Abah dan bunda juga sama. Langsung ijinin aja pas si Arab minta ijin ngajakin aku pergi. Pakai acara katanya mau ngenalin aku ke temennya si Salman lagi. Biar bisa bareng-bareng naik pelaminan bareng. Bareng-bareng hamil, dan lahiran juga bareng. Berasa pengin banget punya teman seangkatan seumur hidup bareng aku kali ya.

Tapi ogah juga, apalagi temennya si Salman pasti punya hidung kayak prosotan. Pokoknya nggak mau! Titik.

Walaupun di rayu biar memperbaiki keturunan lah. Biar hidung anakku nanti nggak kayak aku. Tapi tetep aku nggak suka produk import pengin yang lokal aja. Asli indonesia kayak dialah pokoknya. By the way  dia siapa ya? Bantu pikir napa...

"Ru, pakaian gue pas kan nggak norak?" Pertanyaan ke sepuluh yang Arab tanyain ke aku. Sejak pertama kali dia menginjakkan kakinya di kamarku, sampai kita ada di pelataran parkiran mall.

Aku memilih memperhatikan dari ujung kaki sampai ke kepala arab. Dia memakai dress bunga-bunga se betis dengan lengan panjang. Di padukan dengan sepatu flat shoes yang nyomot di lemari sepatuku. Gara-gara dia gagal mau pakai high hells 15 centi meter miliknya.

Udah tomboy pakai gaya pakai high hells. Gagal lah. Masa pakai high hells jalannya kayak robot. Pakai segala acara tangan di rentangkan lagi, kayak kiper jagain gawangnya.

"Udah cantik rab." Itu jawaban singkatku di sepeluh pertanyaan yang sama dari arab.

"Beneran kan? Gue nggak norak kan pakai begini."

Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Kalau boleh jujur sebenarnya si ipeh alias Zahra ini lebih cantik kalau pakai hijab. Aku pernah liat fotonya, dia lebih mirip jadi putri dari kerajaan arab dengan aurat yang tertutup. Tapi aku nggak berani mengatakan itu semua di depan dia.

Karena menutup aurat karena paksaan tidak akan bertahan lama.

"Rab, si juragan kain udah sampai?"

"Ihh Mehru. Kita mau ketemu Salman bukan bapaknya tau."

"Iya anak juragan kain. Kalau bapaknya meninggal kan dia yang jadi juragan kain. So, apa salahnya gue nyebut dia juragan kain juga."

"Eh, iya juga yah. Berarti nanti gue jadi nyonya juragan kain. Pinter banget sih Ru." Arab menepuk bahuku lumayan keras.

Aku hanya menghembuskan nafas, mencoba sabar sama perlakuan cewek yang ngakunya sohib. Tapi malah melakukan kekerasan ke aku. Perlu bukti visum nih kayaknya.

Arab memeriksa handphonenya.

"Udah sampai Ru. Tapi temennya belum sampai."

"Alhamdulillah."

"Kok lu Alhamdulillah sih Ru? Harusnya kan lu bilang 'Lah, kok dia belum sampai sih? Nanti gue kan nggak bisa buat lihat cowok ganteng.'. Harusnya gitu Ru." Dengan nyebelinnya si Ipeh memeragakan gaya sok centil ketika mengatakannya.

Aku cuman melirik sekilas dan memilih jalan mendahului si arab.

"Mehru kok lu ninggalin gue sih? Emang lu tau tempatnya?"

Gimana aku nggak tahu. Sudah lima kali dia bilang kalau mau ketemuan sama di Salman di Restoran seafood langganan kami kalau ke mall.

Arab lari tergopoh-gopoh menyusulku.

Sebenarnya ada untungnya Ipeh ngajak aku ke Mall. Jadi aku bisa jalanin misi buat ketemu ayah. Semoga aja di tempat ini aku ketemu beliau.

Walaupun kemungkinan hanya lima persen aku bisa bertemu dengannya. Tapi tetep lima persen itu adalah kemungkinan yang bisa menjadi seratus persen jika Allah sudah berkehendak.

Asheeqa (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang