Bintang dan Angkasa

352 88 41
                                    


Senja kali ini terlihat lebih bahagia. Ia membawa senyuman ke dalam hati. Tidak ada yang lebih indah selain menikmati tenggelamnya mentari dengan segelintir angin yang menembus kulit di sore ini. Aku menghampiri dirinya yang sedang duduk di atap sekolah. Perasaannya masih belum berubah sejak pertama kali berteman. Karena pernah kecewa, Angkasa harus berdamai dengan hatinya atas kepergian seseorang.

"Aku baik-baik aja, Ta. Kamu ngapain disini?"

"Mau nyusulin kamu."

"Pulang yuk!"

Hampir tujuhbelas tahun lamanya kami bersahabat. Terhitung sejak tanggal 1 Januari saat aku dan Angkasa dilahirkan di waktu yang bersamaan dengan orangtua yang sudah lama menjalin pertemanan. Rupanya, mereka memberi nama Bintang dan Angkasa karena bintang tidak akan pernah meninggalkan angkasa bagaimanapun keadaannya.

Angkasa menyalakan motornya, kemudian memberiku jaket dan helm. "Ini dipakai biar engga kenapa-kenapa."

"Kamu takut terjadi sesuatu sama aku, ya?"

Angkasa hanya tersenyum.

"Aduh, ribet!"

"Sini dipakaikan."

Senyumnya semakin manis. Tatapannya teduh sekali. Aku tidak pernah tahu angin malam bisa menjadi seromantis ini. Laju motor yang tadinya cepat kini dilambatkan. Angkasa menggerakan kaca spion ke arahku. Katanya, agar bisa melihat wajahku yang lucu ini saat diajak bicara. Memang benar, aku menjadi seperti itu kalau mendengarnya cerita. Setelah itu dia jadi tertawa sendiri.

Wajah Angkasa berubah menjadi sedih. "Menyayangi seseorang memang harus serumit ini, Ta?"

"Semesta memang begitu. Perasaan tidak bisa disalahkan, ya terserah dia mau melabuhkan hatinya dimana dan kapan. Ah, kamu belum juga move on ya, Sa."

"Bukan begitu."

"Terus bagaimana?"

"Nanti saja. Kita pulang dulu."

Angkasa tidak ingin mengingat kejadian yang menyakitkan lagi. Padahal dia sering memulainya terlebih dahulu. Selalu saja begitu. Angkasa mengantarku hingga ke teras. Rumah kami dekat sekali, hanya berseberangan. Harusnya dia bisa menurunkanku di depan rumahnya dan aku hanya perlu jalan sekitar sepuluh meter saja. Itu terjadi karena satu tahun yang lalu usai acara di sekolah kami pulang larut malam dan aku terlalu lelah untuk membuka mata yang membuat salah masuk rumah. Itu konyol sekali.

"Besok aku pergi dari pagi sama mama. Aku pulang secepatnya biar malam minggu bisa pergi sama kamu ke luar. Kalau engga bisa nanti aku beli makanan terus nonton di rumah kamu ya."

"Iya, tapi jangan dipaksain."

"Diusahakan."

Aku hanya tersenyum.

"Selamat malam. Mimpi indah, tapi jangan mimpiin aku."

Sesuai dengan namanya, Angkasa membuat hati ini semakin luas dengan sejuta bintang yang menggambarkan perasaanku.

Besok sore, Angkasa datang ke rumah untuk menjemput pergi. Dia menawarkan pilihan ke beberapa mal di Jakarta, tapi aku menolaknya. Aku hanya ingin pergi ke kedai es krim saat itu. Dan, dia mengabulkan. Kedai es krim buka saat kami masih duduk di kelas 2 SD. Sejak pertama kali berkunjung hingga saat ini tidak nampak perubahan yang terjadi disana. Tidak ada dekorasi yang berlebihan. Hanya balon dan beberapa figura yang membuat ruangan menjadi lebih manis. Warna dindingnya tidak pernah berubah. Sesekali di cat agar tidak terlihat pudar. Penjualnya seorang pria paruh baya yang sangat ramah. Agar tidak kesepian ia sengaja membuka kedai es krim ini setelah istri dan anak-anaknya meninggal karena suatu penyakit.

Tentang PerasaanWhere stories live. Discover now