PM | Chapter 8

9K 1.5K 33
                                    

Yuhuu! Aku update lagi. Jangan lupa vomment ya! Oh iya, aku juga punya cerita baru judulnya One Minute Man. Cus dibaca juga ya! Silakan follow Instagram aku zeeyazeee. DM for followback

"Pagi, Bri."

Brianne sontak menghentikan langkahnya saat mendengar suara Nord. Pria itu tengah bersandar di tembok sebelah pintu kamar Brianne. "Pagi," balas Brianne, lalu berdeham.

Mereka berdua lalu berjalan berdampingan menuju ruang makan. Tidak ada yang memulai pembicaraan lebih dulu. Meskipun sebenarnya, Brianne ingin sekali bertanya, apakah pria itu sengaja menunggunya di depan kamar dan sejak kapan? Namun, Brianne tidak ingin dicap terlalu percaya diri. Bisa jadi Nord tidak benar-benar sengaja melakukan itu. Yah... mungkin ibunya menyuruhnya, atau kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja terjadi.

Di ruang makan sudah ada Raja dan Ratu, serta keempat anak mereka yang lain. Stephanie dan Josephine duduk bersebelahan dengan Oliver dan Edson. Melihat pemilihan tempat duduk mereka, Brianne mengambil kesimpulan bahwa tidak semua kerajaan menerapkan aturan keras dalam pemilihan tempat duduk di meja makan. Termasuk, aturan bahwa orang yang kedudukannya lebih rendah tidak boleh datang terlambat setelah Raja dan Ratu.

"Aku tahu kau kelelahan. Jadi, kami sengaja tidak membangunkanmu lebih awal." Annelise menyodorkan piring berisi kentang tumbuk dan potongan daging yang campur dengan telur orak-arik kepada Brianne, yang baru saja duduk. "Makanlah yang banyak, Brianne. Aku cukup percaya diri dengan masakan itu."

Brianne terlihat antusias. Annelise yang menyiapkan masakan-masakan ini?

"Ini enak," ujar Brianne, tulus. Sudah lama sekali ia tidak memakan masakan rumahan, yang dimasak orang lain untuknya.

"Kalau begitu aku akan mengambilkan lebih banyak daging dan kentang tumbuk." Annelise dengan cekatan menambah kentang tumbuk dan daging ke piring Brianne. George, suaminya, hanya menggelengkan kepala sambil terkekeh.

"Kami sudah terlalu bosan memakan masakan ini." Edson meletakkan garpu dan pisaunya di atas piringnya yang sudah bersih. "Ibu tidak bisa memasak makanan yang lain selain ini."

"Ed. Teruslah bicara dan kau dilarang pulang di atas jam sembilan malam." Annelise bicara sambil tetap mengembangkan senyumnya. Edson secara otomatis segera menutup rapat-rapat mulutnya.

"Hari ini Agatha sedang mengunjungi temannya. Sepertinya dia tidak akan pulang sampai dua hari ke depan." George mengerling penuh arti kepada Brianne.

Sungguh. Tidak ada yang lebih menggembirakan bagi Brianne, selain kabar yang baru saja ia dengar. Dia bisa bersantai selama nenek sihir sialan itu tidak ada di sini.

Sementara Brianne mulai menyusun rencana-rencana di dalam kepalanya, Nord yang duduk berhadapan dengannya tampak tersenyum samar. Annelise melihatnya.

"Sudah lama kita tidak mengunjungi pulau kita." Annelise mengatupkan kedua telapak tangannya, hingga menimbulkan bunyi tepukan yang cukup keras. "Menurutku, cuacanya juga sedang bagus. Ini sempurna."

George tahu istrinya sedang merencanakan sesuatu. Pria itu hanya mengangkat kedua bahunya. "Apa pun yang kau inginkan, Sayang."

Josephine dan Stephanie tidak menunjukkan tanda-tanda penolakan, sementara Oliver tampak keberatan. "Aku ada janji, Bu. Aku sudah merencanakan ini berhari-hari bersama teman-temanku."

"Teman-teman yang mana? Yang berbikini dan ber-lingerie?" Edson tidak menemukan alasan yang tepat untuk menolak, jadi dia harus memastikan bahwa Oliver akan ikut bersamanya. Celetukan Edson barusan sukses membuat Annelise menyorotkan tatapan lasernya pada Oliver, dan membuat anaknya itu bersumpah akan menghajar Edson setelah ini.

"Kalau begitu, berkemaslah kalian. Sebelum makan siang, kita sudah harus sampai di sana."

***

"Bukankah hanya dua hari?" Brianne melongo melihat Josephine dan Stephanie yang masing-masing membawa koper berukuran dua kali lipat lebih besar dari miliknya. "Atau aku yang salah dengar?"

"Kau tidak salah dengar, Bri. Memang hanya untuk dua hari." Nord menimpali dari belakang.

Josephine mulai menyuarakan pembelaannya. "Ke mana pun wanita pergi, mereka tidak boleh meninggalkan harta karunnya."

"Segala make up, skin care, dan hal-hal lain yang benar-benar menghabiskan isi dompet para pria," sahut Edson, yang baru saja bergabung di ruang bersantai khusus keluarga inti imperium itu. Sekarang, mereka hanya perlu menunggu Oliver.

"Hei, Ed. Kau menjatuhkan sesuatu." Itu Oliver, berjalan santai dengan ransel di punggung. Tangan kanannya mengacungkan sebuah bungkusan berbentuk persegi, yang membuat Annelise membelalakkan mata.

"Edson." Suara Annelise terdengar horor.

"Sepertinya ada yang berencana meniduri salah satu pelayan di sana." Stephanie mengangkat sebelah alisnya, berbicara dengan nada sinis yang dibuat-buat guna mendramatisir suasana.

"Aku bersumpah itu bukan milikku! Sialan kau!" Edson merampas benda yang nyaris memicu terjadinya perang dunia lagi itu, dari tangan Oliver dan membuangnya ke perapian yang padam.

"Sepertinya pesawatnya sudah siap." George melihat kedatangan Frank dari kejauhan, lalu menggandeng tangan Annelise.

Di saat yang sama, Brianne merasakan seseorang meriah tangannya. Saat ia menoleh untuk mengetahui siapa pemilik tangan yang menggandengnya, ia melihat senyuman Nord.

Tanpa suara, ia mengikuti langkah kaki pria yang juga membawakan tas miliknya itu.

Pesawat yang akan mereka naiki adalah pesawat yang sama yang membawa Brianne ke Imperium Domini. Annelise duduk bersebelahan dengan George. Josephine bersama Stephanie, sementara Oliver dan Edson memilih untuk duduk sendiri-sendiri. Kedua pria itu sama-sama mengangkat kakinya ke kursi kosong di sebelah kursi mereka masing-masing.

Brianne duduk di sisi jendela, dan Nord duduk di sebelahnya. Pria itu segera sibuk dengan ponselnya, membaca berita, sementara Brianne tampak curi-curi pandang ke arah layar ponsel Nord.

"Sepertinya calon istriku ini terbilang posesif, huh?" Nord mengunci ponselnya hingga layarnya berubah gelap. Lalu memasukkan ponsel itu ke saku celananya.

Brianne buru-buru membuang pandangannya ke arah lain, namun Nord menahan dagunya. Pria itu mengusapkan ibu jarinya perlahan di bagian itu, hingga membuat kedua pipi Brianne menunjukkan semburat kemerahan.

"Aku tidak suka saat seseorang terlalu ingin tahu apalagi ikut campur ke dalam urusanku, tapi..." Nord memusatkan perhatiannya sesaat ke bibir Brianne yang dipoles lipstick berwarna merah muda oranye. "...tapi, kali ini adalah pengecualian." Ia lalu melepaskan dagu Brianne dari sentuhannya.

Brianne menumpukan siku kirinya di sandaran tangan kursi, menempelkan jemarinya ke bibirnya sendiri.

Rasanya barusan...

Nord seperti ingin menciumnya...?

Brianne menutup kedua matanya rapat-rapat lalu menggelengkan kepala. Melihat tingkah wanita itu, Annelise yang duduk menghadap ke arahnya namun berjarak cukup jauh dari kursinya pun bertanya, "Ada apa, Brianne? Kau baik-baik saja?"

"T-tentu saja. Hanya... hanya sedikit pusing." Brianne tersenyum kikuk. Diam-diam, lagi-lagi ia mencuri pandang ke arah Nord. Pria itu sedang memejamkan mata, mungkin berusaha untuk tidur.

Pesawat mulai bergerak. Bersiap untuk lepas landas.

Baiklah... mungkin ada baiknya Brianne mengikuti pilihan Nord untuk tidur. 

Prince and Me Where stories live. Discover now