H-9

17.2K 2.1K 175
                                    

"Haechaaaan." Renjun manggil Haechan ribut. Jas dokternya acak-acakan. Lincah banget dia lari-larian di lorong rumah sakit. Dia nyengir lucu di hadapan Haechan yang udah rapi; udah lepas jas dokter, gulung lengan kemeja sampe siku, cuci muka, plus pake wax sama minyak wangi.

"Ape, Ren?" Tanya Haechan. "Penting ga, nih? Mark udah nungguin gue di bawah."

"Eeeh? Mau makan siang ke manaa? Ikut dong!" Renjun gemesin sekali. Tapi kadang suka ngeselin maksmal. Judes. Haechan ngerutin kening.

"Lah. Ga makan siang bareng Lucas? Biasanya lu udah diambil alih sama si bongsor?

"Ogah. Lagi ngambek." Aku Renjun jujur. Haechan mau nanya lebih lanjut tapi Renjun udah buka suara duluan. "By the way, gue bawa hasil MRI sama Rontgen pasian di kamar nomor 125 nih." Renjun kasih Haechan map warna biru ke Haechan.

"Wih. Pasien nomor 125 tuh yang mana, sih? Lali aku." Haechan buka lembaran rontgen yang nampilin bentuk dada manusia di tangannya.

Renjun muter bola mata jengah. Haechan pinter dalam banyak hal tapi suka lupa sama hal-hal kecil. "Kemarin sore datengnya. Kritis. Langsung di bawa ke ICU. Kata lu kudu periksa keseluruhan, apalagi pas keluarganya bilang pernah ada kelainan di katup aortanya."

"Hm." Haechan gumam kecil sambil ngamatin hasil rontgen si pasien yang tengah ia dan Renjun tangani.

"Fix. Ini bikuspid." Renjun jelasin. "Gejalanya udah persis. Nafas pendek—sering sesak nafas, leher sama pergelangan kakinya bengkak, bahkan jari sama telapak tanganya juga bengkak, sampe susah tadi perawat masang infusannya. Detak jantung lebih dari 120 kali per menit, hemoglobinnya nyentuh angka 20,0. Keluarganya bilang si pasien ini mudah lelah, lari satu lapangan aja dia udah ngos-ngosan."

Haechan jilat bibirnya. "Kalau ga cepet dioperasi bisa kena ke endokarditis nih, dampak ke tekanan darahnya terus bisa bikin sindrom marfannya makin komplikasi dan yang paling fatal bisa kena jantung rematik." Haechan natap Renjun. "Udah kasih vasodilator?"

Renjun tepuk jidatnya sendiri. "Anjir! Belum gue kasih!"

Haechan senyum maklum. "Yowis, cepet kasih ya." Haechan nyerahin hasil MRI dan rontgen balik ke tangan Renjun. "Taro aja di ruangan gue. Nanti gue liat lagi."

"Siap!" Renjun pasang pose hormat. "Jadi ini tunggu vasodilatornya reaksi dulu, kan?" Tanya Renjun

"Iya." Haechan jawab. "Kalau dalam dua puluh empat jam memar sama bengkaknya ga ilang, ya terpaksa operasi. Katup aortanya kudu diganti. Lu pantau terus ya, Ren."

"Okee." Renjun senyum

"Jadi mau makan siang bareng gue sama Mark ga?" Haechan memastikan.

"Engga, deh. Mau injeksi vasodilator dulu. Nanti makan bareng yang lain aja."

"Oh. Yaudah. Duluan ya, Ren!"

"Iyaaa. Hati-hati, Chan!"

Haechan lambain tangan. Nunggu lift turun. Dia cek hapenya. Bales chat Mark yang udah marah-marah aja karna Haechan datengnya lama. Haechan balesnya selow. Suka soalnya bikin Mark kesel.

Dia keluar dari lift. Setengah lari, ga enak juga sih sebenernya biarin Mark nunggu. Haechan lagi cek jam tangannya saat suara itu memanggil namanya terlampau cerah.

"Haechan!"

Haechan sontak berenti. Nengok kanan-kiri. Lalu tepukan di pundaknya membuat Haechan membalikkan tubuhnya dengan cepat.

Senyumannya masih menawan, seperti dulu. Suara ramahnya masih menyejukkan, seperti dulu. Haechan masih jatuh cinta, seperti dulu.

"Koh Jhonny?"

Elegi [NOMIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang