Oh, God! Aku langsung menutup kedua pipi dengan kedua tangan. Dan dia semakin terbahak-bahak.

"Oke. Gue pulang." Aku berdiri dan memakai tas. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Eh, kok pergi?" Sadam menarik tanganku. "Sorry, Bri. Sorry...."

Aku memasang tampang marah. Kalau bisa, ada tanduk merah yang muncul di kepalaku biar dia tahu kalau aku benar-benar marah.

"Sini, Bri. Duduk sebelah gue."

Apa? Aku tak salah dengar, kan?

"Kenapa? Kan di kelas kita duduk sebelahan juga."

Oh, iya. Lupa.

Aku berpindah tempat duduk, tepat di sisi kirinya.

"Udah makan?"

"Udah. Kentang goreng. Terus tadi keluar semua pas muntah."

"Yah, Bri." Sadam menggaruk-garuk kepalanya. "Makan lagi, ya! Gue yang traktir."

"Udah buruan cerita. Enggak usah sok perhatian gitu deh. Pacar juga bukan."

 "Kok gitu ngomongnya, Bri? Jadi, enggak boleh perhatian gitu ke sahabat sendiri?"

Aku terdiam beberapa saat. Bukan memikirkan perkataan Sadam, tapi memikirkan masalahku.

"Lo ngelamun?"

"Dam, kayaknya gue bukan anak kandung dari keluarga Anugerah deh." Aku mengatakannya sambil menatap kosong gelas milik Sadam.

"Ha? Maksud lo?"

Tatapanku beralih ke arah Sadam. "Iya, Dam. Gue tuh ngerasa kayak Cinderella tanpa sepatu kaca."

Sadam menggeleng. "Gue enggak ngerti, Bri. Maksud lo Cinderella gimana? Tapi perasaan hubungan lo sama Om kayaknya baik-baik aja deh."

"Bukan sama Ayah." Aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi. "Tapi sama Mama."

Sadam duduk bersandar dan menatapku.

"Gue mulai sadar pas gue masuk SMA. Mama lebih perhatian ke Kak Mia. Sedangkan gue, cuma dipanggil pas Mama butuh sesuatu."

Sadam menarikku dalam rangkulannya. Dia juga membimbing kepalaku untuk bersandar di pundaknya. Dan aku menangis tanpa suara.

"Gue harus gimana, Dam? Gue mau juga dapet kasih sayang dari Mama. Gue pengin pergi jalan-jalan sama Mama." Air mataku mulai deras. Mungkin Sadam tahu kalau aku menangis.

Sadam memelukku. "Lo harus kuat, Bri. Ada gue di sini. Gue enggak percaya, lho. Enggak mungkin lo bukan anak mereka. Buktinya mirip banget sama Om Anugerah."

Tangisanku tiba-tiba terhenti. Kulepaskan pelukan Sadam. Kuusap pipi secara kasar. "Mirip?"

"Iya. Sikap lo yang mirip banget sama Om Anugerah."

Bahuku merosot. Kata-katanya tidak membantu memperbaiki mood-ku.

"Lo baik, periang, manis, terus—"

Kepalaku tertunduk. "Makasih, Dam. Kata-kata lo udah menghibur gue. Gue capek. Mau istirahat aja di rumah."

"Bri, pokoknya lo harus kuat. Tunjukkin ke nyokap lo kalau lo bisa."

Aku kembali menatapnya.

Sadam menepuk punggung telapak tanganku. "Lo beruntung, Bri. Dan lo harusnya bersyukur karena lo masih punya keduanya. Bokap gue udah enggak ada, Bri."

"Sorry, Dam. Gue lupa." Sebaiknya kusudahi saja percakapan ini. Karena kalau diteruskan, Sadam bisa teringat lagi kejadian yang sempat membuatnya trauma dan aku pun yang melihat kejadian itu shock sampai tak bisa berkata apa pun.

MAHKOTA KERTAS [tamat]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant