SATU

5.3K 216 43
                                    

"Gin, besok lo kejar terus itu politikus busuk, ya. Gue enggak mau kita kesalip si Biru cuma karena lo enggak bisa ngatur bawahan buat nyebar. Cover both side, Gin. Masa dua tahun di sini lo gak bisa gue andelin, sih." Kyra menghampiri Gina yang duduk menghadapi laptopnya.

"Iya, Mbak. Gue pastiin anak-anak besok mepet terus. Gue pakein lem power kalo perlu," jawab Gina.

Kyra tersenyum, perempuan awal 30an itu menggandeng redaktur pelaksananya, "Minta juga pandangan oposisi."

"Beres," Gina membalas. "Pokoknya selagi Nyonya Kyra cuti, kerjaan lo beres gue ambil alih."

"Enggak usah ngebet buat dapetin posisi gue, Nyuk. Gue ambil cuti dua hari sebelum nikah aja."

Gina berdecak, "Heh, seriusan lo, Mbak?"

Kyra mengangguk, "Kenapa enggak?"

Gina menggeleng, "Gila, ya. Ini Pimred gue. Suami lo kasihan, lah."

"Yeee, ada wedding organizer, buat apa gue repot. Dia dibayar buat repot, Nyuk. Gue sama Bari manggut-manggut aja," Kyra membalas. "Lagian lo kayak enggak kenal Bari aja. Dia juga gila kerja, mana mau dia ninggalin perusahaan dalam waktu yang lama buat urusan begituan. Kita udah sepakat, Nyuk."

"Ah, elah. Nama gue Gina!"

"Lebih terdengar cantik pas dipanggil Nyuk."

"Sialan," maki Gina. "Lagian, ya, lo berdua itu pasangan paling enggak jelas tauk enggak. Yang lain sibuk nyiapin nikahan supaya bisa dikenang seumur hidup, lo pada masih nyolot soal kerjaan aja. Nanti anak lo jadi apa kalo Emak bapaknya sibuk kerja melulu?"

"Heh, Gin. Gue kasih tahu, ya. Artikel majalah sebelah yang gue baca tempo hari bilang, enggak boleh stress menjelang pernikahan. Enggak baik itu."

"Ya, justru karena lo kerja terus kayak gini lo rentan stress."

"Yang ada juga lo yang stress, karena enggak bakal dapet posisi gue lama-lama," balas Kyra cepat.

Gina berdecak, "Dasar gila!"

Kyra tertawa. Ponsel dalam genggamannya bergetar. "Bari," katanya kepada Gina. Perempuan itu lekas mengangkat panggilan.

Sambil sibuk dengan laptopnya, Gina masih terus mengamati Kyra. Pimrednya adalah orang yang gila kerja. Bahkan sampai hari ini, seminggu sebelum akad pernikahannya. Apa tadi, katanya? Dua hari sebelum menikah dia baru cuti? Gila! Gina berdecak.

"Bari udah di depan," Kyra berucap sesaat setelah memutus sambungan telepon. "Gue duluan ya, Gin. Jangan lupa itu catatan yang gue kasih," tambahnya lagi.

"Iya, Nyonya. Tapi tadi beneran itu, Mbak. Nanti anak lo kasihan dapet Emak Bapak kayak kalian berdua."

Kyra yang sudah mau beranjak, berbalik lagi. "Santai, Shay. Di perut gue belum ada anaknya. Nanti kalau udah ada, gue pikirin." Setelah bicara begitu, Kyra beranjak.

"Dasar gendeng!" Gina memaki. Bercanda, tentu saja.

Sambil melangkah menuju pintu keluar, Kyra hanya melambaikan tangan kepada bawahannya itu. Walau secara struktural Gina adalah bawahannya, Kyra tidak ingin terlalu berjarak, berlaku juga untuk yang lain. Bagi mereka, Kyra adalah panutan. Kyra begitu disegani dan bisa diajak bercanda dalam waktu bersamaan. Ah, kau pasti mengerti apa yang coba penulis sampaikan. ... ya, seperti itu.

_

Sedan hitam pabrikan Jerman itu terlihat memasuki area gedung perkantoran. Pelan, mobil itu mendekati lobi utama gedung tersebut. Seorang perempuan tengah berdiri anggun, menenteng tas. Dia segera masuk ke dalam begitu mobi berhenti di hadapannya.

