01: Harga sebuah lalai

212 27 0
                                    

"Menikah berarti menggenapi separuh iman. Namun jika kau kehilangan esensi menggenapi imanmu, jadilah kau kehilangan 'separuh' yang kau miliki, atau semua."

🌵🌵🌵

Langit di ujung barat oranye kemerahan, tinggal menghitung menit sebelum gelap. Di teras sebuah rumah, di atas bangku panjang, sepasang laki-laki dan perempuan selisih tiga tahun tampak asik bercengkrama. Sesekali melempar lelucon kemudian tertawa. Tampak hangat.

Tapi sepuluh meter di depan mereka, seseorang sudah terbakar. Berdecak pelan, melangkah mendekat dua manusia itu.

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam warahmatullah." Jawab si laki-laki dan perempuan menghentikan bicaranya, sebelum kemudian menyalami tangan tamu mereka dan menciumnya.

"Abah?" Itu si laki-laki.

Orang di depannya, yang Abahnya mengangguk samar, "Kau tidak dengar seruan Tuhanmu yang sudah dengan pengeras itu?" Tanyanya pada anaknya, dengan air muka lempeng.

Mengangguk, tidak ada penyangkalan.

Wajah datar Abah beralih ke perempuan di samping anaknya yang tertunduk. Lalu menghela napas, "Pastikan segala pakaian dan barangmu besok sudah kau pak rapi."

"Maksud Abah?"

🌵🌵🌵

Begitulah cerita dua anak manusia itu berakhir. Atau hanya sebuah jeda?

Si perempuan sedang memikirkannya. Jika hanya jeda, apa cerita itu akan segera disambung? Atau sudah?

Fokus matanya memusat pada pria di depan sana. Sedetik, kemudian  menghela napas, menyibak mukenanya ke belakang dan beranjak.

"Mau kemana Kak Nai?" Tanya Nasya di sebelahnya, mendongak.

"Kamar mandi"

Bohong. Dia ke kamarnya. Melepas mukena, menangis di lengannya yang menelungkup di atas kakinya posisi silang.

Entahlah. Dia cuma sedikit bahagia, banyak rindunya.

Agak lama, pintu kamar diketuk seseorang.

"Wa'alaikumussalam, siapa?" Katanya dengan suara bindeng yang tidak dapat disembunyikan. sambil mengusap sisa air di mata dan pipinya.

"Nasya, Kak." Jawab orang di luar yang ternyata Nasya.

"Oh, masuk aja." Tak lama muncul Nasya-cuma kepalanya- di depan pintu.

"Tadi aku cari kakak ke kamar mandi soalnya lama banget. Tapi gak nemu. Kak Naila habis nangis?" Lantas gadis itu sedikit melebarkan pintunya dan masuk kamar mereka.

"Nggak kok, nggak apa-apa." Cuma tersenyum, Nasya mengangguk, tidak berusaha mengorek lebih dalam hingga Naila merasa tidak nyaman.

Meletakkan lipatan mukenanya yang dibungkus sajadah, Nasya mengajak Naila agar segera keluar. "Mau bagi-bagi makanan," katanya dengan seringai jenaka.

Kembali ke masjid, dua perempuan itu bersimpangan dengan seorang pria dengan wajah masih ada titik-titik air. Sepertinya habis dari kamar mandi.

Naila yang terlanjur menatap matanya hanya diam, kaku. Sedang si pria tanpa mengubah raut datarnya segera menundukkan pandangannya dan mengucap salam yang dibalas Nasya antusias. Berbeda dengan Naila yang masih tak berkutik.

"Kak, dijawab salamnya." Ujar Nasya menyenggol bahu Naila yang segera tersadar. "Huh, Ustadz Adam emang ganteng banget sih."

Bukan itu. Jantung perempuan di sebelah Nasya berulah. Hatinya juga.

Pria tadi tidak mengenalinya. Rasanya sakit.

Apa ini yang disebut kecewa?

🌵🌵🌵

"Kita saling memperbaiki diri, ya? Saling memantaskan. Suatu hari nanti, ketika kita berada di titik paling pantas, garis temu kita pasti, sekalipun berbelok bahkan bercabang, dia tak akan menyesatkan. Dan meski curam, dia menguatkan. Gak perlu takut lelah dan menjadi lemah, ini tentang percaya." Adam.

🌵🌵🌵

segini aja part 1 nya, gimana?

ADAMKUWhere stories live. Discover now