Dua

92.8K 8.9K 277
                                    

"Maaf, Mbak Sasi. Dia bilang nggak mau ...."

Sasi mendesis lagi untuk kesekian kalinya ketika mengingat kembali ucapan yang disampaikan Ustaz Fauzan hari kemarin. Kalimat itu memang masih dilanjutkan lagi dengan penjelasan bahwa Arsal tidak mau melanjutkan ke proses selanjutnya. Bagi Sasi, kata-kata itu seolah menyiratkan jika Arsal tidak mau dengannya. Ini benar-benar menyinggungnya. Padahal Sasi pun juga akan memberikan jawaban penolakan untuk lelaki itu. Namun sayang, dia kalah cepat. Arsal justru lebih dulu menjawab, bahkan kurang 4 hari dari waktu yang diminta Ustaz Fauzan untuk memberi jawaban. Lelaki menyebalkan itu seakan tidak sabar untuk sesegera mungkin menolaknya. Pff ....

Sasi menghela napas panjang ketika lagu yang diputarnya akan segera berakhir satu menit lagi. Dipasangnya kembali headphone yang tadi sempat melingkari lehernya. Sasi menggerakkan mulut ke kanan dan ke kiri sebanyak 5 kali. Lalu, dijulurkan lidah itu keluar masuk agar tidak kelu saat hendak berbicara. Dia harus kembali melakukan senam mulut sebentar. Mengingat Arsal, mungkin akan memberikan efek pada lidahnya yang mendadak belibet saat on air.

Sasi memasang senyum ketika hendak masuk. Seorang penyiar radio memang harus pandai menyembunyikan bagaimana perasaannya saat sedang mengudara. Dia harus terlihat baik-baik saja ketika berhadapan dengan para pendengar—meski saat ini sedang kesal sekalipun.

Telunjuk tangan kiri Sasi menggeser fader mixer pada channel microphone ke atas, sementara—secara bersamaan—telunjuk kanannya menggerakkan fader mixer pada channel komputer ke bawah. "Seratus tiga koma dua MCH FM, smart moslem station. Jarum jam di studio kami sudah menunjukkan pukul sembilan lebih lima puluh empat menit waktu Indonesia barat. Tidak terasa, kebersamaan kita hanya sampai di sini saja, sahabat MCH FM." Sembari terus berbicara, tangan Sasi sudah berganti memegang mouse. Di-klik-nya lagu Maher Zain berjudul For The Rest of My Life pada Matrix Automation Radio Software. "Akhirnya, saya, Ayudia Sasikirana, pamit undur diri dari ruang dengar Anda. Sampai berjumpa kembali insya Allah di lain kesempatan. Terima kasih atas perhatian Anda. Jazakumullah khairan katsiran. Wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh."

Suara Maher Zain mengalun merdu ketika Sasi menggeser fader mixer pada channel komputer ke atas. Sasi menurunkan headphone setelah memastikan microphone dalam keadaan mati. Gadis itu sontak menoleh ketika seorang wanita berbadan lebar membuka pintu ruang siar. Sasi berpindah ke kursi sebelahnya, sementara kursi putar yang berada tepat di antara mixer dan monitor komputer itu diduduki oleh wanita berbobot 75 kg dengan tinggi 155 cm itu.

"Aku lihat dari luar call box, kayaknya kamu lagi bete, Sas," kata Hania, rekan sesama penyiar, sembari jemarinya utak-atik mouse untuk menyiapkan radio jingle, sweeper, backsound, lagu dan iklan sesuai yang tertulis di log siar untuk persiapan program siar selanjutnya. "Kenapa? Ada masalah?"

Sasi hanya melirik sekilas. Dia tidak berniat menjawabnya. Nggak penting juga, kan?

Hania baru mengalihkan pandangan setelah dia meng-klik materi siaran yang sudah disiapkan oleh script writer. Wanita itu menyeringai jahil. "Dari mimik mukamu kayaknya kamu baru saja ditolak orang deh, Sas," tebaknya terkikik geli.

Sasi kontan berdecak sebal. "Bukan cuman dia yang nolak. Aku juga mau nolak. Tapi, kalah cepat sama dia." Sebenarnya umur Hania itu dua tahun di atas Sasi. Namun karena permintaan Hania yang tidak mau dipanggil 'Mbak' atau 'Kak', akhirnya Sasi berbicara layaknya sesama teman sebaya.

Hania terlongo. Padahal dia tadi hanya sekadar menebak asal yang hanya dimaksudkan untuk mencandai Sasi. "Tadi aku cuman asal saja lho, Sas. Nggak tahunya bener," ujarnya masih menyiratkan mimik takjub dari raut wajah lebarnya.

Love in the Call Box (Completed)Where stories live. Discover now