Tujuh Belas

972 25 9
                                    


Kakiku melangkah begitu cepat, seirama dengan cepatnya detak jantungku. Aku melihat cepat pada setiap nomor kamar yang aku lewati.

Dua puluh sembilan, ah itu dia!

Aku terdiam di depan pintu berwarna putih polos itu, rasanya tanganku tidak kuat untuk sekadar memutar kenop pintu itu. Aku menggeleng kuat. Tidak! Harry pasti baik-baik saja di dalam. Aku tidak boleh membayangkan yang tidak-tidak, Harry bukan lelaki yang lemah.

Saat aku memberanikan diri untuk membuka pintu itu, bau menyengat khas obat-obatan langsung menyambut indera penciumanku. Sedang kedua bola mataku menangkap sosok lelaki yang terbaring tak berdaya di sana. Lengkap dengan baju hijau khas rumah sakit. Air mataku mengalir tanpa komando saat kakiku bergerak mendekat.

"Harry...." ucapku gemetar.

Harry terlihat sangat erat memejamkan mata, ia terlihat begitu lelah. Beberapa luka di kepala dan lengannya tertutup kain kassa dengan noda merah yang tidak bisa dibilang sedikit.

Aku mendudukan diriku di kursi plastik di samping tempat tidurnya. Tangisku semakin pecah. Tidak pernah sekalipun aku melihat Harry selemah ini. Bahkan untuk membayangkannya pun tidak terpikirkan.

Ternyata inilah penyebab kejanggalan dalam benakku yang membuatku tidak bisa tidur malam tadi. Harry, bangunlah! Aku yakin kau adalah pria paling kuat yang pernah aku kenal. Kau tidak lemah bukan? Ayolah bangun!

Cklek!

Aku menoleh pada sumber suara langkah kaki yang kini mulai mendekat.

"Bu...." dengan sigap aku memeluk tubuh ibuku. Tangisku semakin pecah seiring usapan tangannya di punggungku.

"Harry tidak apa-apa. Dokter bilang dia hanya mengalami luka luar, ya meskipun tidak bisa dibilang baik-baik saja. Dia akan segera sadar De."
Aku tak bisa berkata apapun lagi, hanya bisa mengangguk untuk itu.

***

Pagi ini, aku dan Kaela masih menikmati sepiring nasi goreng sebagai sarapan di kantin kampus. Hanya berdua. Soal keberadaan Edward, entahlah. Dari kemarin dia tidak menemuiku, bahkan mengirim pesan pun tidak.

"De, habis ini lo nggak ada matkul lagi kan?" tanya Kaela di sela-sela suapannya.

Aku mengangguk tanpa bersuara.

"Anter gue ke toko buku di seberang kampus ya?"

"Mau beli novel cerita anak SMA lagi?"

"Ck! Engga De. Tadi ada tugas dari dosen suruh beli buku matkulnya yang berbahasa Inggris, dan harus paham isi keseluruhan bukunya, habis itu dibuat rangkuman dan reviewnya. Gila nggak sih dosen gue, ngasih tugasnya nggak main-main. Rasanya ingin gue mutilasi itu dosen." Jelas Kaela panjang lebar dengan ekspresi yang membuatku tidak bisa menahan tawa.

"Kayak sanggup aja lo mutilasi orang! Lihat ayam diadu aja udah lemes, sok-sokan mau mutilasi, yang ada lo yang mati duluan," jawabku dengan tawa super nyaring.

"Eh bener juga sih ya, haha. Gapapa deh, nanti gue sewa pembunuh bayaran."

Tawaku lebih nyaring lagi atas jawaban Kaela kali ini. Akhirnya aku bisa kembali tertawa dengan lepas setelah tiga hari yang lalu aku bahkan tak bisa tersenyum. Syukurlah.

"Woi gue cariin kalian berdua kemana-mana taunya di sini, makan berdua ketawa-ketawa, nggak ngajak gue lagi. Songong lo berdua!"

Entah dari mana datangnya sosok Edward yang sedari tadi aku pikirkan, tiba-tiba dia sudah berada di hadapanku. Dengan gaya sok paling benar-nya.

"Yang ada lo yang songong Ed! gue teleponin dari tadi nggak lo angkat. Pakai nyalahin kita."

"Yee..., gue nggak pegang hp dari tadi dan handphone gue mode silent, jadi mana tahu kalo lo telepon."

When Psycho Fallin in LoveWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu