.

.

.

Di ICU.

Tampak ibu Anita, ibunya Rendi tersenyum kearahku. Aku menghampiri dan mencium tangannya.

"Masuk aja Ka. Ayah di dalem."

"Emang boleh bu? Bukannya belum buka jam segini."

Ibu tersenyum,"jam segini diijinin kok Ka. Tapi hanya sebentar, nyuapin sarapan gitu."

Aku baru tahu. Tapi nggak apa-apa deh. Lumayan bisa lebih cepet. Dari pada nunggu sampai jam 9.

Aku memakai baju khusus. Lagi-lagi de javu masuk ruangan ini.

"Assalamu'alaikum." Sapaku melihat ayah duduk di sebelah Rendi.

"Waalaikumsalam, Alhamdulillah kamu udah sampai Ka." Ucap Ayah sumringah melihat kedatanganku.

Aku memilih tersenyum. Aku masih merasa bersalah pada Rendi.

"Rendi nggak percaya Ka, kalau kamu dan ayah udah baik-baik saja."

Aku mengernyitkan dahi mendengar perkataan ayah.

"Emang bener mbak?" Tanya Rendi lirih.

Aku hanya mengangguk, berdiri di samping ayah dan memeluknya. Beliau pun merangkulkan tangannya di bahuku.

"Alhamdulillah,,, jadi kalau aku nggak ada nanti ada mbak yang nemenin ibu dan ayah."

"Kok ngomongnya gitu sih?" Tanyaku terkejut.

Rendi hanya cekikikan menanggapi reaksiku.

"Iya kan setiap manusia pasti akan mati. Mau tua atau muda." Rendi menjeda perkataannya, "apalagi aku yang sakit hehehe."

"Nggak boleh ngomong kayak gitu. Kamu pasti sembuh. Kamu harus sehat. Emang kamu nggak mau lihat aku wisuda? Lihat aku nikah? Lihat aku punya anak? Nggak mau gitu gendong keponakan dan main bareng dia? Anak-anakku kan pasti lucu-lucu." Kataku penjang lebar tentang masa depan.

"Hehehe, emang mbak udah punya calon suami apa? Sampai ngayal sejauh gitu." Rendi meledekku, walaupun masih banyak kabel terpasang di badannya. Dan selang oksigen di hidungnya tetap aja bisa meledekku.

Aku mendengus nafas kasar, memanyunkan bibirku.

"Hemm, ayah jadi penonton aja ah. Yang penting ayah siap kapanpun kalau ada cowok yang datang meminang kamu. Kalaupun dimintain jadi wali hari ini juga seratus persen ayah siap."

Aku kini menatap ayah. Ternyata anak sama ayah sama aja. Aku makin terpojok.

"Tuh mbak ayah udah siap. Jadi kapan nih di seriusin?"

"Mbak heran padahal baru aja kemarin di operasi kepala kamu. Kok malah ngomong nglantur nggak jelas kayak gini. Perlu ditanyain ke singa nih. Jangan-jangan dia salah nyambungin syaraf di kepala kamu."

"Ciyeee dokter Azlan di bawa-bawa nih yeee."

Tanganku udah mengepal siap menjitak kepala bocah ini. Tapi aku tahan-tahan, banyakin baca istighfar aja deh ngadepin dia. Apalagi sekarang dia jelas adik tiriku. Kalau aku jitak lagi bisa-bisa pendarahan lagi tuh kepalanya.

"Jangan kangen ya mbak sama dokter kesayanganku. Tunggu aja sampai dia dateng nemuin kamu mbak. Jangan terlalu benci juga sama dia. Eh nggak apa-apa ding benci. Benci kan artinya benar-benar cinta." Goda Rendi.

"Language ya Ren. Nggak usah banyak ngomong. Mending lu diem biar cepet sembuh. Kalau mau konser dan stand up nunggu kalau kamu udah di bawa ke bangsal." Pamitku langsung meninggalkan Rendi dan ayah.

Panas nih kuping dan hati kalau lama-lama deket sama dia. Nggak sehat nggak habis operasi tetep aja tuh mulut nyinyir juga.

"Kenapa Ka?" Tanya ibu melihatku komat-kamit nggak jelas.

"Sebel. Bela-belain kesini tetep aja tuh bocah ngledekin mulu."

Ibu terkekeh mendengar aku mengadu.

"Cumam sama kamu Ka, Rendi bisa ngomong banyak kayak gitu. Dia cuman nggak tahu caranya nunjukin rasa sayang dan senangnya tahu kalau dia masih punya kakak kayak kamu. Ibu juga makasih banget, karena kamu Rendi bisa tersenyum dan banyak omong. Bagi dia kamu itu bukan sekedar kakak. Tapi bagi dia kamu itu obat dan penyemangat dia buat sembuh." Ujar Ibu membelai kepalaku yang tertutup khimar.

Kata-kata ibu mengingatkanku pada seseorang. Yang dulu juga mengucapkan terima kasih karena aku membuat Rendi tersenyum. Ahh lagi-lagi aku diingatkan lagi akan sosoknya. Aku kan dah niat buat nggak berurusan lagi sama dia. Moga aja tadi jadi terakhir kalinya aku ketemu dia.

Asheeqa (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now