Aina Mardiyyah

185 2 0
                                    

Aina Mardiyyah. Nama yang disematkan ayah untuk ku. Saat aku mengingat namaku. Aku sedang berlari-lari kecil menaiki bukit di ujung desa. Di sekeliling berjejer pohon-pohon dedalu raksasa yang menjulang tinggi. Kicauan burung-burung yang bertengger di atas dahan pohon-pohon tersebut berirama. Menambah indahnya panorama alam. Semilir angin yang menyejukkan, serta air terjun nan indah terlihat di hadapanku. Menyejukkan mata bagi yang memandangnya.

Aku duduk di rerumputan atas bukit. Hari masihlah terbilang sangat pagi. Mentari masih malu-malu menampakkan diri. Tapi aku sudah kemari merenung. Berharap setetes embun menghampiriku. Aina Mardiyyah. Nama yang ayah ambil dari nama bidadari yang sangat cantik. Aina Mardiyyah adalah bidadari yang sangat cantik. Ia adalah bidadari syurga yang bermata embun, bertubuh seperti kaca, dan berambut malam. Wangi nafas nya tercium dari syurga pertama sampai syurga ke tujuh. Yang jika diturunkan ke bumi oleh Allah akan membuat semua mahluk hidup mabuk kepayang di buat nya.

Aku masih memandang lurus ke depan . Terlihat santai. Meskipun sebenarnya pikiran ku berkecamuk. Aku bingung, bingung untuk menerima tawaran ayah bersekolah di pesantren luar negara ku. Aku takut untuk mengatakan bahwa aku tidak ingin bersekolah disana. Aku takut, jikalau menolak tawaran ayah ku. Ayah akan marah besar pada ku. Aku tau ayah ingin yang terbaik untuk ku. Tapi aku tidak mau jikalau itu terlalu jauh dari keluarga ku. Ibu, ayah, dan adik ku adalah harta satu-satu nya yang paling berharga bagiku. Tak bisakah ayah membatalkan keputusan nya. Aku tau, aku memang egois untuk hal ini. Aku tau aku tidak pernah menuruti kemauan ayah untuk kebaikan ku. Dan saat ini tak bisakah ayah luluh dengan kemauan ku. Tak bisakah ayah berhenti dengan egonya. Kenapa ayah harus bersikeras dengan keputusan nya. "Menyekolah kan aina disana tetapi bukan dengan kehendak aina. Kenapa ayah harus tegas untuk kali ini. Kenapa ayah membulatkan keputusan ayah dengan satu pihak. Dan tak bisakah ibu membantu aina mencari jalan keluarnya agar aina tidak bersekolah disana. Pesantren Darul Furqan di Afghanistan. Tak bisakah ibu menolong aina!" Teriak ku histeris tanpa suara.

Aku akan bersekolah di pesantren ternama di afganistan. Ya, ternama. Itu menakjubkan bagi yang mendengar kabar ini. Tapi tidak bagiku.

Afganistan adalah suatu negara yang terdapat di asia tengah. Negara penyangga bekas negara uni soviet dan india berbatasan dengan Republik Rakyat China, Pakistan, Khasmir, dan Persia. Daerah afganistan banyak bergunung-gunung dengan pegunungan Hindu kush sebagai tulang punggungnya. Negara ini berbentuk Republik dengan ibu kota nya Kabul dan penduduk nya beragama islam. Pesantren Darul furqan terletak di ibu kota afganistan. Tepat nya di kota kabul. Dekat dengan daerah Khurasan disebelah tenggara iran. Berbatasan dengan bekas negara Uni soviet.

*****

Aku pulang dengan membawa nelangsa yang menumpuk di pikiran ku. Sepanjang jalan membayangkannya. Membayangkannya saja sudah membuat ku bergidik. Bergidik, mungkin sedikit berlebihan. Tapi itulah yang ku rasakan. Berpisah dari keluarga adalah hal terburuk yang tak pernah ku bayangkan. Kepalaku serasa mau pecah sangking berat nya memikirkan hal ini. Apalagi keberangkatan tinggal beberapa hari lagi. Tidak ada cara lagi untuk ku berpikir jernih agar dapat membujuk ayah membatalkan hal ini.

Meskipun sebenarnya afganistan adalah salah satu negara impian ku selama ini. Karna di sanalah salah satu tempat yang ingin ku kunjungi. Bagian timur dan selatan yang merupakan rangkaian pegunungan yang sudah sejak lama ingin ku jejaki. Dan di sebelah barat merupakan bagian dari gurun-gurun Desty-i-kevir. Daerah-daerah Oase dan lembah-lembah sungai yang ingin sekali ku hirup udara nya. Tapi, tak bisakah aku melihat nya bersama orang-orang yang ku sayangi. Seperti saat ini. Menghirup udara di tempat yang sama bersama orang-orang yang ku sayangi.

*****

Aku tiba di depan rumah . Bukan nya masuk ke dalam rumah. Aku malah duduk di kursi halaman depan rumah. Duduk santai menikmati tenggelamnya mentari di ufuk barat. Memandang sunset meluncur di kaki cakrawala adalah kesukaanku. Masih berfikir tentang masa depan. Menatap pohon linden yang berdiri kokoh di depan ku. Ini adalah rutinitas yang selalu ingin aku lakukan bersama orang yang ku sayangi. Menarik nafas dalam-dalam. Agar dapat meresapi ketenangan dan keheningan saat ini. Angin sepoi-sepoi menarpa wajah ku. Satu dua helai anak rambut ku jatuh menutupi mata. Aku menyelip kembali anak rambut yang menghalangi pandanganku. Semburat mega merah menyala di seantero langit yang ku pandang saat ini. Menambah indahnya senja hari yang dilalui sebelum detik-detik keberangkatanku.

Sayup-sayup terdengar langkah kaki yang tak asing lagi di telinga ku. Aku menoleh kebelakang. Ku lihat ayah berjalan menghampiri ku. Berdiri di belakang sembari menyentuh pundak ku. Ayah berdehem mengusik ketenangan.

"Aina dari mana? Kenapa gak masuk?"

"Dari bukit yah!"

"Putriku tersayang. Berbenahlah nak. Persiapkan dirimu. Keberangkatan mu tinggal beberapa hari lagi"

"Aina tau yah. Tapi tak bisakah ayag membatalkan nya. Aina tidak ingin sekolah disana!" Pinta ku dengan memelas

"Aina" Ayah hanya mengucapkan nama ku. Aku mengerti maksudnya. Tidak ada nego lagi. Ayah sudah bulat dengan keputusan nya.

"Iya iya, aina ngerti yah" sahut ku lesu sembari berdiri berhadapan dengan ayah

"Aina masuk dulu ya yah!"Pamit ku pada ayah

"Iya, masuklah. Ibu menunggu mu dari tadi di dalam"

"Baik yah" sembari berlalu dari hadapan nya.

Aku berjalan ke arah teras rumah. Pintu rumah terbuka lebar. Berjalan lesu masuk ke rumah. Yang langsung kuteruskan menuju kamar. Terlihat ibu sedang duduk termangu di sisi tempat tidur seraya menatap foto berbingkai yang di pegang nya. Tidak merasakan kehadiranku. Aku mendekati ibu, ikut duduk di sisi nya

"Ibu kenapa? Ada pa bu?"

"Ibu tidak apa-apa nak"

"Lalu kenapa ibu termangu disini"

"Tidak na, ibu hanya mengingat masa kecil mu yang indah. Kini kau sudah besar. Tumbuh menjadi gadis yang akan selalu ibu banggakan. Ibu hanya terharu na. Kau akan sekolah di tempat yang jauh, jauh dari ibu, dari ayah mu. Untuk cita-cita yang mulia. Ibu bangga na." Bulir-bulir kecil mulai menggenangi kelopak mata ibu.

"Ibuuu. Jangan seperti ini. Pleaseee bu. Jangan buat aina tidak bisa meninggalkan ibu. Jangan menangis bu"

Sembari menghapus bulir-bulir air mata ibu yang tidak bisa ibu bendung lagi.

"Aina mau ini jadi tangis terakhir ibu sebelum aina berangkat. Aina juga tidak ingin melihat ibu menangis saat mengantar aina di bandara. Aina tidak akan pergi kalau ibu menangis. Itu sama saja menghujamkan belati tajam di hati aina. Tentu saja ibu tidak tega kan melihat anaknya terhunus belati?"

Ibu tertawa mendengar kalimat yang aku ucapkan. Belajar puitis dari mana. Bukannya terlihat puitis, malah kesannya sepeti lebay. Aku menyeringai ibu. Itukan tidak lebay. Tapi tulus dari hatiku yang paling dalam. Tak bisakah ibu mengerti, bahwa aku jauh lebih dewasa di bandingkan dengan umurku yang menginjak remaja. Sudah ratusan orang yang mengatakan padaku. Bahwa aku cerdas bu. Dan mudah sekali mengerti kata-kata. Tanpa harus mendengarkan penjelasannya karna aku seorang penikmat kata ibu.

Ibu mencium keningku. Berlalu meninggalkan ku yang masih duduk terpaku melihatnya beranjak keluar kamar. Aku tersenyum melihat betapa bahagianya ibu ketika aku bercanda dengannya. Berapa jam lagi aku akan berada di kamar ini. Berapa jam lagi aku akan memijak tanah yang sama dengan ibu. Berapa jam lagi kami akan bersama-sama. Berapa jam lagi? Kurang lebih 48 jam dari sekarang.

Setetes Embun di Negeri KhurasanWhere stories live. Discover now