"Aku akan katakan satu hal, Jiho-ssi. Bisakah kau berhenti berlaku sok mahal dan bekerja saja dengan kami?" Jaehyun berkata dengan dingin. "Kamu pasti sadar kan? semua surat-surat identifikasimu sudah tidak lagi berlaku. Kamu sudah dianggap mati di dunia ini. Hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan seumur hidup—lari dan sembunyi."

"Dan salah siapa itu?" Jiho menggenggam erat tangannya hingga buku jarinya memutih pucat, "Salah siapa aku harus menghabiskan hidupku lari dan sembunyi begini?"

"Salahkan saja orang tuamu."

Sudah cukup. Jiho melempar panci ke arah Jaehyun yang ditangkap dengan luwes. "Kau datang kemari untuk membujukku kan?!" seru Jiho marah. "Kalau begitu lakukan kerjaanmu dengan benar! Kau datang kemari menuduhku dan mengejek orang tuaku, siapa yang mau bekerja sama denganmu kalau begitu?" Jaehyun memandang Jiho dengan pandangan terganggu, hampir marah, sebelum akhirnya kemarahan itu surut digantikan dengan ekspresi tenang.

"Maafkan saya, saya terbawa emosi tadi." Jaehyun meminta maaf. "Kamu benar. Boleh kita ulang semuanya? Nama saya Jung Jaehyun, second-in-command Taeyong di Seoul. Apakah tubuh anda mengalami gejala kesakitan, Jiho-ssi?" tanyanya hampir seperti robot.

Jiho mengeratkan gigi, "Bukan urusanmu."

"Kaki anda memar karena kemarin tidak sengaja terantuk kaki kursi. Boleh saya periksa?" tanya Jaehyun, suaranya lebih rendah dan lembut.

"Tidak perlu. Aku bisa memeriksa kakiku sendiri."

"Jangan bohong. Di ruang ini tidak ada perangkat medis."

"Bisa pergi, nggak? Satu kamar dengan vampir membuatku muak." Bentak Jiho kemudian. Dia sangat benci vampir.

Tiga belas tahun yang lalu, orang tuanya adalah orang tua paling bahagia dengannya. Mereka jenius, Jiho yakin itu. Namun suatu hari polisi datang ke rumahnya. Mereka bilang orang tua Jiho tewas diserang binatang buas... padahal mereka semua tau, tidak ada binatang buas yang bisa menyedot habis darah manusia. Tidak ada selain vampir.

Jadi, wajar jika Jiho benci vampir. Setengah mati benci.

Jaehyun tidak menjawab.

"Besok, saya akan datang memeriksa anda. Permisi."

Dengan itu, Jiho kembali sendirian.

.

.

.

.

.

Keesokan harinya, Jung Jaehyun kembali. Dan esoknya lagi. Dan esoknya lagi. Semua dengan motif yang sama; ingin memeriksa Jiho, dan selalu ditolak. Jiho tidak percaya di hari kedelapan, Jaehyun kembali muncul. Namun kali ini membawa sekoper penuh peralatan medis. Pakaiannya pun tidak lebih jelek dari kemarin—dia memakai jas berwarna biru silver dan rambutnya ditarik kebelakang dengan pomade. Dia datang jam tujuh malam, ketika Jiho sedang memasak makan malam.

"Bisakah saya masuk sekarang?" tanya Jaehyun.

"Nggak." Jawab Jiho dari balik pintu.

"Jiho-ssi, berhenti berlaku seperti anak kecil."

"Berapa kali harus kubilang aku benci vampir?" tanya Jiho. "Aku tau kalian tau siapa yang membunuh orang tuaku. Kalian pasti melakukan pengecekan latar belakang. Apa kalian masih punya malu berlaku seperti ini padaku, hah?"

Jaehyun tidak menjawab. Lama sekali, sehingga Jiho kira akhirnya dia sudah pergi.

"Jiho-ssi, saya bisa mendobrak pintu ini sekarang juga."

Jiho mendecakkan bibir. Keras kepala banget sih! "Coba saja!"

Hening. Sebelum tiba-tiba—

BLAR!

LOCO (Takkan Diselesaikan)Where stories live. Discover now