Bagian Dua

53 11 5
                                    

Pertanyaan yang sering Krystal dengar di masa pelatihannya sebagai ksatria adalah untuk apa ia bertarung. Ia yang berasal dari desa paling luar Calevo dan sering menerima diskriminasi oleh orang-orang di ibukota. Karena rambutnya berwarna perak ia sering menjadi bahan ejekan teman-temannya. Di Calevo rambut berwarna perak adalah ciri khas utama kaum Wichara. Mereka adalah Kaum penyihir yang tinggal di gunung Gajakus, gunung tertinggi di Calevo yang diselimuti salju abadi.

Jadi jawaban untuk pertanyaan itu mungkin hanya jawaban klise tentang kebebasan. Atau tentang kekuasaan dimana ia bisa membalas perlakuan orang-orang terhadapnya. Ia mengangkat pedang untuk dirinya sendiri. Untuk mencapai puncak dan menjadi seorang penguasa, itulah tujuannya. Tidak peduli sebanyak apapun cacian yang ia dapatkan, Krystal tetap berdiri di garis depan pertempuran hidupnya.

Sampai ia mendengar desas-desus bahwa Calevo akan musnah. Orang-orang mulai mengungsi ke negara tetangga. Ketakutan ada dimana-mana dan pemerintahan menjadi kacau. Dengan posisinya yang sekarang, Krystal tinggal beberapa langkah lagi untuk menjadi seorang jendral. Ia mungkin bisa pergi mengungsi dan selamat seperti warga lainnya. Namun ia tidak ingin mengulang pertarungannya.

Saat langit bergemuruh dan memuntahkan halilintar, ia mulai berdoa pada tuhan. Ia berlatih lebih keras dari siapapun, ia tidak pernah ragu pada kemampuan bertarungnya. Selama memegang pedangnya yang terbuat dari Berlian cahaya dan ditempa lahar gunung Rakazava, ia tidak takut pada apapun. Bahkan Tuhan yang katanya akan memusnahkan Calevo.

Seharusnya Tuhan itu mendengarkan doanya. Doa dari seorang ksatria yang mengabdikan hidupnya pada umat manusia. Meskipun dalam sanubarinya, Krystal tahu itu hanyalah alasan semata agar tampak bijaksana. Ia dan para ksatria lainnya hanyalah pembunuh berdarah dingin yang berpesta di atas mayat kawannya. Asalkan kembali dari medan perang, tiada yang perlu disesalkan.

***

Ada banyak tatapan yang pernah Krystal dapatkan. Seperti tatapan ketakutan penduduk desa atau tatapan mengejek dari teman sebayanya dahulu. Dia selalu hidup dengan itu. Tapi tatapan Kayala adalah hal baru bagi Krystal. Itu seperti tatapan anak kecil yang diberi makanan oleh ibunya. Lapar dan bahagia. Seperti seseorang yang akan memuji. Tentu saja Krystal pernah dipuji. Pujian dari raja, dari atasan maupun bawahan yang menyatakan bahwa ia luar biasa. Padahal ia seorang wanita. Padahal apa bedanya? Lelaki dan wanita hanya dibedakan oleh kemaluan dan payudara. Selebihnya mereka yang memilih jalan hidupnya.

Karena itu, Krystal tidak pernah tahu apa arti dari tatapan Kayala. Karena tatapan itu adalah tatapan kepada wanita dari seorang pria.

"Apa yang kau inginkan?" Suara Kayala seperti berputar di kepalanya. Membuatnya terdengar amat jelas.

Apa yang ia inginkan? Tanya Krystal pada hatinya yang berjongkok di sudut paling dalam kesadaran.

Mungkin ia tidak bisa menjawab karena ketakutan. Armornya meleleh bagai lilin dipanaskan. Menampakan tubuhnya yang hanya berbalut katun tipis khas pedesaan. Apa yang ia inginkan?

"Kehidupan?" Begitu lirih. Sebuah kata yang keluar malu-malu bahkan tidak pantas dipertanyakan. Apa yang dimaksud dengan kehidupan?

Tetapi Kayala bereaksi. Ia menyentuh ubun-ubun Krystal dengan telunjuk tangan kanannya. Membacakan sebuah kalimat yang tidak dimengerti manusia. Ada cahaya yang keluar dari ujung telunjuknya. Mengalir masuk pada tubuh ksatria berambut perak. Hangat seolah olah kehidupan menyambutnya.

Kehangatan itu mengingatkan Krystal pada suatu hari di musim semi dimana ia tertidur di rumah neneknya. Ada seekor kucing tua berbulu abu-abu yang gemuk. Kucing itu tidur di pelukannya. Suara dengkurannya membuat Krystal kecil mengantuk dan tidur bergelung. Itu sama persis seperti kehidupan. Apa yang telah dilakukan Kayala hingga Krystal merasakan kehidupan?

Mungkin jawaban itu akan datang esok hari. Atau mungkin beribu-ribu tahun lagi.

Krystal terpejam, lalu menghilang dari hadapan para dewa. Menyisakan Kayala dengan tatapan tajam yang terabaikan.

"Apa yang kau lakukan padanya?" Gaura mempertanyakan perbuatan Kayala saat sang kematian kembali ke barisan depan pasukan Khayangan. Tetapi ia tidak menjawab. Mungkin itu lebih baik dari pada pembicaraan tidak penting. Lagi pula Gaura tidak akan banyak bertanya. Yang harus mereka lakukan saat ini hanyalah menghancurkan peradaban manusia di negeri bernama Calevo. Tidak kurang tidak lebih.

Dan saat malam berakhir, Calevo dan seluruh yang di atasnya telah kembali menjadi tanah. Merah oleh darah. Gelap oleh ruh yang berteriak meminta pengembalian. Ada pula cahaya yang datang dari anak-anak yang tidak berdosa. Di Nirwana nanti, mereka mungkin akan bertemu dengan keluarga, rekan, kekasih, atau sahabatnya. Biarlah saat ini kehancuran yang mereka dapatkan. Di kehidupan selanjutnya, mungkin keberuntungan akan berada di pihak manusia.

Kayala menatap Cakrawala. Di ujung saat langit terlihat seperti berakhir dan suara ombak terdengar bergetar. Itu adalah tujuan yang harus dicapai. Entah butuh berapa lama.  Entah harus mengorbankan apa. Entah dunia akan tetap sama atau berubah. Ia harus sampai ke ujung itu. Karena gadis berambut perak, sang ksatria berarmor tembaga telah terpenjara disana. Sendirian. Tapi berada dalam kehidupan.

***

Aku ngerasa cerita yang aku tulis ini sunyi. Tapi aku suka dengan suasananya. Mungkin juga karna ga banyak percakapan yang berarti di cerita ini. Aku nggak pinter ngomong soalnya. Dalam cerita ini juga aku masukin sedikit pemikiranku sendiri. Aku tuh kagum sama karakter cewe yang kuat. Jadi aku bikin Krystal jadi ksatria. Maunya sih nyeritain gimana dia pas jadi ksatria tapi itu terlalu panjang dan kudu banyak mikirnya. Cerita ini juga mungkin ga ada makna apa apa hahha. Mungkin cuma bucin. Tapi aku harap yang baca cerita ini bisa masuk ke dalam cerita dan ngerasain yang terjadi di dalamnya.

Ok, tinggal satu bagian lagi. Sampai jumpa.

Hari Terakhir [COMPLETED]Where stories live. Discover now