6. Emang Enak Mandi Air Es Dini Hari?

7.2K 782 41
                                    

Aku berhasil membuat janji temu dengan Malik Zee yang ternyata jauh lebih cakep dari foto-foto artsy-nya di instagram. Orangnya ramah gila, murah senyum dan aura keartisannya itu terpancar jelas saat dia berbicara soal dunia hiburan tanah air.

"Sampe sekarang lo belum bilang dapat nomornya Malik Zee dari mana," ujar Wanda saat kami berdua perjalanan kembali ke kantor setelah menemui Malik Zee di tempat tinggal pribadinya.

"Lo cukup tau hasilnya, nggak perlu tau prosesnya," jawabku santai lalu tersenyum sinis pada ketua timku ini.

"Oya pak Anwar udah cerita kalau agency kita dapat proyek besar tanpa perlu repot-repot ikut pitching?"

Aku mengedikkan kedua bahuku cuek lalu melempar pandangan ke kaca jendela mobil samping. Ingatanku berputar pada malam di mana aku secara tak kasat mata menyentuh bibir tengil. Aroma parfumnya sampai sekarang masih suka terendus di hidungku. Aromanya nggak umum, makin terasa berbeda saat menyatu dengan aroma asli tubuh cowok itu.

Stupid! Ngapain gue mikir hal-hal yang nggak masuk akal sih???

"Mil? Woy? Lo denger gue ngomong apa?"

"Ngomong apa? Proyek besar tanpa pitching? Gue nggak tau."

"Klien itu tiba-tiba mendatangi sendiri kantor agency kita terus menawarkan kerja sama. Dia menyerahkan sepenuhnya sama pihak agency untuk membuat konsep dan pemilihan talent iklannya."

"Produk apa?"

"Cosmetic."

"Trus udah diputuskan diserahkan pada timnya siapa proyek itu?"

"Belum. Katanya sih Senin besok ini. Foundernya langsung yang akan memilih akan memercayakan iklan produknya pada tim siapa?"

"Gue mesti nyiapin konsep?"

"Nggak perlu. Pak Anwar yang akan menjelaskan kemampuan masing-masing tim yang ada di agencynya. Trus nanti klien sendiri yang akan memutuskan akan menyerahkan pada tim mana proyek iklannya."

Aku mengangguk paham. Entah kenapa tiba-tiba firasatku menjadi nggak enak. Seperti tiba-tiba merasa kosong, sepi, sedih dan merasa akan menangis hebat dalam waktu dekat.

Merasa jemawa karena telah berhasil menyelesaikan masalah Blinksport, aku pamit meninggalkan kantor lebih awal pada Wanda. Dia nggak bisa mencegahku dengan memberi pekerjaan mendadak seperti biasanya, karena jasaku kali ini begitu besar bagi keberlangsungan kariernya di agency ini.

"Meski weekend, ponsel lo harus tetep aktif dan harus sedia kapan pun kantor membutuhkan kehadiran lo," ujar Wanda lalu mengusirku dari ruangannya.

Aku memutuskan langsung menuju rumah Papa tanpa mampir apartemen. Rasanya aku terlalu malu harus bertatap muka dengan tengil setelah kejadian malam kemarin.

Sesampainya di rumah, jantungku mau copot rasanya, saat melihat mobil milik Jidan terparkir manis di dalam rumah. Aku lalu masuk rumah dengan tenang setelah menstabilkan emosi dan pernapasanku.

Jidan seketika berdiri saat melihat kedatanganku. Dia tersenyum manis yang dulu mampu membuatku klepek-klepek karena cinta, kalau sekarang klepek-klepek pengin muntah.

"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku sinis.

"Nak Jidan, saya tinggal ke dalam dulu ya." Papa seolah memberi kesempatan pada aku dan Jidan untuk berbicara empat mata.

"Aku minta maaf, Mil."

"Nggak perlu. Kamu nggak perlu meminta maaf padaku. Kita sudah gagal. Ternyata pacaran lama nggak menjamin pasangan akan saling setia. Aku yang terlalu naif."

Love In The Apartment (Gundah)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang