#Diarasa-6

15 0 0
                                    

"Apa yang kau pikirkan, Jara?"

"Hal yang tak penting untukmu,"

"Memangnya apa?"

"Sudah kukatakan, ini tak penting untukmu, Assa."

"Setidaknya kau katakan, Jara!"

"Tak usah, kau nanti terbebani,"

"Bukankah tak ada yang harus disembunyikan diantara kita, Jara?"

"Tapi situasinya berbeda,"

"Aku ingin tahu,"

"Baiklah. Ayah meneleponku tadi sore."

"Apa lagi yang diinginkan Ayahmu?"

"Beliau memanggilku ke rumahnya, Sa."

"Untuk?"

"Menemui adik baruku,"

"Ayahmu tak punya hati, Jara."

"Ayah tak salah dengan itu, Sa. Aku yang salah."

"Mengapa kau yang harus salah, Jara?!"

"Nada bicaramu tak usah naik, Sa. Memang aku yang bersalah. Aku belum siap bertemu keluarga baru Ayah,"

"Itu bukan kesalahan, Jara. Wajar jika kau belum siap, atau mungkin takkan pernah siap, tak mengapa, Jara. Setiap orang punya pilihan untuk itu,"

"Tapi itu bukan hal yang bijak, Sa. Seharusnya aku bisa mengikhlaskan lalu datang ke rumah Ayah dengan mudah,"

"Kau bukan malaikat, Jara, kau juga bisa merasakan sakit."

"Menerima dan mengikhlaskan tidak dimilik malaikat, Sa. Manusia yang dapat memiliki itu, jika ia ingin."

"Kau berhak untuk tak ingin,"

"Aku ingin, tapi belum bisa, Sa."

"Tak usah bisa kalau begitu!"

"Mengapa, Sa?"

"Jara, kau tak ingat apa yang telah Ayahmu lakukan?"

"Sangat ingat, Sa. Takkan bisa kulupakan walau aku mati,"

"Lalu apa yang kau harapkan jika bertemu, Ayah?"

"Cukup tahu kabarnya sekarang, Sa."

"Kau bodoh, Jara. Dia pasti baik-baik saja. Dia bersama keluarga barunya. Kau yang tak baik-baik saja!"

"Aku baik-baik saja, Sa. Aku punya Tuhan."

"Hanya Tuhan yang peduli padamu,"

"Dan kau,"

"Itu pasti,"

"Jangan mendendam, Sa. Itu tak baik."

"Berhenti menjadi malaikat, Jara!"

"Dan kau berhenti mengikuti sifat iblis, Sa. Pendendam, itu sangat buruk,"

"Aku tahu perasaanmu, Jara! Siapa yang akan baik-baik saja saat ditinggalkan oleh seorang Ayah? Saat kita sangat membutuhkan sosoknya. Itu hal paling menyedihkan,"

"Kau tahu, Assa? Semesta memang diciptakan untuk bisa memberikan luka."

"Tapi mengapa harus kau, Jara? Kau tak seharusnya merasakan itu,"

"Karena Tuhan adil, Sa. Diluaran sana banyak yang merasakan sepertiku bahkan yang lebih menyedihkan dari itu,"

"Semesta memang tak pernah baik!"

"Jangan berbicara begitu, Sa. Itulah keseimbangan. Kehidupan takkan pernah benar-benar menjadi hidup tanpa luka. Pun mengingatkan manusia bahwa hidup bukan hanya tentang bahagia. Luka berarti mengajarkan, Sa. Kau harus ingat itu,"

"Apa yang bisa diajarkan luka, Jara? Hanya kesakitan!"

"Itu pendapatmu karena saat kau merasakan luka, hanya kesakitan yang kau pahami, Sa. Lebih dari itu. Luka mengajarkan kita bagaimana menerima, mengikhlaskan, lalu memaafkan. Itu hal yang sangat berharga untuk menjadi manusia, Sa."

"Omong kosong!"

"Orang yang telah memahami takkan berbicara seperti itu, Sa. Bahkan rasa syukur akan hadir saat merasakan luka. Hidup memang terancang dengan begitu menakjubkan, Sa. Lihat sisi tersembunyi yang ada."

"Jadi, kau akan menemui, Ayahmu?"

"Jika Tuhan mengizinkan, aku berusaha datang, Sa. Saat berbicara denganmu, kesiapanku setidaknya telah meningkat."

"Harusnya kita tak berbicara kalau begitu,"

"Ini telah ditakdirkan Tuhan, Sa. Kau ada disini, sekarang. Dan kita membicarakan Ayah. Mungkin ini cara Tuhan meyakinkan diriku, bahwa bertemu Ayah adalah pilihan terbaik."

"Itu namanya bunuh diri, Jara!"

"Itu namanya kesembuhan, Sa. Sembuh dari rasa luka yang belum terobati,"

"Kau akan lebih sakit, Jara,"

"Bukankah kau tahu, Assa, hidup sementara. Apalagi hanya luka, itu akan menghilang sekarang ataupun nanti."

"Tapi akan berbekas,"

"Setidaknya lukanya menghilang, Sa. Berbekas hanya akan meninggalkan kenangan. Hidup baru yang lebih baik akan datang,"

"Terserah padamu, tapi ingat, kau bukan malaikat, Jara. Kau manusia biasa yang dapat menolak untuk bertemu Ayahmu agar kau tak terluka."

"Manusia ada untuk menjadi manusia, Sa. Bukan menjadi malaikat."

"Iya. Sudahi kata-kata bijakmu itu,"

"Haha. Itu bukan kata bijak, Sa. Itu hanya pernyataan biasa."

"Berhenti merendah, Jara. Kau memang semenakjubkan itu,"

"Dan kau memang sepengertian itu, terima kasih, Assa."

"Terima kasih, kembali padamu, Jara."


***

Mari bertemu kembali :)

261018

-snjnl

Diarasa -Dialog Jara & Assa-Where stories live. Discover now