"Han, tidak usah khawatirkan itu. Aku panggil dokter dulu, ya."

Hanna menguatkan cengkeraman. "Aku tidak apa. Tinggal saja di sini ... sebentar." Meski ada jeda sesaat, yang Hanna yakin Jimin menatapnya tidak setuju, tapi dia akhirnya mendudukkan diri juga di kursi. Hanna mengerjapkan mata beberapa kali sebelum bisa mengamati laki-laki di depannya dengan baik. Hanna tidak terlalu ingat Jimin pakai baju apa kemarin, tapi kemeja biru yang dia kenakan terlihat tidak asing. "Apa yang terjadi?"

"Kau tidak ingat?" Keterkejutan absolut terdengar jelas dari suara Jimin. Sebisa mungkin Hanna menggeleng.

"Bukan ... bukan begitu. Sudah berapa lama ... berapa lama aku tidur?"

"Han, kau pingsan seharian penuh. Sekarang sudah pagi lagi, jam tujuh pagi hari Minggu."

Memangnya kemarin hari apa? Pelan-pelan Hanna menyusun ingatan beberapa hari di belakang, keberangkatan mereka di hari Kamis, mendarat Jumat pagi, lalu jalan-jalan sebentar. Terus di hari Sabtu, dan sekarang hari Minggu. Oh, iya. Ini hari Minggu. Otaknya masih bekerja dengan benar.

"Di mana Abel? Apa dia baik-baik saja?"

"Abel tidak apa-apa. Dia di hotel bersama Namjoon hyung."

"Lalu ibumu?"

Hanna bergidik sedikit ketika tangan dingin Jimin menggenggam tangannya. "Tidak usah khawatirkan itu, Hanna. Ibuku bersama Hoseok hyung. Dia mungkin sudah tidak ingat."

Hanna bernapas lega. "Syukurlah."

"Kenapa kau lakukan itu?"

Hanna diam sejenak, merespon dengan lambat. "Melakukan apa?"

"Menolong Abel."

"Jim, aku yang kena saja sudah begini--ngomong-ngomong apa yang terjadi pada kepalaku?"

"Kau mendapat enam jahitan."

Kening Hanna mengernyit. Bercanda, bukan? "Oh."

"Maafkan aku. Seharusnya ini tidak perlu terjadi kalau aku ada bersama Abel."

Hanna mendapat gambaran lebih jelas dari apa yang terjadi kemarin. Dia ada di dapur bersama Hoseok. Niatnya hendak membuat sarapan, tapi malah keterusan mengobrol sampai Hoseok menyadari kalau Abel tidak di sana. "Bukan salahmu. Aku terlalu asik ngobrol dengan Hoseok."

"Kau seharusnya tidak bertindak seceroboh itu, Han."

"Dan membiarkan Abel yang kena? Sudah gila, ya?" Hanna diam sejenak, mengerjap, menyusun kata-kata di kepala. "Kalau aku saja bisa sampai dijahit begini, bisa bayangkan kalau terjadi pada Abel? Dia anakmu satu-satunya."

Jimin tidak menjawab. Manik gelapnya terkunci pada Hanna dengan ekspresi yang sulit dibaca. Selama beberapa saat dia diam, sebelum genggamannya dikuatkan sedikit. "Terima kasih, Hanna."

Jimin lalu bangkit. Dia membetulkan letak selimut dan berkata, "Akan kupanggilkan dokter."

Hanna tidak ada pilihan selain membiarkan dua puluh menitnya yang berharga diberikan untuk pemeriksaan. Matanya disenter bergantian, ditanyai ini-itu, tidak boleh begini-begitu, hindari ini dan itu. Kepala Hanna sudah cukup sakit untuk membiasakan mata dengan ruangan yang terang benderang karena cahaya dari luar. Untungnya Jimin cukup peka, jadi dia menutup gorden sedikit, menyisakan segaris tipis di tengah-tengah.

"Aku sudah telepon Yoongi. Setelah beberapi hari, dan kalau keadaanmu sudah cukup pulih, kita akan kembali ke Korea."

"Hah?"

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now