Cerita itu telah usai?

13 1 0
                                    

      Mentariku telah redup. Bulanku telah pudar. Bintangku telah hilang. Langitku kelam. Awanku kelabu. Setiap detik yang bergulir selalu kuhitung. Konyol. Memang. Aku ingin tahu, didetik keberapa hidupku akan berwarna. Aku ingin memastikan hal penting dalam hidupku takkan terlewat sedetikpun. Aku tak rela sungguh tak rela menukar warna baru meski hanya seperkian sekon. Aku sudah bosan dengan air mata. Hanya membuatku terlihat seperti gadis manja dan cengeng. Hah! Gadis cengeng.

      "Mefia!" suara itu sudah sangat kukenal. Dia kak Agata. Sahabat dari lahir kak Rizki, kakak kandungku. Sekarang kak Agata sudah bekerja disalah satu perusahan pangan. Tiap sore, saat kak Rizki tak bisa menjemputku, akan ada kak Agata yang akan menjemputku.

       "Ayo pulang. Kakak gak bisa lama-lama. Masih ada kerjaan yang belum kelar," ucapnya sembari membenarkan lipatan lengan kemejanya.

       "Terus kakak mau anterin Mefia kerumah dulu gitu? Gak keburu malam ntar kakak baliknya ke kantor? Emang kak Rizki kemana?"

        "Gapapa sih... Apa kamu mau ikut kakak dulu bentar?" jawabnya.

       "Oya si Rizki tadi katanya kurang enak badan," sambungnya lagi.

       "Huumm..."

       "Yaudah yuk."

       Aku duduk diboncengan belakang motor yang kak Agata gunakan. Dimataku, kak Agata adalah laki-laki yang baik dan pekerja keras. Untuk saat ini, hanya satu nama yang kutahu sedang dekat dengan kak Agata. Kak Fista namanya.

       Senja semakin gelap saat aku dan kak Agata tiba di kantor. Setelah memarkir sepeda, kak Agata segera bergegas meninggalkanku yang memilih duduk ditaman depan kantor. Puluhan atau bahkan ratusan burung beterbangan diatasku menuju sarang masing-masing. Gemericik air dari pancuran taman kantor membuat dunia seolah hidup. Aku terus menatap senja yang kian tenggelam itu dari halaman kantor. Ada rasa resa dan takut. Ada rindu dan sepi yang tak dapat diartikan. Beginikah yang dinamakan kehilangan? Dan beginikah rasanya? Begitu membingunkan dan pilu. Aku tak mengerti bagaimana caranya mengusir keadaan seperti ini. Keadaan yang membuatku terhimpit diantara ketidakpahaman.

       Denting kecil dari jam tangan yang kugunakan seolah mengatakan bahwa hari makin senyap. Hembusan angin semakin dingin menusuk tulang. Begini kurasa lebih tenang. Tak ada air mata, tak ada suara-suara memekakkan, pun tak ada hati yang terluka. Biarkan saja hatiku membeku disini. Agar tak perlu lagi aku berusaha menembukannya. Biarkan saja mati rasa semati-matinya.

      "Mefia! Kakak cari juga dari tadi."

      "Ah iya kak maaf."

      "Yasudah, yuk pulang."

                           ****

       Sebut saja ini sebuah cerita usang yang telah usai. Tapi, aA
Akankah benar-benar usai? Saat hati selalu tahu dimana ia hidup. Akankah cerita ini telah usai? Saat pemainnya terus berlakon meski sudah tak bernafas. Dunia yang dijuluki panggung sandiwara ini, akankah mengakhiri ceritanya dengan cepat? Mungkin iya. Mungkin juga tidak.

       Hari semakin tua, tapi wajah semakin muda. Bukan apa-apa inilah yang dinamkan manipulasi. Ada banyak nafas yang terlibat dalam cerita ini. Tapi selalu ada yang paling tersakiti. Dan untuk itu, ada bayak orang yang berada diposisi paling tersakiti karena sudut pandang yang bercabang.

       Aku masih memandang langit-langit kamar yang telah berlubang dan menguning. Terlihat samar dengan cahaya yang minim. Jam sudah menunjukkan pukul 05.00 WIB sabtu pagi. Tak ada jadwal ke sekolah dihari sabtu dengan sistem fullday. Suara jangkrik masih terdengar samar-sama sebelum menghilang. Desah nafas adik bungsu yang tidur disebelaku terdengar tenang. Aku tak bisa membaca keadaannya. Mungkin juga sama terlukanya denganku. Atau berada diposisi paling tersakiti dengan sudut pandang bercabang itu. Sampai saat ini aku belum menemukan bagaimana caranya bisa mengetahui posisi tiap-tiap orang dengan benar. Tapi yasudalah.

       "Ayah... Bintang besar, bintang kecil, bintang terang, dan bintang redup. Apa akan begitu terus?"

       "Menurut Mefia bagaimana?"

       "Bintang itu unik yah... Seperti pasir yang bersinar diterpa sinar mentari."

       Apa? Akupun tak bisa mengingatnya. Kata-kata itu mengalun diotakku. Semakin kucoba mengingatnya, semakin aku tak bisa mengingatnya. Mungkin aku masih butuh waktu banyak untuk berdamai dengan semuanya.

        "Mbak, aku berengkat sekolah dulu yah," tiba-tiba suara itu mengagetkan ku.

       "Kamu? Ah... Yasudah. Hati-hati dijalan," ucapku saat adik bungsuku itu mencium tanganku.

       Sudah berapa lama aku melamun? Selama itukah? Hingga aku tak menyadari pergerakan yang terjadi disekitarku. Sebegitu parahkah keadaanku saat ini? Apa? Apa? Aku tidak tahu. Akan sampai kapan aku berporos disini? Lama-lama, gila akan menjadi gelarku. Tapi tidak! Aku harus keluar dari penjara fana ini. Harus! Harus kuubah cerita. Harus kuubah sejara dimasa depan. Aku harus bangkit. Tidak terus terkungkung dalam kubangan kumuh tak berperasaan.






Assalamualaikum... terima kasih untuk teman-teman yang sudah berkenan membaca cerita saya :)
Jujur ini cerita pertama saya di wattpad. Kalo suka, silahkan tinggalkan jejak yah... Terima kasih :)

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 03, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Colored paper birdsWhere stories live. Discover now