"Aku akan membayarnya kalau begitu!"

Aku mendelik. Jika di hitung, sungguh banyak sifat Suga yang tak aku suka. Namun, tetap saja aku tidak bisa menjauhinya.

"Dia temanmu!"

"Apa salah nya?!"

Aku menghela napas. Selalu begini.

"Sudahlah, Suga. Aku baik-baik saja, lagian aku tak pantas mendapatkan semua itu," ujarku memelankan suara, "yang berarti telah hilang di diriku." lirihku sebelum beranjak dari tempat.

×××

Rasanya aku ingin mengantukkan kepala Suga ke dinding, ketika melihat Rendi berdiri dengan senyum lebarnya di hadapan pintu kost ku, di pagi-pagi buta yang aku yakin, kalau Suga sendiri masih terlelap dalam tidurnya.

"B--bang Rendi?"

"Hai, udah siap?" tanya Rendi lembut.

Aku mengangguk. Entah kenapa, rasa tidak enak dan bersalah, selalu hadir setiap kali melihat Rendi.

"Maaf, ya, ngerepotin. Padahal aku udah suruh Suga untuk gak ganggu kamu," ujarku merasa bersalah.

Dia terkekeh dan menyerahkan helem merah yang selaluku pakai, jika berangkat bersamanya.

"Sudah biasa kali Di. Kamu juga tau gimana sifatnya tuan muda Suga," ujarnya menghidupkan mesin, "sudah?" tanyanya yang langsung aku jawab, "Ya."

Mengenal Suga berarti mengenal Rendi. Entah bagaimana mereka menjalani persahabatan yang menurut pandanganku bukan seperti hubungan pertemanan.

Padahal, aku tahu, Rendi dan Suga sudah berteman sejak kecil. Wajar, bagi Rendi tidak kesal atas sikap Suga yang terkesan 'bos'. Namun, aku masih saja tidak bisa menerima dengan baik hal itu.

Tuan muda Suga dan lelaki biasa Rendi.

Aku menghela napas.

"Bang Ren, sekali aja nolak permintaan Suga bisa ga sih?" tanyaku gemas di belakang.

Dia terkekeh dan menoleh ke belakang sekilas.

"Tau sendiri kalau dia di tolak gimana."

"Ya, tapi kan... Bang Ren juga punya kesibukan sendiri, harus ke pasar beli bahan-bahan untuk jualan, ke kampus, ngerjain tugas dan segala macamnya lah. Bang Ren juga butuh nongkrong juga kali sama temannya Bang Rendi, ga harus berputar sama perintah Suga yang nyuruh untuk ngantar jemput aku. Aku ngerasa ngerepotin Bang Rendi kalau gini." dengusku kesal.

Rendi kembali terkekeh, kali ini menepuk lututku.

"Bang Rendi ga ngerasa di repotin sama adik kecil ini."

"Ish, apaan sih Bang!"

Dia tertawa. "Bang Ren, suka kok." Aku memutar mata, "lagian, kamu emang harus di jagain. Biar ga diambil orang, kasian Suga." godanya.

Aku menghela napas. Rasa aneh itu kembali hadir, memberi getar ngilu di ujung hati. Membungkam mulut tanpa ampun.

"Aku bukan perempuan yang harus di jagain Bang," ujarku setelah turun dari motor Rendi dan berbalik.

Melangkah dalam penyesalan hati. Mungkin membiarkan Rendi memikirkan apa yang salah dari ucapanku.

"Andia Anaya!"

Aku berhenti melangkah. Neraka kedua dalam hidup selain Suga. Aku berbalik dan memaksa diri untuk tersenyum seperti biasanya.

"Mana Suga?!" Dia bertanya dengan ciri khasnya.

Aku mengendik dan menggeleng kecil.

"Mana Suga!" Dia bertanya sekali lagi dengan bentakan.

Aku menghela napas. Menghadapi orang-orang seperti mereka sudah biasa bagiku. Tepatnya, setelah mengenal Suga. Pangerannya keluarga Fajar.

Pewaris tunggal Fajar Grup dan juga Almindra Company. Yang jalan hidupnya sudah jelas dan terjamin sejak masih dalam kandungan. Bukan seperti ku maupun Rendi, yang harus berusaha mencari jati diri untuk mensukseskan hidup di masa tua.

"Woi! Suga mana?!"

Aku mendelik. Menatap malas Ghinta yang bersama antek-anteknya.

"Mana gue tau, di baju nya kali." lalu berbalik.

Menghiraukan teriakan kekesalan Ghinta terhadapku. What ever, i don't care with she.

Kebal sudah nyaliku menghadapi Ghinta ataupun para SH, Sugaholic, yang katanya kumpulan cewek-cewek pencinta Suga. Dasar gila.

Pencinta alam aja sana dibanyakin. Biar sampah-sampah di tanah pertiwi ini, tidak berkeliaran. Atau, sampah di gunung setiap mendaki lenyap, tanpa jejak. Dipungutin tuh.

Ah, ka ... paritlah!

Drtt drtt

Suga is calling...

Aku menghela napas. Mendengus berulang kali. Bisa tidak, manusia yang bernama Suga Ardianto Fajar lenyap sejenak. Tidak muncul ataupun hadir dalam kehidupanku, Tuhan?

Tidak dekat, tidak jauh, selalu saja ada Suga dimana-mana. Mengintip seperti setan. Tuhan, tendang Suga ke merkurius.

"Halo!"

"Halo, honey. Lagi apa?"

"Berik,"

"Jutek bener Di, siapa yang bikin kesal?"

"Lo."

"Lah, kenapa aku, hm? Baru aja ngehubungin udah kesal aja. Aku aja kangen,"

"Alay lo! Baru juga jam empat ngehubungi gue, sekarang jam 8 lo telpon lagi."

"Ha ha. Berarti kamu spesies yang ngangenin,"

Aku mengejek, jengkel.

"Kangen-kangenan dengkulmu! Sana mandi, habis itu makan!" teriakku kesal di lorong panjang yang sepi.

Dia kembali tertawa. Menggoda di ujung sana. Sadar betul bahwa aku akan menahan kesal di sini.

Ah, Suga. Andai membunuh orang sah-sah saja dan tidak masuk penjara, tapi malah dapat uang. Sudah aku bunuh kamu dari dulu, Suga.

"Tau aja aku belum mandi. Oke, bye honey. Jaga diri kamu selama aku di sini. Bilang kalau ada yang ganggu, bakalan aku jadiin samsak tinju."

"Lo yang gue jadiin samsak tinju, Suga!"

"Jangan... Nanti kamu nangis. Aku ga suka liat kamu na--"

Tut.

Dasar Suga, sok ngeDilan. Kapan dia nonton Dilan coba?

Aku mengendik dan kembali melangkah. Mencoba menguburkan kekesalan akibat tuan muda Suga, yang katanya tengah menghadiri rapat mewakili Fajar Group di Bandung, sebelum minggu depan ke Spanyol.

Enak banget, bisa keliling dunia.

Drtt drtt...

Getaran singkat itu membuat aku melirik layak ponsel dan membuka pesan yang dikirimkan Suga melalui salah satu aplikasi chatting.

Me, in your heart, in your mind, Andia Anaya.

Dasar suganto narsis!

×××

Halo!  Aku LobakChol, panggil aja LC. Masih bagian dari Au sama Yah Ichol ya😉

×××
Begimana dengan cerita di bab pertama ini?

Menurutmu sifat Suga itu bagaimana sih?
Dan Dia bagaimana?

Semoga suka ya. Lov all.

30 N 18

#LobakChol

POTRETWhere stories live. Discover now