Tidak apa-apa

415 48 4
                                    


Ruangan itu terasa lebih dingin saat Ino memutuskan untuk berhenti bicara, hanya deruan napas yang masih mendominasi, seolah keduanya tidak ingin mengeluarkan kata yang akan menyakiti satu sama lain. Padahal beberapa bulan yang lalu tempat ini begitu hangat, diisi oleh teriakan Ino yang tak tahan karena kalah bermain game, atau Neji yang terlalu sering kaget mendapat serangan pelukan mendadak. Benar-benar hal menyenangkan yang mungkin tidak bisa diulangi lagi.

Dalam diam Ino memperhatikan Neji yang tenang seolah tidak terjadi apa-apa, Ino hanya ingin memandangi laki-laki itu selama mungkin kalau bisa sampai otaknya penuh, jadi jika suatu saat nanti ia merindukan laki-laki itu tak begitu sulit untuk mengingatnya, ia akan memutar memory itu kapanpun ia mau.

Sejauh yang Ino ingat, Neji adalah keturunan keluarga terhormat, dia adalah anak satu-satunya yang amat sangat dibanggakan mengingat bahwa IQ nya berada diangka duaratus, dia tidak perlu belajar sekuat tenaga karena dengan membaca saja semua pelajaran akan masuk dikepalanya, dia benar-benar luar biasa, dan beruntunglah wanita yang akan mendampinginya kelak. Semoga dia tidak pernah bosan dengan semua kebaikan Neji, semoga dia bersyukur dan sadar bahwa laki-laki seperti dia akan sulit ditemukan sekalipun kau berburu ikan piranha di Amazon akan sulit ditemukan.

"Tapi aku tidak keberatan dengan ikan piranha," ucap Ino tanpa sadar membuat ia cepat-cepat menutup mulut saking kagetnya.

"Ikan piranha?" Neji mengerutkan halis tidak mengerti dengan yang tiba-tiba Ino bicarakan barusan.

"Tidak tidak aku tiba-tiba teringat saja," Ino masih dengan wajah lesu.
"Aku ingat pernah bermain game memancing denganmu, aku tidak pernah mendapatkan piranha hehe," Ino memaksakan untuk tersenyum.

"Kan memang tidak ada piranha-nya...." Neji memandang Ino gemas walaupun pada akhirnya pandangan Neji pergi ke arah lain.

"Iya ya, harusnya kita membeli yang ada piranha-nya," Ino menunduk berusaha untuk tidak mengeluarkan air matanya.

"Neji-san... Lupakan saja ucapanku tadi....." Ino mencoba tersenyum untuk kesekian kalinya saat sadar bahwa tatapan Neji teralih padanya, hanya padanya sampai Ino bisa dengan jelas melihat wajah itu dengan sempurna. Persis didepannya.

"Tentang piranha itu?" Ino menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Bukan...." jawab Ino sangat pelan, tapi dengan kesunyian seperti ini Neji bisa dengan jelas mendengar suara itu.

"Tentang jangan meninggalkan aku, tidak apa-apa... Kau boleh pergi." Ino sudah mulai bisa mengatur perasaan dan air matanya, ia benar-benar tersenyum dengan penuh keyakinan.

"Maaf karena pesanku kau jadi harus repot-repot datang kesini... Aku jadi tidak enak pada calon tunangan mu, jika aku jadi dia aku juga pasti merasa sakit hati..." Ino membuka laci yang berada disisi kanan ranjangnya lalu mengambil sesuatu yang sudah menemaninya lebih dari satu tahun.
"Aku pasti akan membenci perempuan yang memaksa pasanganku untuk menemuinya padahal dia sudah tahu bahwa kami akan bertunangan, sampaikan kata maaf ku padanya ya..." Ino memegang lengan besar yang dulu pernah ia ingat selalu menemani lengannya yang kosong, lengan hangat yang menawarkan perlindungan dan kasih sayang. Dan nantinya lengan itu akan diisi oleh sebuah cincin, sebuah ikatan yang tidak akan pernah Ino dapatkan.

"Sebagai permintaan maaf ku berikan ini pada dia..." Ino memberikan sebuah kalung yang dulunya ia gambar dan desain sendiri, kalung itu dulunya hanya sebuah gambar, tapi Neji malah membuatkannya. Kalung itu malah terlihat lebih cantik daripada gambarannya sendiri. Dan yang Ino tau kalung itu dibuat oleh perusahaan keluarga Neji.

Saat Ino mulai menjauhkan lengannya Neji dengan cepat menggenggamnya lagi.
"Ini milikmu Ino, jangan berikan pada siapapun karena aku tidak bisa lagi membuatkannya lagi,"

Neji hanya tersenyum tipis melihat wajah bingung Ino.

"Aku diusir dari rumah," ucap Neji tenang seolah tau apa yang Ino pikirkan.

"Sebenarnya aku tidak mau membicarakan ini, tapi aku tidak tahan melihatmu terus-terusan menyalahkan diri." Neji yang dikenal dengan sejuta rasa tenang yang seolah bisa menahan diri dari semua rasa sakit sekarang mulai terlihat agak suram.

"Awalnya aku berpikir bahwa bertunangan dengan orang yang dipilihkan orangtuaku bisa membuatku sedikit melupakan tentangmu." Ino sekarang hanya menerka-nerka apa yang terjadi, dan merasa hatinya sakit saat Neji mencoba melupakannya.

"Lalu?" saat tiba-tiba Neji menghentikan ucapannya Ino merasa berada ditempat yang paling tinggi dan siap untuk jatuh, melihat ekspresi wajahnya, apa yang dia bicarakan, semuanya terasa masih sangat abu-abu.

"Beberapa hari yang lalu, aku memutuskan untuk membatalkannya. Aku tidak mau menyakiti perasaan oranglain dan menjadikan dia pelarian saja, aku sadar bahwa aku hanya ingin hidup dengan orang yang aku cintai,"

"Memang siapa orang yang kau cintai Neji-san?"

"Tentu saja kau, Yamanaka Ino," Ino merasa seperti semua energi masuk kedalam tubuhnya, ia benar-benar merasa bahagia sampai ia tersedak ludahnya sendiri, melihat itu Neji dengan sigap mengambil air yang berada tidak jauh darinya dan memberikannya pada Ino.

"Maaf aku terlalu senang jadi tersedak," Ino kali ini memberikan senyum tulus dan tanpa paksaan pada Neji.

"Tapi...." Neji sekarang terlihat lebih suram dari sebelumnya membuat Ino cemas. "Aku tidak memiliki apapun sekarang, bukankah aku tidak berguna?" Ino menggeleng-gelengkan kepala.

"Kau punya aku Neji-san," Ino memegang kedua pundak Neji mencoba menyakinkan laki-laki itu.
"Aku tidak akan menyakiti kamu lagi, aku tidak akan melakukan kesalahan lagi, kamu percaya padaku kan?" Neji masih diam tidak mengeluarkan satu katapun, tapi Ino tidak menyerah ia masih meyakinkan laki-laki itu untuk tidak terlalu mementingkan harga diri, toh Ino saja rela mati tanpa memandang harga dirinya.

"Lagipula aku tidak keberatan jika kau tinggal disini, kau bisa memakai ranjang kesayanganku, kau bisa memakai kamar mandiku. Aku berjanji akan membuat kamu tersenyum setiap hari."

"Sebelum menikah kita tidak boleh tinggal bersama Ino,"

"Memangnya kenapa? Ini adalah keadaan darurat jadi tidak apa-apa." Ino merasakan kebahagiaan kembali padanya saat ia merasakan Neji memeluknya.

"Tetap saja tidak boleh walaupun darurat," Ino melepaskan pelukan Neji dan saat itu lah ia melihat Neji seperti sedang berada dalam keadaan yang tidak baik.

"Yasudah kita menikah saja Neji-san agar kita bisa tinggal bersama." mendengar itu Neji mendongak dan langsung menoleh pada sumber suara seolah memastikan apa yang ia dengar barusan.

"Kau tidak akan bahagia Ino..." Neji tidak ingin membuat wanita ini menyesal nantinya.

"Tidak apa-apa..." tapi dia lupa bahwa Ino adalah perempuan keras kepala yang tidak akan pernah mau menyerah begitu cepat.

***

Dear InoWhere stories live. Discover now