7 - Atlantic

Mulai dari awal
                                    

"Seperti kataku tadi, aku merasa seperti sedang ingin pergi liburan," jawabku sekenanya dan berjalan menuju salah satu sisi rumah pantai itu.

Di seberang hamparan pasir putih, berdiri dengan megah sebuah gedung yang tidak cukup besar, namun desain bangunannya yang sederhana dan anggun menyita perhatianku.

"Tempat apa itu?"

Joanne mendekat ke arahku dan mengintip. Gadis itu menyibakkan rambut merahnya yang ia urai dan menggeleng kecil.

"Entahlah, aku tidak terlihat seperti seorang penghuni pulau ini, bukan? Daripada itu, bisakah kau berhenti mengalihkan topik pembicaraan? Apa Tuan Phillip menghubungimu?"

Aku menghubunginya duluan. Sialan.

"Aku akan segera kembali," ucapku sambil berjalan ke arah seberang sisi pulau di mana gedung unik itu berada.

"Hei, kau akan pergi begitu saja? Bagaimana dengan persahabatan kita?"

"Bawa barang bawaan kita ke dalam. Itu gunanya kau ada di sana," seruku karena suara Joanne makin memudar oleh teriakan ombak.

Aku harus berjalan melewati pepohonan gersang dan jalan bebatuan untuk sampai di sana, di sisi utara pulau. Selama perjalanan, aku mengamati sekitar dan satu hal yang kusadari adalah pulau ini sepertinya pernah berpenghuni dulu. Meski tidak ada kapal lain selain yang kami gunakan, ada bekas dermaga untuk kapal kecil, dan papan petunjuk arah yang sudah berkarat di dekat bangunan.

Bangunan itu pun memberikan kesan yang sama dengan lingkungan di sekitarnya. Tidak ada penjagaan di sekitar akses masuk menuju ke area bangunan itu. Tak adanya perlindungan khusus di sekitar bangunan itu membuatku lega, karena itu berarti tak ada yang berbahaya di sana. Setelah aku cukup dekat dengan bangunan itu, barulah aku dapat melihat nama gedungnya tertulis di papan, yang mana sudah berkarat juga.

Atlantic Sea's Shark Conservancy Center.

Wow, pusat penangkaran? Kenapa aku baru tahu ada tempat seperti ini di Florida? Tempat ini memang terlihat sangat privat. Jika bangunan seperti ini ada di pulau ini ... apa aku salah mengartikan bahwa pulau ini adalah pulau pribadi? Apa Winston menyewa pulau ini dari pihak penangkaran? Mungkin aku bisa menanyakannya nanti. Yang jelas untuk sekarang, aku tidak bisa menghentikan diriku untuk tidak dikuasai rasa penasaran dan membiarkan kakiku melangkah masuk ke dalamnya.

"Halo? Apa ada orang di dalam?" seruku di depan pintu masuk.

Hening.

Aku menunggu hampir satu menit dan tidak mendapatkan jawaban apa pun meski aku mengulangi pertanyaan itu beberapa kali. Ini bukan musim libur kerja. Dan di hari kerja seperti ini, cukup mengherankan saat aku melihat papan yang bertuliskan tutup di depan pintu. Apa mereka lupa mengunci pintunya jika memang mereka tutup? Baiklah, tidak akan ada yang menyalahkanku jika aku yakin, tempat ini sudah tidak beroperasi lagi.

Aku berjalan melewati pintu masuk gedung yang terbuat dari kaca, mengamati betapa hebat arsitek yang merancang bangunan itu. Rasanya sayang sekali jika bangunan ini dibiarkan begitu saja, tidak terawat. Warna dinding dan biasan cahaya siang itu membuat ilusi mata hingga membuat bagian dalam bangunan terlihat seperti berada di dalam air dangkal. Dilihat semakin dekat, barulah mataku beradaptasi dengan baik dan menyadari bahwa itu hanyalah biasan cahaya dari kaca di atap bangunan kecil ini.

Klek!

Aku terkesiap dan melangkah mundur saat salah satu pintu dalam bangunan itu terbuka begitu aku bersandar padanya untuk mengintip lebih dekat. Pintunya tidak terkunci meski papannya menunjukkan ruangan itu tidak sedang beroperasi.

Selain karena tak ada yang bisa kumintai izin untuk memasukinya--lagi pula aku tak ingin meminta izin--,kurasa bukan masalah jika aku masuk untuk hanya melihat-lihat. Semoga. Aku tahu ini mungkin akan membuatku berada dalam masalah, tapi nyatanya kakiku terus berjalan memasuki ruangan itu.

Di dalam ruang itu, secara mengejutkan aku menemukan barang-barang yang kupikir tidak akan ditinggalkan begitu saja oleh pengelola jika tempat ini benar-benar ditutup. Beberapa piagam penghargaan yang menyatu dengan tembok, TV LED berdebu berukuran rakasasa di salah satu ruangan kecil lain, lalu ruangan lainnya terkunci. Yang membuatku terus berjalan adalah suara air —atau ombak?—yang semakin keras saat aku memasuki bagian dalam, atau lebih tepatnya bagian luar dari ruangan jika kau memasukinya terus lebih dalam. Berbekal suara ombak yang menuntunku, aku terus berjalan, menikung ke arah pintu-pintu kecil, kemudian di pintu terakhir dari bangunan itu, aku menemukan hal yang apa yang kucari.

Di depan mataku, terbentang lautan yang terlihat hijau terang, lengkap dengan suara ombak yang tenang, begitu khas, begitu kontras dengan langit biru yang setengahnya sudah mulai merona merah. Jalan di hadapanku terbuat dari kayu-kayu, mirip dengan dek pinggir laut, di mana tempat kapal-kapal kecil bisa bersauh. Jalan itu sempit, terlihat rapuh, cukup panjang. Yang membuatku terpukau adalah, air laut yang tinggi membuat jalanan itu seakan melayang-layang di antara permukaan laut. Sungguh pemandangan yang membuatku kehilangan napas sesaat saking indahnya.

Persepsiku dari kata kayu rapuh, berganti menjadi lebih kuat dari pada kelihatannya, saat aku mulai melangkahkan kaki di atas dek kecil itu. Kayunya masih kuat meski berderik-derik. Kurasa kayu ini tidak akan patah meskipun ada dua orang pria dewasa berlari di atasnya.

Aku mengintip-intip dalam air di bawahku. Sangat jernih, hijau, terlihat tidak terlalu dalam, aku bisa melihat dasarnya, meski tidak terlalu jelas. Batu karang, dan ikan-ikan kecil. Sangat indah. Panorama indah di bawah sana membuatku semakin penasaran dengan ujung paling jauh dari jalan kayu setapak ini. Di sana terdapat bangunan kecil seperti tempat menyimpan peralatan renang atau semacamnya.

Angin laut menyapaku dengan sangat ramah saat aku tiba di sana. Ia menyibakkan rambutku dan aku dengan senang hati menerima sentuhan hangat yang dulu sangat kusukai itu.

Andai Papa di sini.

Ah, mengingat Papa hanya akan menghancurkan mood baikku. Aku menunduk, mencari pengalihan yang bisa kudapatkan di bawah sana. Di sana terlihat lebih dalam, tapi aku masih bisa melihat bagian dalam laut itu. Namun berbeda dari yang lebih dangkal, bagian bawah lautan itu kini hanya hamparan pasir putih, tanpa karang.

Tunggu, aku melihat sesuatu di dalam sana.

Apa itu manusia?

Ada seseorang tengah menyelam di sana. Seorang pria. Rambutnya pirang, nyaris putih, berkibar-kibar, mengikuti arus. Ia memakai baju menyelam, tanpa tangki skuba ataupun sirip di kakinya. Tubuhnya terbentang secara horizontal di bawah sana, menghadapku. Terlihat sangat rileks, ia bahkan memejamkan matanya, seperti tengah tertidur.

"Tuan Phillip?"[]


To be continued, 🐨

15042021

Don't forget to click the ⭐ button and follow me to get every notification. Love ya

Miss Brown (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang