Wahai yang Tidak Berindra

33 1 0
                                    

Wahai yang Tidak Berindra

Oleh : Endah Nisrinasari

Solo, 10 Oktober 2017 (19.11 WIB)

Aku menatap tembok kelabu kusam. Lebih baik menatap tembok ini daripada menatap manusia-manusia hina yang ada di luar jeruji. Pakaian yang kukenakan mungkin sudah lama tidak berganti, tapi aku lebih bangga mengenakan pakaian ini daripada pakaian manusia-manusia laknat itu. Tubuh ini kurus dan lemah, namun aku lebih bersyukur dengan tubuh tanpa gajih-gajih haram yang tertanam di tubuh manusia-manusia gembrot itu.

Aku bingung, tidak, aku setengah gila, nyaris benar-benar gila. Bagaimana tidak? Para wanita dan anak-anak itu mati begitu saja, termasuk istri dan anakku. Kurang ajar! Semua ini karena orang tua berduit itu, terlebih lagi ia punya kursi, apa dayaku untuk melawan? Aku yang nyerocos sampai dower, lidah sampai kaku, pita suara hampir rusak, pada akhirnya terdampar di kerajaan jeruji besi ini.

Sebelum aku benar-benar gila sampai urat nadiku putus, aku ingin mengatakan sesuatu. Tolong siapkan indra kalian, jika perlu yang keenam juga. Aku, Becik, seorang supir angkot di metropolitan ini.

Pagi itu aku mengemudi seperti biasa, bangku penumpang terisi penuh. Aku mengemudi dengan kecepatan sedang, tiba-tiba saja sebuah mobil merek luar negeri melaju kencang ke arah angkotku, semua itu terjadi begitu saja, aku tidak sempat berpikir jernih dan kepalaku rasanya kosong. Namun, sedetik sebelum angkotku terguling, aku menatap istri dan anakku, pantulan mereka terlihat dari kaca yang ada di tengah angkot. Setelah itu, aku tidak ingat apa yang terjadi, tapi aku masih ingat rasa sakit, rintihan kesakitan, dan perasaan takut mati.

Saat membuka mata, aku dijadikan tersangka atas kecelakaan itu sekaligus mendapat kabar kematian penumpang-penumpangku, termasuk istri dan anakku tersayang. Cih! Yang seharusnya dijadikan tumbal adalah orang tua bermobil merek luar negeri itu.

Setelah keadaanku membaik, aku menjalani proses hukum. Hah! Proses hukum ini hanya formalitas untuk menyalahkan kambing hitam. Apa salahnya kambing hitam? Bukti apa yang sampai membuat aparat hukum itu menjadikanku tersangka? Di manakah saudara-saudaraku? Tak adakah yang mau bersuara untukku? Oo... Malangnya nasibku. Tapi, tidak apa kawan, aku tahu kalian takut, kepada mereka yang tidak berindra.

-o-

Sidangku ramai, ramai akan pembelot kebenaran. Sebelum masuk ke ruang sempit kebenaran itu, aku berdoa untuk arwah-arwah penumpang-penumpang angkotku. Ketika sudah duduk di kursi penghakiman. Orang yang katanya pencetus keadilan, mengujarkan kebohongan-kebohongan. Telingaku mulai panas, kugebrak meja kecil yang ada di depanku. Semua terdiam, aku menatap sengit sekilas semua mata yang menatapku. Mulutku tak terbuka, sudah lelah mulut ini mengap-mengap untuk membela diri.

Kembali mengoceh orang-orang yang hitam itu, aku diam. Mata ini mulai melirik kanan dan kiri. Bibir ini terangkat sebelah. Setelah melihat topeng-topeng manusia itu, aku yakin, semua orang di sini sudah tidak berindra lagi. Bagaimana tidak? Wajah tertutup topeng, telinga tersumpali kotoran yang sampai menjebul ke luar.

Tibalah saat pemutusan hukumanku. Orang yang katanya pencetus keadilan, mengatakan hukumanku adalah membusuk di penjara seumur hidup. Tangan kotornya memegang palu, lalu hendak mengetukkannya. Sebelum itu terjadi, aku kembali menggebrak meja mungil yang ada di depanku. Dengan tegap aku berdiri, kursi yang kududuki mundur, bahkan terjungkal.

"Mata kalian buta? Sampai-sampai tidak bisa melihat mana yang benar dan salah? Telinga kalian tuli? Ocehan pembelaan dan ceritaku tak kalian gubris! Bisu, ya? Menyampaikan kebenaran saja susahnya minta mati! Mati rasa, ya? Rasa lidah, rasa hati, semuanya mati! Tidak bisakah kalian mengendus bau badan yang sama sepertiku? Agar bisa sama." Jari telunjukku menuding manusia-manusia yang ada di ruang sempit tersebut, sempit kebenaran, bahkan sekarang sempit udara segar.

"Apa salahku? Aku harus bagaimana? Agar kalian mau membuka indra-indra itu agar kalian mengemukakan kebenaran. Aku Becik, warga negara yang katanya kaya dan makmur ini, aku harus bagaimana? Tidak, kami harus bagaimana wahai kalian yang tidak berindra? Aku dan saudara-saudaraku harus melakukan apa untuk meluruskan jalan kalian?"

Mataku terbuka lebar-lebar, mulut kubuka lebar-lebar, sampai rahang bawah hendak jatuh ke lantai. Telinga kini kutajamkan, tidak ada satu pun suara yang keluar dari mulut mereka, belum, masih belum.

"Gila! Orang itu pasti gila! Tidak waras karena kehilangan istri dan anaknya yang mati sebab ulahnya sendiri." Itulah perkataan dari orang yang katanya mengayomi rakyat.

Cak! Aku masih belum gila. Orang yang katanya pencetus keadilan yang tadinya tertahan untuk mengetuk palu dengan cepat mengetuk palu dengan keringat yang membasahi jidatnya. Sudah, tamat, aku berakhir di jeruji selama hidupku. Hari demi hari berada di tahanan, membuat akal sehat ini mulai memudar, dan berujung pada kegilaan yang sampai memutus urat nadiku.

Wahai yang Tidak BerindraWhere stories live. Discover now