Tiga

4K 279 5
                                    

Luna tak bisa tidur, meski perutnya telah terisi, kantuk tak kunjung datang. Padahal ini sudah hampir tengah malam dan esok ia masih harus bekerja dan musti bangun pagi. Tak ingin sendirian di kamar, ia mendatangi Ayu. Sekadar mengobrol ringan, membunuh sepi menunggu kantuk datang.

"Lo ikut pulang bareng gue, kan?" tanya Luna dari atas kasur. Ia tidak melepaskan pandangannya dari langit-langit, menerawang entah ke mana.

"Cuti gue tidak disetujui." jawab Ayu tanpa melepaskan pandangan dari monitor. Luna mengalihkan tatapannya, ia memandang Ayu yang duduk bersila di lantai bersama laptopnya. "Nanti gue menyusul, datang pas hari H."

Luna membuang napas sebelum kembali melayangkan pandangan ke langit-langit kamar. "Kalau Mas Erry tidak nikah, gue juga malas pulang," kata Luna lirih. Ia menarik bantal menutupi wajahnya.

Suara Luna yang pelan justru berhasil menarik perhatian Ayu. Ia menatap Luna tajam. "Kenapa malas?"

"Gue belum berani pulang." Luna berbicara masih dengan bantal menutupi wajahnya.

"Sampai kapan lo mau jadi anak durhaka?"

Luna segera menyingkirkan bantal yang menutupi wajahnya. Kaget mendengar kata-kata Ayu. "Kok, lo ngomong gitu?" Seketika Luna duduk tegak memandang Ayu, tidak terima dibilang anak durhaka.

"Loh, memang begitu, kan?" balas Ayu sama sengitnya. "Tiga tahun tidak pernah pulang. Lebaran juga tidak mudik. Seperti sudah tidak punya orangtua. Jangan sampai menyesal, Lun!" balas Ayu gusar. Ada kemarahan dalam suaranya.

Luna menunduk mendengar kata-kata lugas Ayu. Sahabatnya benar. "Gue pasti pulang. Tapi kalau sekarang belum siap."

"Belum siap?!" bentak Ayu marah. Ia bangkit berdiri di hadapan Luna yang sedang memeluk bantal. "Sampai kapan pun lo tidak akan pernah siap! Orangtua lo menginginkan kepulangan lo," kata Ayu lantang. Ia berusaha keras memberi penjelasan yang bisa diterima Luna.

"Gue belum siap kalau bertemu dia, Yu." Luna berbicara pelan, suaranya terdengar serak.

"Bodoh!" Sambar Ayu murka. "Lo di sini sengsara, sedangkan dia sudah hidup bahagia, enak makan dan tidur dengan istri barunya!" Luna menutupi wajahnya dengan bantal, badannya bergetar, suara isak lolos dari mulutnya. "Dengar, Lun." Ayu merenggut bantal yang digunakan Luna untuk menutupi wajahnya. Ada bekas air mata di pipi Luna. Ayu bertekad untuk bicara serius, sudah cukup ia melihat sahabatnya menderita.

"Bukan lo saja yang sengsara. Orangtua dan saudara-saudara di kampung juga ikut menderita melihat lo seperti ini. Gue ajak lo pindah ke sini bukan untuk menyiksa diri tapi supaya bisa melupakannya dan meneruskan hidup." Ayu mengusap mukanya gusar, kesal dengan sikap lemah Luna.

Tak ada tanggapan atas kata-katanya. Luna menunduk dengan badan masih bergetar. Ayu menghela napas, berusaha meredam emosinya. Ia tidak boleh sampai kelepasan bicara, Luna sangat perasa, jika kata-katanya ingin didengar, ia harus bicara baik-baik.

Ayu duduk di kasur di sebelah Luna, mereka bersandar di tembok sambil memeluk bantal. "Ibu yang paling menderita dengan keadaan lo ini. Asal lo tahu, setiap gue datang lebaran ke rumah lo, Ibu selalu memeluk gue kencang. Beliau menangis tidak mau melepas gue. Ibu selalu tanya keadaan lo, kenapa tidak ikut pulang. Gue terpaksa berbohong, bilang lo banyak kerjaan. Semua itu gue lakukan supaya Ibu tidak khawatir. Supaya Ibu bisa istirahat. Tidak banyak pikiran yang malah membuatnya jatuh sakit. Dia kangen lo, Lun."

Luna menangis sambil meringkuk. Sebagai anak ia merasa berdosa. Belum bisa membahagiakan orangtua tapi malah terus membuat mereka menderita dan sengsara. Sebagai anak ia telah membuat malu orangtua dengan tidak bisa mempertahankan rumah tangganya, menjanda di usia sangat muda. Dalam masyarakatnya, seorang janda cerai dianggap aib keluarga, mencoreng nama baik orangtua. Sungguh tidak pernah terlintas dalam pikiran jika ia akhirnya memberi orangtuanya derita.

One Last Cry Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang