DYKM 01 : Takdir

79 15 10
                                    

Music 🎶 : Miss You by Ed Sheeran

*****

Perlahan namun pasti aku membuka mataku yang terasa sangat berat untuk di buka. Ini adalah minggu ketiga aku berada di Berlin, Jerman. Menjadi murid baru tentu tak menyenangkan. Ada banyak hal yang harus ku pelajari. Cara bergaul misalnya.

Aku berusaha mengambil kacamata milikku yang tergeletak di atas lemari kecil sisi kanan ranjang. Aku menggeliat merenggangkan otot tubuhku yang terasa kaku. Dengan malas aku membuka jendela kamar membiarkan sinar matahari menerobos masuk. Mataku memicing ketika matahari menyentuh kulitku langsung.

Aku tersenyum lebar dan merentangkan tanganku. Aku memejamkan mata membiarkan tubuhku di terpa angin pagi. Rumahku yang terletak di pinggiran kota dan dekat hutan memang membuatku merasa terasingkan namun tak apa. Keputusan ayah selalu yang terbaik. Nyatanya aku justru menyukainya.

"Aira! Kau belum bangun? Cepatlah. Ayah sudah terlambat."

Aku menolehkan kepalaku ke belakang begitu mendengar teriakan ayah dari lantai dasar. Aku menepuk dahiku begitu melihat jam.
Aku segera berlari menuju ke kamar mandi. Setelahnya aku kembali berlari-larian keluar.
Terburu-buru membuatku terjungkal hingga menyebabkan luka yang cukup lebar di siku kananku. Aku meringis namun mengabaikannya.

"Morning princess."

Aku tersenyum lebar dan memeluk leher ayahku. Dia balas tersenyum namun senyumnya hilang begitu melihat lukaku. Aku bergegas menutupinya namun ia sudah melihatnya. Di tariknya tanganku kemudian dia menatapku tajam seolah menuduhku tengah berusaha menyembunyikannya.

Aku tersenyum malu. "Sorry,"

"Kau ini memang keras kepala seperti ibumu. Kenapa kau membiarkan luka sebesar ini terbuka?"

Aku membuang muka merasa terhina karena di samakan dengan ibu ku sendiri. Hubunganku dengannya memang tak terlalu baik. Aku membencinya yang dengan begitu teganya meninggalkan ayahku demi cintanya yang hadir di setelah menikah dengan nya.

"Jangan samakan aku dengannya. Itu terdengar seperti menghinaku."

Aku berucap kelewat dingin padanya. Dalam hati aku berteriak memaki diriku sendiri karena melihat ayahku yang tersenyum sendu.

"Maafkan ayah," dia mengepalkan tangannya kemudian menatapku dengan sedih. "Tunggu di sini. Ayah akan mengambil obat dulu." Sambungnya kemudian pergi. Aku menahan diri untuk tak memaki siapapun saat ini. Semangatnya hancur mendengar kalimatku namun apa daya, aku benar-benar membenci perempuan itu. Malangnya diri ku malah terlahir dari rahimnya.

Maafin Aira ayah, batinku menatap punggungnya yang lebar.

*****

Aku menelungkupkan wajahku begitu sampai di kelas. Aku merasa sangat asing dengan tatapan-tatapan menilai yang mereka tujukan padaku.

Harus ku akui penampilanku norak. Aku berpenampilan layaknya nerd sejati. Kacamata bulat besar. Kucir dua di sisi kanan dan kiri. Kemudian jangan lupakan cara berpakaianku yang kelewat sopan. Tak apa. Aku nyaman dengan penampilan ini.

Aku memang pernah merubah penampilanku mengikuti perkembangan zaman ketika di sekolahku dulu. Namun sial, hal itu justru membuat anak-anak laki-laki memandang rendah ke arah ku. Beberapa dari mereka bahkan terang-terangan berniat memperkosaku.

Untunglah aku memiliki John, temanku yang kurus kerempeng tapi kuat yang sigap melindungiku kapanpun dan dimanapun. Ngomong-ngomong tentang nya aku sangat merindukannya. Sudah beberapa bulan semenjak terakhir aku melihatnya. Kami sering bertukar pesan namun karena ponselku rusak di tendang seseorang aku tak bisa menghubunginya lagi. Terlebih karena aku tak hapal dan tak mencatat nomornya di buku harianku.