Si pengemudi lekas memberinya kecupan, di pipi kepada si wanita. "Sore, ibu yang sebentar lagi jadi ibu negara," katanya, tertawa, membuat perempuan di sampingnya tersipu. Dia kemudian menarik persneling, dan menekan tuas kopling dan gas bergantian. Mobil itu melaju.

Menebas jalan Jakarta yang macet adalah keharusan yang konyol. Sebelum ini, Kyra lebih sering menggunakan moda transportasi masal, mengendarai mobil miliknya hanya sesekali. Sebagai orang luar Jakarta yang paham seluk beluk jalan Jakarta, Kyra tak ingin waktunya habis di jalan. Sama halnya dengan orang-orang urban yang mendiami kota ini, banyak hal yang harus dikejar, dan berkendara dengan mobil pribadi bukanlah solusi. Namun, sejak Bari ada di hidupnya, dia harus merelakan waktunya sedikit lebih lama di jalan Jakarta yang macet. Sebenarnya Kyra tidak ingin membuat Bari susah payah menjemputnya dulu dari Tangerang ke Jakarta, sebelum akhirnya kembali lagi ke Tangerang. Betul, Bari bekerja di Tangerang sementara Kira bekerja di Jakarta, untuk kemudian keduanya pulang ke Tangerang. Kyra sedikit berdecak untuk kenyataan yang menurutnya konyol itu.

"Kita akan segera jadi suami istri, Ay. Kamu tahu, kan, waktu kita terlalu singkat? Jadi sudilah kiranya kita sedikit berlama-lama di jalan. Nanti kukecup pipimu setiap hari biar enggak bete, deh" itu pembelaan Bari untuk kerepotan Tangerang-Jakarta-Tangerang. Kyra mengalah.

"Mau makan di mana?" Bari bertanya.

"Kamu lapar? Kalau iya, kita berhenti di tempat biasa?" Kyra balik bertanya.

Bari kelihatan berpikir, jari telunjuk kanannya mengetuk-ngetuk kemudi. "Kalau kita mampir di Pasar Lama, gimana?" Pertanyaan yang dibalas pertanyaan dan disahuti pertanyaan.

"Boleh," jawab Kyra akhirnya. Dia tidak ada stok pertanyaan yang berhubungan lainnya.

Dengan tangan kirinya Bari menggenggam tangan Kyra, lantas mengecupnya, dalam. Dia kemudian mengembalikan tangan calon istrinya itu ke tempat semula, ke pangkuan si empunya. Lelaki 32 tahun itu kembali dengan kemudi, dia mengarahkan mobil masuk ke gerbang tol.

_

Satu setengah jam sebelum mobil yang membawa Kyra dan Bari melaju, di dalam sebuah taksi yang akan membawanya ke Bandara Internasional Narita, duduk seorang laki-laki 31 tahun. Dia sedang bercakap-cakap dengan seorang anak laki-laki lewat layar ponsel. Keduanya beberapa kali berbagi senyum dan tanya.

"Love you, Pa," ucap anak itu sembari menempelkan telapak tangannya ke layar ponsel.

"Love you, Neilo," balas lelaki itu, tersenyum. Sambungan video call diputus.

Sore ini juga dia harus berangkat ke Jakarta, lantaran perusahaan menugasinya untuk satu urusan konstruksi di ibukota negara kelahirannya itu. Sebenarnya sudah ada dua utusan perusahaan di sana. Tapi, karena Narendra, nama lelaki itu, berasal dari negara yang sama, maka kehadirannya diharapkan bisa memuluskan komunikasi antara perusahaan dengan yang memakai jasa mereka.

Di luar, langit sore Tokyo diselimuti awan mendung. Dia melirik jam tangan, pesawatnya pukul 17.55 tinggal landas.[]

.
.
.
Halo, semua.
Jangan nanya, ini kok tulisan sebelumnya belum selesai udah ada tulisan lainnya, sih? Selingkuh, ya?
Bukan, bukan begitu. Saya hanya mencoba peruntungan saja, dan kemudian ada idenya. Iya, tulisan ini untuk mengikuti #GrasindoStoryInc. Jadi, mohon sokongannya, ya. Ceilah.

Salam,
Rky

Sebelum Hujan TurunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang