17. Sampai Jumpa

1.4K 363 67
                                    

Vote sama komennya dong, guys :") sedih aku tuh kalo komenannya dikit...

Jeongin terhuyung. Kesadaranya belum sepenuhnya terkumpul tetapi sang Adik terus menarik paksa dan mendudukan tubuh Jeongin di atas sofa ruang tamu.

Jeongin yang baru saja terbangun dari tidur belum dapat memahami situasi apa yang membuat Jiheon terlihat terburu-buru menarik dirinya.

Hari ini adalah hari Minggu. Tapi mengapa Jiheon terlihat terburu-buru.

"Jiheon mau ngapain sih? Kok Jeongin ditarik-tarik?"

Lama terdiam, Jeongin akhirnya membuka suara. Menanyakan kebingungannya yang sedang melanda.

Jiheon tidak menjawab. Gadis itu malah mendudukan tubuhnya di samping Jeongin.

Di genganggamnya ada sebuah kotak. Jeongin meneliti kotak itu. Menerka apa isi kotak putih itu.

Ah, itu kotak obat-obatan. Suzy selalu mengobati luka Jeongin atau Jiheon dengan bantuan dari isi kotak itu.

"Ke siniin dua tangan Kakak," titah Jiheon selepas mengeluarkan bungkusan kapas dan botol kecil obat merah.

Jeongin menurut, memajukan ke dua tangannya ke hadapan Jeongin.

Dengan cekatan Jiheon mengoleskan obat merah yang ditumpahkan sedikit di atas kapas, dan membaluri obat merah itu di atas punggung tangan sang Kakak yang terluka.

"Aw, sakit.. " cicit Jeongin.

Jiheon dengan sigap meniupi luka bakar yang sudah dibaluri obat merah. "Tahan ya, Kak. Emang agak sakit kok, tapi sakitnya nggak bakal lama," ucap Jiheon berusaha menenangkan Jeongin.

Sehabis itu Jiheon merapikahkan bungkusan kapas. Jeongin yang sejak tadi memperhatikan Jiheon tanpa sadar mengulas senyum.

"Jiheon... Kok kamu bisa tahu kalo Jeongin punya luka?" Tanya Jeongin hati-hati.

Jiheon memutar tubuhnya, mensejajarkan pandangannya dengan pandangan nanar milik Jeongin.

Lalu ia tersenyum. Dan tentu saja senyum Jiheon memicu perasaan bahagia dalam hati kecil Jeongin.

Dan tanpa di duga, Jiheon malah memeluk leher Jeongin erat.

"Makasih dan Maaf, Kak. Makasih udah mau peduli sama aku. Dan maaf udah nyakitin Kakak akhir-akhir ini."

"Aku tahu luka bakar itu gara-gara kena air panas yang Kakak masak buat bikinin aku susu. Makasih, Kak."

Jeongin mematung di tempat. Apakah ini mimpi? Atau lantunan doanya sudah didengar Tuhan? Jika ini adalah mimpi, Jeongin berharap untuk tidak bangun selamanya.

Jika semua ini adalah sebuah kenyataan, Jeongin hanya berharap agar keajaiban ini bertahan untuk sebentar saja.

Jeongin sudah bersyukur. Jeongin tidak akan pernah menyesal jika memang kebahagiannya hanya bertahan untuk sementara.

Karena pada dasarnya tidak ada kebahagian yang abadi.

~*~

Mobil Van putih yang terparkir di depan perkarangan rumah Jeongin dan deretan koper besar yang diseret sang Bunda menyedot perhatian Jeongin dan Jiheon.

Sang Bunda yang baru saja pulang kerja tanpa basa-basi langsung mengemasi pakaian Jeongin dan menaruh di dalam koper hitam besar itu.

"Bunda, kok baju Jeongin dimasukin ke dalam koper?" Jeongin mengekori langkah Suzy yang berat.

Jiheon menatap kosong setiap langkah yang Jeongin dan Suzy ciptakan.

Langkah mereka semakin mendekati mobil van itu.

Jiheon juga mengekori langkah kaki mereka, tapi secara perlahan.

Ternyata hari ini akan datang.

"Jeongin, untuk sekarang dan ke depan kamu bakal tinggal di asrama deket rumah omah." ucap Suzy sembari mengelus pucuk kepala Jeongin lembut.

Pikiran Jeongin lama mencerna perkataan Suzy. Ia hanya terdiam, menatap koper berat itu yang sudah diangkat ke dalam mobil oleh seorang pria dewasa.

"Huh? Tinggal di asrama? Berati Jiheon juga ikut sama Jeongin dong? Terus Bunda ditinggal sendiri?"

Gelenggan lemah Suzy berikan sebagai jawaban. "Jiheon nggak bakal ikut sama Jeongin. Cuman Jeongin doang yang pergi. Bunda dan Jiheon tetap di sini."

"T-tapi Jeongin nggak mau, hiks, hiks, hiks." Jeongin menangis. "Jeongin cuman mau tinggal sama Bunda dan Jiheon. Jeongin nggak mau ninggalin Bunda dan Jiheon, hiks, hiks, hiks."

Jeongin memutar langkahnya, mendekati sang Adik yang berdiri tak jauh dari dirinya.

"Jiheon, tolong bilangin Bunda kalau Jeongin nggak mau pergi, hiks, hiks, hiks. Jeongin mau tetap tinggal sama kalian."

Jeongin memohon pada Jiheon. Mencoba membujuk Jiheon untuk menolong dirinya.

Jiheon tidak melakukan seperti apa yang Jeongin minta. Ia tidak bisa berucap, lidahnya terasa kelu.

Semenyakitkan ini kah perpisahan?

Tidak ada yang bisa Jiheon lakukan selain memberikan sang Kakak pelukan hangat terakhir.

Namun, Sang Kakak tetap meraung di dalam pelukannya.

"Jeongin nggak minta dipeluk, hiks, hiks, hiks. Jeongin cuman minta Jiheon nolongin Jeongin."

Jiheon semakin memperat pelukannya. Mengabaikan pemberontakan yang Jeongin berikan.
"Jiheon nggak bisa melakukan apa-apa, Kak. Jiheon minta maaf nggak bisa nolongin Kakak hiks, hiks, hiks."

Mendengar isakan Jiheon, Jeongin melepaskan pelukan gadis itu dari tubuh tegapnya.

Butiran air mata sang Adik ia sapu pelan menggunakan ibu jarinya.

"Mungkin, Jiheon memang nggak bisa nolongin Jeongin. Tapi, Jeongin mohon jangan menangis. Melihat Jiheon menangis membuat Jeongin merasa gagal sebagai seorang Kakak."

Air mata Jiheon menderas. Dadanya terasa sakit. Perpisahan ini sungguh menyakitkan dan menyiksa.

Jeongin menghapus air matanya. "Jeongin udah nggak nangis lagi. Jadi sekarang Jiheon nggak boleh nangis..."

"Jiheon, terima kasih karna sudah mau menerima Jeongin sebagai Kakak Jiheon. Maaf sering bikin Jiheon malu karna kekurangan Jeongin. Dan sekarang sampai jumpa! Jeongin harus pergi dulu. Tapi, Jeongin janji akan kembali lagi nanti."

Tidak ada yang mengharapkan sebuah perpisahan. Perpisahan itu menyakitkan, perpisahan itu menciptakan luka. Tapi, tanpa perpisahan tidak akan ada pertemuan.

Jiheon memang membenci perpisahan. Tetapi sang Kakak sudah berjanji untuk kembali lagi.

Dan semoga saja Jeongin menempati janjinya.

Semoga saja.

END

Tapi boong

Masih ada 2 chapter lagi kok heheheh

Jangan slending aku, kawan kawan :"

Special; Yang Jeongin [#Wattys2018] [Wattys longlist 2018] ✔Where stories live. Discover now