Chapter 1: Dinding Pembatas

11.2K 483 25
                                    


Mereka tidak egois, mereka hanya ingin menyelamatkan apa yang mereka jaga selama ini.”

__________

Pennsylvania, 2018

Pagi sekali, saat matahari belum sepenuhnya memancarkan sinar, Sarah sudah terlihat rapi dengan polesan natural pada wajahnya. Rambutnya yang hitam legam dia kuncir kuda dan hanya meninggalkan beberapa helai rambut yang dia biarkan menjuntai indah di samping kepala.

Setelah beberapa saat dia mengamati pantulan dirinya sendiri di depan cermin, dia segera beranjak lalu meraih tas yang menggantung dekat pintu kamar. Tak lupa pula dia meraih heels warna hitam yang akan membungkus kaki jenjangnya sepanjang hari ini.

Ketika semuanya sudah siap, dia segera turun menuju ruang makan.

"Bibi Salma, papa dan mama belum turun juga?" tanya Sarah saat dia sudah berada di ruang makan.

Seruannya itu berhasil membuat satu-satunya wanita paruh baya yang tengah sibuk memanggang roti menghentikan aktifitasnya. Wanita yang dipanggil Bibi Salma itu menautkan kedua alis.

"Tuan dan nyonya sudah berangkat sejak tadi, Nona," balas Bibi Salma.

"Heh?" Hanya reaksi itu yang bisa Sarah berikan. Nada bicara Sarah sama dengan keterkejutan yang terjadi padanya.

Sebenarnya dia tidak begitu heran, karena memang sejak pesta ulang tahun sekaligus pengumuman pertunangan Sarah, kedua orang tuanya seolah membuat sebuah dinding pembatas padanya.

Hampir setiap mereka memiliki kesempatan untuk bersama, kedua orang tuanya selalu menghindar dan mencari-cari alasan.

Sarah berusaha memaklumi, karena dia pikir, kedua orang tuanya belum siap mengatakan apa sebenarnya yang terjadi sampai-sampai mereka harus mengumumkan bertunangan anaknya dengan Alfred secara mendadak.

Namun, kenapa reaksi papa dan mamanya sampai seperti ini hingga tega membiarkan dirinya tak berangkat bersama?

"Bibi Salma ... sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Sarah tiba-tiba hingga kini giliran Bibi Salmalah yang kebingungan.

"Bibi tidak mengerti maksud nona," balas Bibi Salma seadanya. Namun, Sarah bisa menangkap dengan jelas jika ada sesuatu yang disembunyikan oleh semua orang darinya.

"Nona ingin sarapan apa? Biar bibi siapkan," ujar Bibi Salma mencoba mengalihkan arah pembicaraan.

Alih-alih menjawab, Sarah justru melihat ke arah jam yang melingkar di tangannya. Ternyata benda itu sudah menunjukan jam 07:45, itu tandanya Sarah benar-benar sudah telat.

"Astaga!" pekik Sarah tiba-tiba.
"Aku sudah telat. Sarapannya dibungkus saja, Bi. Nanti kumakan setelah sampai di kantor," rengek Sarah.

Bibi Salma yang paham akan keadaan Sarah segera mengambil kotak bekal di dapur. Kemudian memasukan beberapa lembar roti panggangannya dan potongan sosis rasa sapi. Wanita paruh baya itu melakukannya dengan cekatan, seolah dia tak mau membuat majikan mudanya menunggu lama.

Setelah bekal sudah siap dan anteng dalam tas milik Sarah, gadis itu langsung beranjak menuju ruang depan.

Hendak saja Sarah melangkah, ia tersadar akan sesuatu. Dia memutar badannya menghadap Bibi Salma lagi.

"Bibi ... jika papa dan mama sudah berangkat sejak tadi, lalu siapa yang mengantarkanku ke kantor?"

Baru saja bibir Sarah mengantup, ekspresi Bibi Salma langsung berubah drastis. Dia menunjukan ekspresi bersalah sekaligus takut secara bersamaan.

Dia berdeham, sebelum akhirnya berucap, "Sebenarnya sejak tadi nona sudah ditunggu seseorang di depan rumah." Meski Bibi Salma mengucapkannya dengan nada  antara takut dan tidak, tapi dia telah berhasil mengeluarkan kalimat itu dengan lancar.

Kelopak mata Sarah membulat sempurna secara spontan. Menunggu dirinya? Sejak tadi? Siapa? Tiga pertanyaan itu seketika memenuhi pikiran Sarah.

"Siapa? Kenapa bibi tidak bilang dari tadi?" serbu Sarah tanpa memberi jeda.

"Tuan Alfred," jawab Bibi Salma singkat.

Mampus! batin Sarah.

Seolah sesuatu telah mengenai otak cantiknya, Sarah langsung kalang kabut. Dia segera berlari menuju teras depan tanpa mengucap sepatah katapun kepada Bibi Salma.

Ternyata benar, sudah ada seseorang pria yang menunggunya. Pria itu berdiri, tepatnya bersandar pada pintu mobil SUV berwarna silver. Badannya yang tegap, rahangnya yang tajam, kaki jenjang, mata gelap, rambut yang tertata rapi serta tubuh yang Sarah yakin memiliki banyak roti sobek di dalamnya terbalut sempurna oleh setelah jas warna hitam.

Oh, demi apapun. Siapa saja yang melihat penampilan Alfred saat ini akan meleleh seketika.

Sarah sendiri sempat bergeming saat baru saja menyembulkan diri dari balik pintu. Entah sadar atau tidak, yang pasti bibir Sarah sempat terbuka untuk beberapa detik.

Sementara Alfred, dia masih setia menunggu Sarah dengan wajah yang tak menunjukan ekspresi apapun. Baru setelah dia sadar akan keadaan Sarah yang mungkin tak akan beranjak dari tempatnya untuk beberapa saat ke depan, akhirnya Alfred inisiatif menghampiri Sarah.

"Apa kau akan tetap mematung di sana?" tanya Alfred saat jarak keduanya masih menyisakan sekitar dua atau tiga meter.

"E-eh?" Sarah tergagap dan salah tingkah.
"Maaf," tambahnya saat sadar akan kebodohan dirinya barusan.

"Tak masalah. Cepat masuk!" ucap Alfred dengan nada memerintah.

Lelaki itu berjalan mendahului Sarah. Masuk ke dalam mobilnya, tanpa ada niatan untuk membukakan pintu terlebih dahulu pada Sarah. Toh menurut Alfred, Sarah masih bukan siapa-siapa baginya.

Di lain sisi, Sarah hanya bisa menghela nafas berat melihat tingkah laku Alfred padanya. Diapun meruntuki tikahnya tadi. Jelas sekali, pasti Alfred saat ini tengah merasa geli terhadapnya.

Oh astaga! Kenapa hariku kali ini dimulai dengan hal-hal yang tak mengenakan? Sarah membatin untuk kedua kalinya.

Bahkan ketika keduanya sudah berada di dalam mobil, tak ada satupun yang memulai pembicaraan. Alfred fokus ke jalanan, sementara Sarah sibuk menikmati pohon serta jejeran gedung yang terlihat berjalan ke arah berlawanan dengan dirinya.

Keadaan dalam mobil begitu senyap, hanya suara deru mobil yang memasuki gendang telinga. Canggung. Satu kata itulah yang pas untuk menggambarkan keadaan saat ini.

Sarah yang tak tahu harus berbuat apa, tanpa sadar melakukan sebuah kebiasaan buruk apabila dia tengah merasa bosan yaitu memainkan kuku-kuku jarinya.

"Sejujurnya suara kuku jarimu sangat mengangguku," tegur Alfred tak lama setelahnya.

Sarah terkesiap. Dia menghentikan tindakan bodohnya barusan. Dia menoleh ke arah Alfred. Dia ingin mengucapkan kata maaf untuk Alfred, tapi rasa gengsinya lebih mendominasi hingga membuat Sarah hanya menatap Alfred sekilas lalu kembali melihat ke luar jendela mobil.

Lagi-lagi Sarah meruntuki diri sendiri. Kali ini dia yakin, bukan hanya orang tuanya yang membuat dinding pembatas terhadapnya, tapi Alfred juga. Meskipun Sarah sendiri tak mengetahui alasan mengapa Alfred tampak menjaga jarak dengannya sejak pertama bertemu.

__________

To ben continued

Ngomong-ngomong temenku pernah bilang kalau nulis itu harus dipaksakan. Jadi aku paksain diri buat nulis part ini dan inilah hasil dari paksaan itu. Ndak tau apakah part ini ngena atau tidak. Yang pasti aku nulis ini dalam keadaan lelah. -_-
Jadi, maafkan kalo isinya kurang tersampaikan. :'(

/Nangis dipojokan/

Sweet GaslighterWhere stories live. Discover now