Tapi, sayang. Semua itu membuatku kembali membenci diriku. Andai ... andai ... kata itu tak akan pernah berakhir terucap dalam penyesalanku.

Kenapa penyesalan selalu datang di akhir? Kenapa tidak di awal?

Lantas, selalu aku mendengar, jika penyesalan datang di awal itu namanya pendaftaran bukan lagi penyesalan.

Lalu aku harus bagaimana?

Aku berusaha untuk membuka mulut. Rasanya kaku.

"A--aaku ... tidak ingin ke kampus," lirihku pelan.

Aku mendengar Suga membuang napas kesal di seberang sana.

"Fine, jika itu mau kamu. Jangan bolos, aku suruh Rendi untuk menjemput mu!"

Detik itu juga, panggilan terputus. Aku tahu Suga menahan diri untuk tidak memakiku. Mungkin saja, kali ini yang menjadi pelampiasannya stir kemudi yang tak tahu apa-apa.

Aku menghela napas. Sama sekali aku tidak berniat untuk menghindarinya setelah kejadian semalam. Jika pun aku ingin menjauh, itu sudah dari dulu tanpa harus menunggu yang terjadi tadi malam.

Aku membuka layar ponsel yang baru saja padam. Mencari kontak Rendi dan mengiriminya pesan. Menyuruhnya untuk tidak mengikuti permintaan Suga. Aku benar-benar ingin di kostan saja hari ini. Tidak ingin melihat dunia luar.

Aku ingin bersembunyi setelah apa yang aku lakukan. Aku merasa hina, tak pantas.

"Kenapa?"

Aku bergeming diam, kala suara Rendi terdengar berat.

"Di?"

Aku menelan ludah dan membuka mulut.
"Di males pergi kampus hari ini. Jadi tolong jangan banyak tanya. Jangan jemput, Di."

Tut....

Panggilan itu aku putuskan secara sepihak. Tanpa menunggu jawaban dari Rendi yang kebingungan akibatku.

Aku menangis sejadinya. Membiarkan rasa penyesalan itu menggerogoti hati dan pikiranku.

Aku membenci diriku. Sungguh. Andai, aku bisa kembali pada detik-detik itu, aku tak akan mau terpengaruh dan melakukannya.

×××

Seharian penuh aku berdiam diri di kamar. Tanpa makan, tanpa menjawab telepon dari siapapun. Tanpa memberi kabar.

Namun, malam ini, aku duduk bersisian dengan Suga di taman yang tak jauh dari kostanku. Terdiam pada langit malam yang gelap. Tanpa bintang, tanpa bulan.

Hatiku kosong. Hampa. Mati.

"Apa yang salah, Di?"

Aku diam. Membungkam mulut di tengah kedinginan malam.

"Aku kurang apa? Selama ini selalu berusaha untuk membuatmu nyaman bersamaku. Melirikku, tapi apa? Tak sedetik pun kamu melihat semua perhatianku. Perasaanku. Selain teman."

Suga tertawa kecil. Menghapus cepat airmata yang menetes tanpa permisi. Entah kenapa, aku merasakan sakit itu. Aku melirik Suga sekilas, rahangnya mengeras. Wajah yang datar, tangan yang terkepal. Bisa saja ngilu di ulung hati itu menyiksanya.

Aku ingin memeluknya, tapi aku tidak bisa. Kesalahan itu mengikatku erat.

Aku kembali membuang wajah. Merasakan Suga meraih daguku, menyuruhku untuk menatapnya. Aku tetap mengelak.

"Di ... mau sampai kapan begini? Kadang kala, aku berpikir kalau aku tak pantas untukmu. Aku tau, banyak sifatku yang tidak kamu sukai, tapi tolong belajar untuk menerimanya. Di.... "

Tidak.

Aku terasa tertohok di buatnya. Bukan Suga yang tak pantas memiliki ku, tapi aku yang tak pantas berada di sisi Suga. Lelaki itu, terlalu baik untuk mendapatkan ku. Menjadikan aku miliknya.

Aku menghela napas. Memberanikan diri untuk menatap mata yang selama ini rada enggan aku lihat. Mata yang selalu membuatku merasa bersalah.

"Aku yang tak pantas berada di dekatmu, Suga. Jangan pernah berpikir hal yang sebaliknya. Karena apapun yang aku lakukan, itu untuk kebaikan mu. Sekarang, aku mohon. Menjauhlah. Lenyapkan rasa itu. Lirik perempuan baik-baik di luar sana, demi aku," ujarku lalu berdiri.

"Aku tidak akan menjauhi mu, Di."

"Suga."

Suga menghela napas. Tatapannya tajam, seakan mampu membunuhku. Aku tercekat. Dia tertawa seiring airmatanya kembali mengalir.

Tertawa semakin keras. Hatiku yang dibalut penyesalan itu, mengilu perih.

"Hah!!"

Dia menjambak rambutnya dan berdiri tegap. Menatapku entah dengan tatapan apa. Aku menahan napas. Mungkin inikah waktunya?

"Fine Di. Fine!! Jika itu mau mu, akan aku lakukan." Dadanya kembang kempis menahan amarah. "Aku tidak akan lagi, memaksakan diri untuk mengulur tanganku pada orang yang tidak mau membalasnya. Sekarang, aku melepaskanmu, Di. Terima kasih selama ini."

Lantas, dia menjauh. Mencoba untuk menjauh dari kesakitan yang semakin menjadi. Aku memperhatikannya yang menendang tong sampah uang dilewatinya.

Kenapa denganku?

Bukankah, aku menginginkan Suga menjauh dari hidupku? Tapi kenapa kala Suga menyutujui untuk pergi, aku merasakan sakit?

Apa karena aku telah terbiasa bersamanya?

Semoga tidak, Tuhan. Ku mohon.

×××

Halo, ketemu lagi sama aku. Semoga pada suka ya. Ini termasuk short story. Mungkin hanya beberapa bab, syukur kalau sampai 10 part.

2 Des 18
#LobakChol

POTRETWhere stories live. Discover now