Lima : Menyerah

4.9K 806 82
                                    

Pandangan mata Rehan lurus menatap cermin, sementara jemarinya dengan cekatan membuat simpul dasi di kerah kemeja biru muda yang membungkus tubuh tegapnya. Masih terngiang percakapan dengan maminya semalam tentang kebodohannya yang terburu-buru melamar Cinta, hingga ditolak membuatnya resah. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan wanita yang paling disayanginya itu pada istri mendiang sahabatnya.

Setelah penampilannya rapi, Rehan bergegas keluar kamar menuju ruang makan. Mendapati ruangan luas itu kosong dengan menu sarapan yang hanya berupa roti dan kopi yang telah tersedia.

"Bik, saya berangkat!" Tanpa menunggu jawab, Rehan
langsung berbalik melangkah keluar rumah dan masuk dalam mobilnya.

Sebuah kebiasaan buruk yang selalu dilakukan jika tidak ada yang menemaninya di meja makan, maka ia tidak akan sarapan di pagi hari. Satu-satunya orang yang selalu menemaninya makan adalah maminya, meskipun jarang memasak yang penting menyediakan makanan dan menemaninya. Itulah Rehan Permana, lelaki dewasa yang sebenarnya sangat manja pada sang ibu. Entah ke mana pergi wanita yang melahirkannya tiga puluh satu tahun lalu itu, yang pasti tidak ada niat dari Rehan untuk mencari. Karena ia yakin maminya punya urusan penting.

Jalanan ramai setiap pagi di hari kerja menyebabkan kemacetan parah adalah hal biasa yang sering ditemui setiap pengguna jalan. Rehan dengan sabar mengendarai mobil, hingga membawanya tiba di kantor tiga puluh menit kemudian.

Suasana lobby kantor saat itu sudah ramai, walaupun belum tepat jam delapan pagi. Rehan melangkah, sesekali tersenyum tipis membalas sapaan para pegawai yang berpapasan lalu kembali memasang tampang datar. Tidak lagi terdengar bisik-bisik sinis membicarakan hubungannya dengan Cinta seperti kemarin. Entah bagaimana dengan wanita itu ketika sendiri tanpa dirinya.

Dirinya?

Rehan tersenyum miris selama beberapa menit sendirian dalam lift yang membawanya ke lantai tempat ruangannya berada. Ia mengusap wajah seraya menghela napas kemudian mengembuskannya kuat. Menetralkan debar dalam dada yang tiba-tiba saja jadi tidak menentu.

Beberapa detik berlalu, pintu lift terbuka. Rehan melangkah keluar dengan ragu menuju meja di depan ruangannya. Meja yang terdapat tumpukan map masih tertata rapi tanpa ada si pemilik yang telah menempati selama tiga tahun terakhir.

"Eh, pas sekali Rehan sudah datang ...." Suara Ibu Celia terdengar dari belakang setelah pintu lift kembali terbuka.

Rehan berbalik, matanya terbelalak kaget tidak percaya. Ia tidak mengerti dengan reaksinya yang tampak seperti maling tertangkap basah ketika bertatapan dengan Cinta.

"Re!" Ibu Celia tampak heran, menepuk pundak sang anak yang menatap Cinta lekat. "Kamu kenapa sih, lihat Cinta begitu?"

Rehan menggaruk tengkuknya bingung, mengalihkan tatapannya dari Cinta yang tampak menunduk. "Mami kenapa ke sini?"

"Mami tadi jemput Cinta di rumahnya, terus ke sini sekalian nganterin dia. Oh, ya. Kamu pasti belum sarapan, kan Re?"

Rehan hanya bergeming membuat maminya tersenyum mengambil kesimpulan sendiri.

"Kebetulan Cinta juga belum sarapan, dia cuma minum susu saja tadi di rumah. Jadi, mendingan kalian sarapan sama-sama di ruangan kamu. Ayo Cinta!"

Rehan masih bergeming melihat maminya yang begitu semangat menarik lengan Cinta yang sejak tadi diam saja. Memejamkan mata sejenak, ia melonggarkan simpul dasi yang terasa mencekik membuatnya seakan kehabisan napas. Ia mengembuskan napas kuat, lalu menyusul dua wanita tersebut.

💕💕💕

Suasana ruangan luas yang diisi furniture mahal bernuansa cream itu tampak canggung dan diisi celotehan Ibu Celia. Wanita paruh baya itu duduk bersama Cinta di sofa tamu berukuran panjang, berseberangan dengan Rehan yang duduk di sofa single sambil menyantap setangkup roti bakar.

Janji (Slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang