"Tadi di kampus, ada yang seru ga?" tanyanya membuang kecanggungan bagiku.

Aku menoleh dan menggeleng. "Palingan yang biasa," jawabku seadanya.

Dia tertawa, "Ghinta?"

Aku memutar mata. "Ga usah ditanya lagi."

Dia manggut-manggut di tempat dan mengeluarkan ponselnya.

"Bang mau ngapain? Suga?" tanyaku curiga.

Dia tersenyum lebar. Aku mendengkus.

"Ga usah, dilaporin ih. Ghinta juga gak kapok-kapok."

"Tapi Suga--"

Aku membola. Heran pada Rendi yang sebegitu patuhnya pada Suga. Melaporkan apa saja yang berhubungan denganku. Terkadang aku sendiri yang muak melihatnya.

Aish, Suganto kaparit!

"Sekali aja Bang, sekali. Ga usah lapor-laporan kayak kantor polisi 24 jam aja. Bahkan polisi aja ga segitu protek nya," dengusku.

Dia mengendik. "Sudah biasa Di, ga sekali terasa aneh."

"Ya tapi kan ... ah, sudahlah. Terserah Abang! Di bisa apa kalau kalian bersatu," Rendi mengusap kepalaku yang tengah cemberut, "nyesel juga kenal sama kalian."

"Eyyy, jangan begitu, ini demi kebaikan Di juga. Abang maupun Suga, ga ada yang mau kamu kenapa-napa. Baik itu ulah Suga maupun Abang sendiri, " ujarnya.

Menghangatkan.

Aku menggeleng. Ini salah. Bukan. Seharusnya bukan begini.

Aku menapik segala kehangatan yang menjalar di relung hati di tengah dingin menggerogoti tubuh.

"Tapi Di, ga pantas Bang."

×××

Malam Minggu telah datang dan tuan muda Suga juga sudah berdiri di depan teras kostan ku. Katanya, menjemputku untuk diajak malam mingguan di luar. Nongkrong di tempat Rendi yang tengah berjualan.

"Sekali aja bisa untuk ga malming di tempat Rendi?" dengusnya ketika aku membuka pintu.

Aku mendelik, "Terus mau malming berdua? Males, mending gue di kamar," ujarku hendak berbalik.

Suga terlebih cepat menahan lenganku. "Ayok!" ujarnya menahan kesal. Lalu menarikku ke mobil.

Entah kenapa, aku suka melihatnya menahan kesal akibatku. Aku tersenyum samar.

"Kapan sampai?" tanyaku basa-basi menatap pemandangan jalan melalui jendela.

"Jam lima, capek," ujarnya manja. Meraih telapak tanganku.

Aku melepaskannya seperti biasa.

"Capek ngapain ngajak jalan. Mending istirahat," balasku tetap tidak memperhatikannya.

Bukan karena apa, rasa itu terus menghantui. Dan aku benci.

Dia menghela napas.

POTRETWhere stories live. Discover now