21

3.3K 224 21
                                    

Terasa hampa ketika Dyah baru membuka matanya pagi hari. Tangannya masih saja meraba bantal sampingnya. Setelah hubungannya membaik dengan suaminya, kegiatan pertama yang akan dilakukannya setelah membuka mata yaitu mengamati ketampanan suaminya. Seakan tidak akan pernah bosan, Dyah terus memandangnya setiap pagi sebagai moodboster.

Terhitung dari hari keberangkatan suaminya, ini merupakan hari ke-3. Dihari pertama jauh dari suaminya, Dyah merasa kesepian. Meskipun video call seakan menembus jarak mereka, tapi tetap saja rasanya beda. Dipagi yang pertama yang seakan masih ada aura suaminya di sekitarnya, Dyah membuatkan kopi dan ditaruh di kepala meja tempat suaminya duduk untuk makan. Beberapa detik kemudian, Dyah menepuk jidatnya karena lupa kalau suaminya sedang dinas keluar negeri.

Dihari kedua  ketika bangun tidur kesiangan, Dyah dengan segera meloncat turun dari tempat tidur dan menyiapkan baju kerja untuk suaminya. Dia tersadar saat dering telpon dari suaminya pagi hari itu memanggil-manggil, dan detik berikutnya setelah menerima panggilan itu,  Dyah kembali menepuk jidat seraya tersenyum.

Lucu kan? Sebegitu dia terbiyasa dengan kehadiran dan melayani suaminya.

Pagi ini dia kembali menikmati sarapannya sendiri. Diam-diam menghitung hari, kapan suaminya akan kembali.

Kenapa rasanya seperti ini? Apa iya ini yang namanya jatuh cinta?. Dyah pernah jatuh cinta dulu, sama satu orang yang sekarang menjadi salah satu karyawan suaminya, tapi rasanya tidak sama seperti sekarang. Rasa sepi ketika jauh lebih terasa sekarang di banding dulu waktu ditinggal studi keluar negeri oleh Azis.

Rasa rindu ini terasa agak berlebihan. Untung saja tidak sampai mengganggu pekerjaannya yang memang memerlukan konsentrasi penuh.

Dyah menyambar tasnya, memutuskan untuk berangkat lebih pagi dari jam biyasanya pergi kerja.

Jalanan sudah padat saat Dyah mengaspal. Tangannya meraih hp di atas dasbord yang sedang berbunyi.

"Halo, selamat pagi" Senyumnya mengembang.

"Pagi, Di. Sudah sarapan? "

"Sudah, Mas sudah sarapan juga? "

"Iya tadi, ya udah. Selamat beraktivitas ya. Jaga diri baik-baik, bentar lagi aku pulang. "

Dyah tersenyum meski tidak akan terlihat diseberang sana, "Iya mas, hati-hati ya. "

Sambungan terputus tepat saat Dyah akan masuk ke lingkungan rumah sakit.

Jadwalnya hari ini tidak terlalu padat. Ada beberapa jam kosong sebelum sore hari menemani salah satu pasiennya untuk kemotherapi.

Pintu terdorong dari luar, kepalanya menyembul kemudian pada celah pintu. "Dok, ada yang cari. Katanya sudah janjian. "

Dyah mengerutkan alis, "Saya enggak ada janji temu deh kayaknya. Coba suruh masuk, Sus. "

Suster Ana mengangguk, lalu meninggalkan pintu dan menutup celah itu. Tidak beberapa lama kemudian, seorang wanita cantik tampak membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dulu. Seperti sudah akrab dengan ruangan dan yang menempati.

"Siang Dokter Dyah"

"Ada perlu apa sampai repot-repot datang kemari. " Dyah duduk bersandar pada kursinya sambil melipat tangan di depan dada.

"Hanya berkunjung"

"Saya sibuk" Dyah mengalihkan pandangan dari wajah wanita itu.

Ara tersenyum, "Kamu tidak lupa apa yang saya bilang tempo hari? "

"Saya meletakkannya pada short memory, jadi mungkin saya lupa"

"Cerdas. Dulu saya tidak mudah mendapatkan hati Arya. Perlu perjuangan agar bisa menarik perhatiannya"

"Kalau maksud kedatangan anda untuk curhat, lebih baik anda pergi saja. Saya akan menemani pasien saya untuk menjalani kemoterapi " Dyah beranjak dari kursinya, dan memasang jas putih.

"Dan dengan jalan yang tidak mudah juga, saya harus berjuang kembali mendapatkannya"

"Dia bukan barang, tapi dia suami saya. Dia milik saya dan tidak untuk dipertaruhkan untuk siapapun"

"Jangan sombong kau. Arya mencitai saya"

"Dan jangan terlalu percaya diri Nona. Hubungan kami membaik belakangan ini. Dan kamu pasti pahamlah apa yang dilakukan sepasang suami istri yang baru menikah" Tangan Dyah berkacak pinggang dan satunya lagi menahan berat tubuhnya pada pinggiran meja. Senyum mengejek jelas terukir di wajahnya yang tertuju pada Ara.

"Oh iya?  Hei Ndoro Ayu, hubungan badan bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa cinta. Kau yakin kedekatan kalian itu ada cinta? " Ara tergelak.

Dyah semakin geram, "Aku tak perlu ceritakan secara rinci padamu. Toh kamu bukan orang yang berkepentingan untuk rumah tangga kami" mengatur nafas sebisa mungkin agar tetap terlihat tenang menghadapi lawan didepannya.

"Oh ya?" Ara menyilangkan kaki dengan gaya yang anggun dan berkelas. "Apakah dia menghujanimu dengan ribuan kata cinta? "

Dyah terkesiap, baru terfikir olehnya. Kapan Arya mengucap kata cinta padanya? Belum, belum pernah. Mukanya sudah merah padam pada wajah putihnya. Marah dan malu berduet mesra menciptakan warna diwajah ayunya.

"Ho.. Ho.. Ho.. Biyar aku tebak. Pasti belum pernah mengucapkan cintakan. Makanya jangan sombong. Hubungan badan bisa saja dilakukan tanpa cinta, dan itu terjadi karena intensitas pertemuan kalian." Ara tergelak.

Dyah tetap menampakan sikap tenang, meski pikirannya telah bercampur aduk sekarang. Bernarkah seperti itu?  Tapi Arya memang belum pernah mengucapkan cinta kan? Atau mungkin salah ingat? Ah, kepalanya pusing dan ada sengatan-sengatan tak terlihat dari hatinya. Telinganya mendadak terasa penuh dan air mata yang sebentar lagi akan jebol bendungannya. Tidak, tidak boleh menangis sekarang. Karena wanita didepannya itu akan dengan senang hati mengolok-oloknya dengan kata-kata bak sembilu.

"Ah sudahlah. Percuma deh ngomong sama orang kolot" Ara berdiri merapikan dressnya, "Gini aja deh, biyar aku buktikan kalau teoriku benar. Dan jika saatnya tiba, akan aku tamparkan kemukamu. Dan jika saat itu tiba, aku akan memastikan diri menjadi nyonya muda Arya Prawiryo. Selamat menikmati  hidupmu yang menyedihkan itu Ndoro Ayu. Saya undur diri." Ara sedikit membungkuk didepan Dyah seperti seorang abdi pada juaragannya. Dengan gaya santai dan tertawa mengejek, Ara keluar dari ruangan dengan langkah ringan.

Dyah menggebrak mejanya. Tangannya mencengkeram kuat dadanya, ada sudut hati kecilnya yang membenarkan kata-kata Ara. Air matanya benar-benar deras. Berani-beraninya seorang jelata menghardik di depan mukanya. Itu ancaman yang serius. Seluruh badannya terasa panas karena amarah. Dyah tidak boleh lemah. Dulu guru tata kramanya mengajarkan untuk tetap tenang dengan kondisi dan situasi apapun terjadi.

Dyah mengaduk-aduk tasnya mencari ponsel. Setelah menemukannya, dengan tangan gemetar dia memencet panggilan darurat angka 1. Hatinya cemas menanti jawaban dari seberang sana. Kakinya berjalan mondar-mandir tanpa terasa pegal menggunakkan heels itu.

Panggilannya mendapat jawaban dari seberang. Air matanya kembali terumpah. Dengan sekuat tenaga, dia menahan suara agar tidak terisak.

"Halo.. Halo.. Halo"

Dyah masih menata suaranya agar terdengar biasa.

"Halo.. Di.. Kamu kenapa? Halo"

" Halo,  Mas lagi apa? "

"Suaramu parau, sakitkah? "

"Aku.. Aku.. "

"Sakit? Sudah makan belum?"

"Aku.. Aku hanya rindu. "

Terdengar nafas lega dari arah sana.

Bagaimana cara mengetahui jika perasaan pada suaminya itu, tidak bertepuk sebelah tangan? Adakah ciri-ciri beserta penjelasannya?




RADEN AYUDove le storie prendono vita. Scoprilo ora