, sama pembuat game ini, kok. Jangan nyoba buat kabur! Karena gue bisa bunuh kalian langsung. Oke, game dimulai."
















































"Sial!" Umpat Hyunjin sambil menendang pintu di depannya.

Hyunjin emosi pas denger suara dari speaker sekolah yang bilang kalau mereka harus main game yang bisa menghilangkan nyawa.

Guanlin yang melihat Hyunjin nggak menyerah buat dobrak pintu hanya bisa diam sambil duduk di kursi panjang yang terletak di dekat pagar pembatas.

Di sampingnya ada Jinyoung yang duduk bersandar dengan mata terpejam. Semenjak kekunci di rooftof dia jadi pendiam.

"Guanlin, bantuin gue napa!" Teriak Hyunjin kesal karena nggak ada yang bantuin dia.

"Males ah, Jinyoung aja gak bantuin," balas Guanlin cuek.

"Jinyoung, bantuin gue!"

Jinyoung bergeming. Matanya masih terpejam, tapi tangannya terkibas, maksudnya jangan ganggu.

"Katanya ketos yang baik, masa temen sendiri gak dibantuin," bujuk Hyunjin.

"Mending nikmatin angin, adem."

Hyunjin mengernyit heran. "Aneh amat lo. Ini masalah serius, Young."

Jinyoung berdecak lalu membuka matanya. "Kita cuma punya dua pilihan. Kekunci disini atau ketahuan penjaganya."

"Maksud lo?"

"Penjaganya gak mungkin bisa buka pintunya, lo aja gak bisa dobrak. Kalo kita turun, bisa aja kita ketemu sama penjaganya dan berakhir mati dibunuh."

"Tapi kita bisa nyari tempat sembunyi secara diem-diem."

"Mau ke rooftof ada tangga, lo dobrak pintunya otomatis lo bakal kejengkang dan jatoh ke bawah."

Hyunjin mendengus. Jinyoung itu jago banget yang namanya bikin orang nggak bisa berkata-kata. Mana omongannya bener semua.

"Terus kita mau disini sampe pagi? Yang bener aja!" Hyunjin mulai frustasi bung.

"Tunggu aja, pintunya pasti kebuka sendiri."

Guanlin yang denger itu langsung memicingkan matanya. "Tau dari mana, Young?"

"Tadi orang yang di speaker ngomong 'yang masih kekunci sabar, ya'. Itu udah jelas kalo orang itu bakal bukain pintunya."

Sekarang Guanlin yang bungkam.

Krieett

Hyunjin yang ada di deket pintu berjengit kaget pas pintu kebuka sendiri.

Melihat itu Jinyoung tersenyum miring. "Bener, kan? Sekarang gue ngikut kalian, mau turun atau tetep disini."

"Kita turun aja, kalo ketemu penjaganya disini bahaya. Ini rooftof." Guanlin bangkit dari duduknya lalu mendekati Hyunjin.

Jinyoung berdiri kemudian menyusul kedua temannya yang udah turun duluan lalu menutup pintunya.

Sebelum menutup pintu, mata Jinyoung mengarah pada sesuatu.

Sesuatu yang nggak boleh dilihat teman-temannya.

[1.5] 18.00 | 00line ✓Onde as histórias ganham vida. Descobre agora