Pokoknya sekarang aku harus tidur. Sudah cukup mataku bengak karena menangis seharian. Jangan lagi di tambah sama efek mata panda karena aku terjaga semalaman.
Akhirnya dengan ritual sebelum tidur yang aku lakukan tadi aku ulangi kembali. Di tambah dengan mendengarkan murotal dari handphone yang menenangkan membuatku tertidur.
.
.
.
Aku memenuhi janjiku. Sehabis shalat subuh dan membaca selembar ayat suci Al Qur'an aku segera bersiap ke rumah sakit.
Bunda merasa heran ketika melihatku sudah rapi. Gamis berwarna maroon dan khimar senada yang kini melekat menutupi auratku.
"Ka?"
"Mau ke rumah sakit bun, Rendi udah sadar. Ayah semalam menelpon nyuruh aku datang."
Bunda hanya mengangguk. Dan berpesan agar aku berhati-hati menuju rumah sakit.
Hubungan aku dan ayah sekarang jauh lebih baik. Sepanjang kemarin di rumah sakit ayah selalu memelukku saat aku melihat Rendi dari balik kaca pembatas ruang ICU. Dia berujar kalau aku nggak usah kuatir tentang kondisi dia. Rendi anak ayah yang paling kuat. Selama di rawat di rumah sakit, tak sekalipun dia mengeluh. Walaupun puluhan kali jarum suntik menyentuh kulitnya yang tipis. Apalagi saat kemoterapi yang membuat rambutnya rontok tak tersisa. Dia hanya tertawa di depan kaca dan bilang kalau dia mirip Ipin di serial Upin Ipin.
Tak terasa aku sudah sampai di pelataran rumah sakit. Hari masih gelap, hanya ada beberapa keluarga pasien yang terlihat baru bangun. Beberapa perawat juga terlihat keluar masuk ruang rawat inap. Mungkin mereka habis mengganti infus pasien atau ada hal yang pasien butuhkan.
Saat aku berbelok di koridor menuju ICU aku berpapasan dengan si dokter singa. Wajahnya terlihat kuyu. Jas putih yang biasa rapi dan pas di badannya, kini tidak di pakai melainkan ada di lengannya.
Dia hanya melirik sekilas padaku kemudian berjalan melewatiku, tanpa menyapa.
"Sekolah mah tinggi, tapi attitude nggak ada." Sindirku.
Dia menghentikan langkahnya. Merasa kali kalau sindiranku sampai di hatinya.
"Ehm permisi." Jawabnya singkat, kemudian melanjutkan jalannya.
"Dasar Triplek."
"Maaf nama saya dokter Azlan. Kalau kamu lupa?" Jawabnya dengan suara sedikit keras, tanpa menolehku.
"Mati aku, ternyata tuh dokter telinganya hebat banget pendengarannya. Ngalahin kelelawar kali ya." Gumamku dalam hati. Beruntung di sepanjang koridor ini hanya ada aku dan dia.
Dokter Azlan sudah tak terlihat lagi.
Aku mengusap dadaku. Bersyukur dia tidak lagi mengucap kata-kata pedasnya. Aku harap ini terakhir kalinya ketemu dia di rumah sakit.
"Asal kamu tahu ini hari terakhirku di sini." Nggak tahu dari mana tiba-tiba telingaku mendengar kata-kata itu.
"Ihhh kok jadi merinding sih. Siapa lagi yang ngomong, nggak ada orang lagi. Cepet-cepet kabur nih. Amit-amit jangan sampai salah satu penghuni rumah sakit ngikutin aku.
YOU ARE READING
Asheeqa (SUDAH TERBIT)
SpiritualPesan via shopee aepublishing Aku tidak pernah tahu, Aku pun tak ingin mengetahuinya. Yang aku tahu, aku mengenal sosoknya pada diri orang lain. Tanpa pernah aku merasakan kehadirannya di sampingku. Dan ini,,,, membuatku sulit berdamai dengan kehi...
Asheeqa 30
Start from the beginning
