One

13K 972 39
                                    

"Saya nggak ngajar leukemia."

Dafi tertegun. Ia mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali. Sepertinya, Bu Mira---dosen yang duduk di hadapan Dafi---senang bercanda. Sayang, topik candaannya tidak lucu sama sekali.

Apa-apaan itu?

Di tangan Dafi sudah ada makalah dengan tebal hampir lima puluh halaman yang untungnya belum dijilid. Ia dan kelompoknya sudah rela begadang dan membaca jurnal membosankan berbahasa Inggris tentang leukemia demi makalah yang belum tentu benar itu. Ditambah lagi, Dafi harus membuka Dorland jika ada kata yang tidak dimengertinya.

Dan dengan seenaknya sang dosen berkata bahwa leukemia bukan materi yang dibawakannya. Rasanya Dafi ingin membenturkan kepalanya ke dinding. Perjuangannya selama ini sia-sia.

"Tapi, Bu, menurut lembar penugasan kelompok kami, materi yang harus dibuat adalah tentang leukemia. Dan pembimbingnya adalah Ibu," ucap Naya yang berdiri di sebelah kanan Dafi sambil memeluk laptop putihnya.

Sama seperti Dafi, cewek itu juga tidak percaya dengan apa yang Bu Mira katakan. Jelas-jelas Naya yang menerima kertas penugasan mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah yang diberikan oleh seksi pendidikan mata kuliah tersebut. Jelas-jelas pula, ia membaca materi dan nama dosen pembimbing yang tertera di kertas tersebut.

"Ya, saya sudah bilang, saya nggak ngajar materi leukemia."

Kenapa kelompok mereka penuh dengan ujian menyebalkan semacam itu?!

Pada akhirnya, Dafi menghela napas panjang. Ia merutuki Sera, teman sekelompoknya yang sekarang sedang berada di kamar kosnya untuk mengambil kertas penugasan yang tertinggal di sana. Andai Sera membawa kertas itu, pastinya Dafi akan langsung menunjukkan apa yang tertera di kertas, tepat di depan hidung Bu Mira.

Tidak ada lagi yang berbicara. Kania, cewek yang berdiri di kiri Dafi, tampak menarik napas panjang. "Bu, saya juga udah baca lembar penugasan. Nggak mungkin 'kan saya asal bikin materi kalau bukan itu tugasnya?"

"Materi saya itu anemia dan DHF, bukan leukemia." Bu Mira kembali mengelak.

Bagi Dafi, hal ini benar-benar cobaan. Berusaha meyakinkan wanita di hadapannya ini sama seperti berusaha mendapatkan tambatan hatinya. Sama-sama sulit dan membuatnya lelah.

"Baik kalau begitu, Bu. Kami permisi. Terima kasih," ucap Naya pada akhirnya. Ia menyenggol lengan Dafi dan membalik tubuhnya.

Dafi yang awalnya masih diam, lantas menoleh, menatap Naya heran. Lalu kembali menatap Bu Mira yang sedang mengerjakan tugasnya sendiri. Ia ingin mengikuti Naya, tapi kedua kakinya seperti terpaku. Hingga akhirnya, Kania menarik tangan Dafi. Dengan terpaksa, ia mengikuti langkah cewek itu keluar dari ruang dosen.

"Gila banget nggak, sih? Sumpah, gue kesal banget dengarnya," ucap Naya yang sedang berdiri di depan ruang rapat dosen. Ia meletakkan laptopnya di atas meja yang penuh dengan modul kuliah, dan bersedekap. Wajahnya tampak sangat kesal. Yah, Dafi paham dengan hal itu.

Naya memiliki tugas yang paling berat, yaitu BAB 4 yang isinya asuhan keperawatan pada kasus pasien dengan leukemia. Pantas saja ia mencak-mencak sendiri begitu mendengar ucapan Bu Mira. Tidak seperti Dafi yang tugasnya hanya menyusun BAB 2 yang berisi konsep dasar sistem hematologi dan leukemia. Walau bagiannya memang sangat banyak, setidaknya Dafi tidak perlu memikirkan hal yang sulit.

Dafi hanya diam, memperhatikan Naya yang terus-terusan mengoceh. Membicarakan dirinya yang rela begadang semalaman demi memahami sebuah kasus fiktif dan menentukan asuhan apa yang tepat.

Meski hari beranjak sore, ketiganya masih saja berdiri di depan ruang rapat. Seolah, masih belum dapat menerima pernyataan dosen pembimbing mereka. Namun, memang begitulah kenyataannya.

RendirseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang