Prolog

12.8K 2K 187
                                    

"Dia asing, tapi pengaruhnya luar biasa. Dia menyebalkan, tapi kehadirannya membuatku damai. Walaupun sejenak..."

Selamat Membaca

Jangan lupa vote dan comment... 

Aku bertanya-tanya bagaimana nasib badanku kalau terlempar dari lantai enam rumah sakit ini. Gedung ini tinggi. Di bawah sana aspal yang keras. Hancur lebur, dan itu artinya kesempatan aku diselamatkan tidak ada.

Aku membuka sedikit jendela kaca kamar rawatku. Seketika angin menerpa wajahku, tapi bukan angin yang segar. Angin khas Ibu Kota, aroma asap.

"Saya harap kamu nggak mempunyai pikiran buat lompat dari sana," katanya.

Suara tenang tapi dalam itu membuat cengkeramanku pada tepi jendela semakin kencang. Aku berdoa dalam hati, semoga dia menghilang sebelum aku berbalik. Dia cukup mengganggu. Dia selalu berhasil menarikku kembali setelah aku berlari sangat jauh. Dia selalu jadi orang pertama yang kulihat saat aku sadar, bahwa aku masih berada di kehidupan yang memuakkan ini. Aku tidak berhasil kabur. Aku terpaksa harus 'hidup' kembali. Dia melakukan tugasnya dengan baik. Selalu.

"Tevy?" Dia berdeham dan suara langkahnya semakin mendekat ke arahku. "Jangan punya pikiran itu. Kamu harus tahu, kalau kamu melakukan itu... reputasi rumah sakit ini akan buruk setelahnya—"

Aku melepaskan cengkeraman tangan dari pinggiran jendela dengan kasar dan berbalik ke arahnya. Aku langsung menatapnya tajam seolah bukan menunjukkan dia yang ingin kulempar lewat jendela itu, bukan aku.

"Kenapa anda selalu mengganggu ketenangan saya?" ketusku.

Dia mengangkat kedua bahu bersamaan, lalu memasukkan kedua tangannya ke saku celana bahan hitamnya. "Saya dokter kamu... sudah kewajiban—"

"Oh ya? Dokter saya? Seingat saya dokter itu sudah visit tadi siang, didampingi satu suster dan memakai jas putih lengkap dengan name tag bertuliskan dr. Lemuel Aharon. Tapi anda... datang sendiri. Tanpa sneli, stetoskop dan name tag. Maaf, anda siapa, yah?"

Aku berjalan ke ranjang dengan satu tangan sibuk menggeret tiang infuse. Aku duduk di tepi ranjang dan dia masih berdiri di tempatnya semula, di ujung kaki ranjang ini. Satu tangannya menggelantung santai pada ujung sandaran kaki, sementara satu tangan lagi dia letakkan di samping pinggul.

Cukup lama kami hanya saling pandang. Aku menggunakan kesempatan itu untuk mencari tahu motif dari segala tindakan yang dia lakukan selain karena pekerjaan, anggaplah aku terlalu percaya diri tapi aku merasakan ini bukan lagi sekadar pekerjaan. Dia sadar aku menyelidikinya. Dia memutus pandangan kami, memberanikan diri lebih dekat denganku lalu duduk di kursi hitam persis di depanku.

"Kamu nggak bosan selama tujuh bulan terakhir, ini kali keempat kamu masuk ke rumah sakit... dengan alasan yang sama." Dia menyandarkan badan kokohnya ke sandaran kursi dan bersedekap. Aku mencoba untuk mengabaikan, tapi segala sesuatu dalam dirinya terlalu menarik. Dia seharusnya menjadi model daripada dokter. Rambutnya hitam berantakan sedikit Panjang, tingginya seratus delapan puluh sentimeter, badan dan lengannya berotot, belum lagi mata kuning keemasan, lesung pipit, serta wajah campuran Indonesia-Kanada, yah—dia tampan. "Seharusnya wanita seusia kamu bolak balik mall daripada rumah sakit."

Sebaiknya kamu berada di sampul majalah atau ikut ajang-ajang pemilihan semacam miss universe tapi khusus pria daripada terkurung di tempat menyedihkan ini. Oh—tentu saja aku tidak mengutarakan isi pikiranku itu.

Soulless CreatureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang