Salman si calon suami arab sudah menunggu di salah satu meja di dalam restoran.
Penampilannya tetap sama. Dengan perawakan yang tinggi khas pemuda keturunan timur tengah. Kaos dan celana jeans yang dia pakai terkesan santai dan casual. Cocok di sandingkan dengan dress yang di pakai Ipeh. Pas deh buat acara kencan mereka, sebelum minggu depan mereka resmi bertunangan.
"Assalamu'alaikum, maaf ya nunggu lama." Ucap ramah si Ipeh di depan calon laki-lakinya.
"Wa'alaikumsalam. Nggak kok baru juga beberapa menit."
Aku dan Ipeh memilih duduk berhadapan dengan Salman. Sebenarnya agak risih jika harus duduk berhadapan seperti ini dengan cowok bukan mahram.
Eits bentar, kok otakku sekarang berjalan dengan baik sih. Bisa merespon kalau duduk posisi ini risih. Kayaknya karena pakai gamis kayak gini, pola pikirku dengan sendirinya berubah. Mana yang baik dan nggak menurut agama.
Ipeh dan Salman mulai mengobrol. Sedangkan aku hanya sesekali menjawab pertanyaan mereka.
Mataku juga tak seratus persen ada di obrolan mereka. Malah lebih banyak mataku melihat ke sekeliling. Barangkali aku melihat sosok ayah di sini.
"Ru, lihat apaan sih lu?"
"Nggak lihat apa-apa kok Ra." Jawabku bohong.
"Nyari temenku ya? Dia masih jalan kok bentar lagi juga sampai." Nah, nih pertanyaan yang bikin aku setuju kalau mereka cocok. Sama-sama punya minat sama jodohin aku. Sama-sama perkataan mereka nyebelin.
"Nggak lah. Ngapain juga nyari temenmu bang. Tau orangnya aja kagak. Lihat kesana-kesini tuh barangkali aja gue ketemu orang yang gue kenal di sini. Dari pada nemenin kalian." Jawabku ramah tapi pada kalimat terakhir sengaja kutekankan.
Salman dan Ipeh kompak tertawa.
"Kan tau sendiri Ra. Cowok cewek bukan mahram kalau bertemu itu nggak boleh berduaan nanti ketiganya setan hihihi." Mulut Ipeh bersuara.
"Jadi?"
"Jadi apa Ra?" Tanya Ipeh pura-pura nggak tahu. Melainkan tuh bocah udah cekikikan.
"Udah ahh, mendingan kalian buru-buru ijab qabul biar halal. Jadi kalau mau ketemuan nggak rusuhin aku."
Lagi-lagi dua makhluk dari timur tengah cekikikan.
Aku memilih membuang muka menghadap ke salah satu meja yang di duduki dua orang pria yang sedang duduk berhadapan. Satu pria menghadap ke arahku sama sekali aku nggak kenal. Tapi pria yang lainnya yang hanya punggungnya aku lihat seperti tak asing.
Saat pria itu menoleh. Jatungku seakan berhenti berdetak. Bibirku juga kelu. Mataku sama sekali tak berkedip melihatnya.
Aku kenal. Iya aku kenal orang itu. Walaupun hanya beberapa kali aku bertemu. Tapi yang namanya ada ikatan darah. Pasti aku mengenalinya. Aku tahu kalau dia orang yang ingin aku temui.
"Ra, bentar ya gue mau nemuin seseorang." Pamitku.
Aku berjalan dengan pelannya menuju dua pria itu. Sebenarnya ada rasa takut buatku untuk menyapanya duluan. Apalagi kalau aku ingat-ingat pertemuan terakhir dengannya.
Dua pria tadi tampak berbincang-bincang serius. Sampai nggak tahu kalau aku ada di belakang mereka, yang berjarak satu meter. Tapi dari sini aku jelas mendengar obrolan mereka.
"Gimana kabar anak perempuanmu Zar?" Tanya pria di hadapan ayah.
"Anak perempuanku sudah lama meninggal Fan." Jawab ayah dengan nada sedih.
Bagai di sambar petir di siang bolong aku mendengar perkataan itu langsung dari bibir ayah.
Meninggal. Ayah menganggapku sudah meninggal. Terus kenapa kemarin dia mengatakan kalau dia ayah yang ingin meminta maaf padaku. Sedangkan hari ini dia bilang aku sudah meninggal.
"Maaf mbak ada apa ya? Kok berdiri di situ." Teman ayah akhirnya mengetahui keberadaanku.
Ayah menoleh dan terkejut melihatku di belakangnya.
"Asheeqa." Panggilnya lirih, berdiri menghadapku.
"Jangan panggil aku Asheeqa. Kamu nggak pantas memanggilku dengan nama itu." Kataku penuh dengan kemarahan.
"Kamu denger apa yang tadi ayah katakan?"
"Kamu bukan ayahku. Bagi kamu aku udah lama meninggalkan?" Jawabku dengan menatapnya tajam, diiringi dadaku yang kembang kempis menahan amarah.
"Ka, ayah bisa jelasin." Ayah mengulurkan tangan hendak meraihku.
Aku menepisnya dan berlari menjauhinya.
Aku sama sekali tak menghiraukan panggilannya. Ipeh yang melihatku berlari juga berteriak memanggilku. Tapi sama, aku mengabaikannya dan terus berlari keluar dari restoran.
Dadaku sakit mendengar perkataan ayah.
Tak terasa cairan bening ini kembali keluar, saking tak tahannya aku mendengar kalimat itu.
Saat aku bertekad untuk melupakan kesalahannya. Dan mencoba berdamai dengan masa lalu, tapi kenyataan pahit yang malah aku dapatkan.
Aku terus berlari hingga aku tak sadar sudah berada di parkiran mobil.
Aku menangis sejadi-jadinya mengingat perkataan ayah. Pikiranku benar-benar kacau. Rasa sakit ini begitu menyiksaku.
Hingga aku tak menyadari ada sebuah mobil yang ingin berbelok di tempatku berdiri. Dalam hitungan detik aku sudah jatuh tak sadarkan diri. Samar-samar aku mendengar suara seorang pria yang memanggil-manggilku.
YOU ARE READING
Asheeqa (SUDAH TERBIT)
SpiritualPesan via shopee aepublishing Aku tidak pernah tahu, Aku pun tak ingin mengetahuinya. Yang aku tahu, aku mengenal sosoknya pada diri orang lain. Tanpa pernah aku merasakan kehadirannya di sampingku. Dan ini,,,, membuatku sulit berdamai dengan kehi...
Asheeqa 24
Start from the beginning