Berhari-hari aku merutuki kebodohanku itu.

Aku terbangun dari lamunanku ketika seseorang tiba-tiba mengendus leherku. Aku terperanjat kaget dan mendongak. Aku menatap horor pemuda di depanku dan tanpa sadar menyilangkan kedua tanganku di dada. Dia tersenyum tipis membuatku bingung.

Namun begitu melihat sekeliling, wajahku berubah heran karena tak menemukan teman-teman sekelasku di sini. Aku menatap keluar dan membulatkan mataku karena ternyata mereka berdiri di luar sembari mengintip ke dalam. Aku menatapnya tajam berusaha menjauh namun tangan kekarnya sigap menangkapku.

Aku memperhatikannya dalam diam menahan tubuhku yang gemetar. Tubuhnya yang tegap dengan bentuk wajah oval khas Asia sepertiku. Ada beberapa tindik di telinganya. Matanya yang hitam legam menatap ku seolah memenjarakan tubuhku. Mataku tanpa sadar memperhatikan bibir merahnya yang sensual. kemudian turun ke rahangnya yang tegas. Aku bisa melihat jakunnya bergerak naik-turun dengan kecepatan sedang. Kulitnya yang bersih dan seputih susu membuatku minder.

"Apa kau sudah selesai menjelajahi tubuhku nona?"

Aku terkesiap dan dengan cepat memalingkan wajahku keluar jendela. Aku bisa merasakan pipiku memanas menahan malu karen ketahuan menilainya.

"Bisa kita pergi sekarang?"

Aku menoleh padanya dengan mata mendelik. "Dasar gila! Aku bahkan tak mengenalmu, tuan. Pergilah! Mood ku sedang tak baik sekarang."

Aku menekan setiap kalimatku dan menatapnya kesal. Ia terkekeh dan melepaskan cengkamannya. Aku bernapas lega dan bersiap untuk pergi darinya namun dengan cepat dia kembali berdiri di hadapanku. Aku mematung melihat kecepatan berpindahnya.

Aku mendongak menatapnya yang tingginya di atasku. Ia tersenyum mengejek dan memanggulku kemudian meletakkanku di atas mejaku. Mataku membelalak dan mendorong tubuhnya hingga menjauh beberapa centi dariku.

"Tuan maaf, kau tidak sopan." Aku memprotes dengan suara agak keras. Aku melirik ke arah luar dan terkejut karena mereka-teman sekelasku-sudah pergi entah menghilang kemana. Mereka gila. Kenapa meninggalkan ku dengan pemuda sinting ini?

"Memangnya ada masalah? Kau milikku. Aku bebas melakukan apa saja padamu."

Mulutku menganga. "Kau gila hah? Memangnya siapa kau berhak melakukan ini padaku?!"

Dia tidak menjawab namun beringsut mendekat dan melepaskan rambut panjangku yang teringkat. Aku menahan napas beberapa kali ketika napas panasnya menerpa kulit leherku.

Setelah cukup lama rambut yang panjangnya sepinggangku tergerai bebas. Dia sepertinya terkejut ketika menjauhkan tubuhnya dan menatapku.

"Kau sangat cantik. Kenapa di sembuyikan?"

Aku hanya membuang muka. Sebisa mungkin menahan senyumku karena ini pertama kalinya aku di puji orang asing ketika tiba di sekolah ini. Aku menunduk meremas jemariku takut dengan tindakannya selanjutnya karena ia hanya diam menatapku selama beberapa saat. Aku ini wanita. Jika membayangkan tangannya akan menamparku dengan keras aku bisa mati saat itu juga.

"Namaku Liam."

Aku mengangkat wajah ku dan menatapnya heran. Memangnya apa pentingnya untukku?

"Terserah. Bisa lepaskan aku? Aku harus ke kelas selanjutnya."

Dia menggeleng. Aku mengepalkan tanganku dan menahan diri agar tak mengumpat. Reputasiku akan semakin hancur jika melakukan itu di sini.

"Katakan apa maumu?" ucapku pasrah sembari memejamkan mata. Dalam hati aku terus menghitung angka secara berturutan seperti yang di ajarkan dokter padaku.

"Kau harus menikah dengan ku."

*******

Thanks udah mampir ❤

Do You Know Me ; Sunwoo tbzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang