Satu Purnama

1K 78 12
                                    

Aku tidak tahu reaksi apa yang harus ku tampilkan saat membuka pintu rumah  dan menyadari siapa yang berdiri disana sepagi ini.

Seorang laki-laki dengan polo shirt putih dan celana jeans selutut itu tampak santai dengan keberadaanku, bahkan dia sama sekali tidak menunjukkan keberatannya dengan respon yang didapatnya dariku.

Entah sadar atau tidak, aku melarikan pandanganku ke wajahnya. Mengamati wajah bersih yang sudah tak asing lagi itu. Ekspresi wajahnya masih saja datar, dan kalau boleh sedikit memuji, dia bahkan terlihat lebih tampan dari yang terakhir kuingat.

Dia menatapku lama, sepertinya juga menilai bagaimana penampilanku sekarang. Tapi dia tetap saja tidak mengatakan apapun atau merubah ekspresi wajahnya.

Apa yang ia temukan?

Bahwa aku masih sama seperti gadis yang belasan tahun lalu pernah dikenalnya?

Ataukah wajahku semakin lusuh, tidak lagi menarik dan menua seiring bertambahnya usia kami yang sudah melewati angka 30-an?

Atau, apakah apa yang dilihatnya pagi ini memuaskan? Lebih baik dari apa yang di bayangkannya?

Sungguh, aku berharap bisa menemukan sedikit ekspresi di wajah tampannya. Mungkin kerinduan? Atau sedikit penyesalan barangkali? Apapun. Tapi sekali lagi, wajahnya masih sama datarnya dengan yang ditunjukkannya terakhir kali kami bertemu.

Sayang sekali, waktu tidak bisa menghilangkan semua perasaan yang begitu ingin kuenyahkan itu. Waktu hanya mengaburkan sedikit bayangannya. Dan sialnya, sosok yang berdiri dihadapanku ini bukan hanya bahangan yang bisa kusembunyikan kehadirannya.

Arlan yang berdiri dihadapanku ini nyata, sejelas nafasku yang terasa begitu sesak saat menatap mata hitam itu lagi.

"Oi, bro!"

Suara dibelakangku mencairkan keheningan menyakitkan yang membentang diantara kami.

Aku menoleh cepat, melihat laki-laki berkacamata dengan celana cargo pendeknya menghampiri kami dengan senyum lebar.

Mas Angga membuka sebelah pintu lain disebelahku, melewatiku begitu saja dan menyambut tamunya dengan antusias.

"Akhirnya nyampe sini juga ya, Lan?"

Yang ditanya hanya mengangguk dan tersenyum sepintas.

"Kok Arlan nggak disuruh masuk, Bun?" Tanya mas Angga padaku, masih menyunggingkan senyum lebar yang begitu hangat, khasnya.

Tolong, aku butuh sesuatu, apapun untuk menyembunyikan tanganku yang dingin dan suaraku yang bergetar saat menjawab pertanyaan sederhana itu.

"Belum." Ucapku lirih.
Bersyukur bahwa tenggorokanku mampu mengeluarkan suara, meskipun rasanya begitu perih setelahnya.

Mengabaikanku, kedua lelaki sepantaran itu memasuki rumah, dan hidungku menghirup aroma wood dan mint yang menguar di udara. Segar, menenangkan dan membuatku ingin mengamuk disaat yang bersamaan. Dan satu hal yang ku ketahui dengan pasti, itu bukan aroma mas Angga.

Kulihat mereka duduk di ruang tamu, bertukar kabar dan mulai berbincang.

Kuhela nafas panjang, mencoba menekan sekelumit kenangan tentang Arlan yang dengan kurang ajarnya berkelebat begitu saja dalam ingatanku, lalu buru-buru menghampiri kedua lelaki itu.

"Shravan mana?" Tanya Arlan begitu aku mendekat.

Dan jantungku bertalu lebih kencang dari yang pernah kualami seumur hidupku.

Aku ingat pertemuan terakhir kami. Hari minggu pagi, disebuah rumah Sakit. Hari dimana Shravan dilahirkan, lebih dari 4 tahun yang lalu. Dan dia masih bisa mengingat nama anakku dengan benar?

Selaksa Cerita (Kumpulan Cerita Pendek)Where stories live. Discover now