"Mbak tunggu." Cegahnya.

"Apa?" Tanyaku menoleh padanya, malas.

"Minta tolong dong, dorongin kursi rodaku sampai ke tempat kemarin." Pintanya.

"Ogah. Kalau aku nganterin kamu. Sama aja aku bantuin kamu kabur dari acara minum obat." Kataku berbalik badan menghadapnya.

"Aku nggak kabur mbak. Aku udah minum obat. Aku cuman bosan aja di kamar." Raut wajahnya berubah muram.

Aku berpikir sejenak. Kasian juga sih lihat dia. Pasti bosen juga di kamar rawat. Aku aja cuman beberapa jam aja udah bete apalagi dia yang kayaknya udah berhari-hari.

"Gimana mbak? Kalau nggak mau nggak apa-apa aku bisa minta tolong orang lain." Katanya hendak menggerakkan kedua tangannya mendorong roda kursi rodanya.

"Iya aku bantuin. Tapi bener kan kamu nggak lagi kabur?" Tanyaku penasaran.

"Nggak mbak. Aku bosen di kamar. Lagian aku cuman sendiri di kamar."

"Orangtua kamu atau saudara kamu yang nemenin di rumah sakit nggak ada?"

Dia hanya menggeleng.

Karena rasa belas kasihan. Aku menuruti kemaunnya, menuju tempat kemarin aku menangis. Dan mendengar ocehan si dokter singa yang begitu menyakitkan.

"Sampai." Kataku mengikuti logat salah satu adegan di sebuah sinetron. Membuat Rendi tertawa.

"Mbak, ada-ada aja sih."

"Emang udah sampaikan?" Tanyaku cengengesan.

"Iya deh. Makasih ya mbak." Jawab Rendi tersenyum.

"Sama-sama." Kataku, kemudian duduk tepat seperti kemarin dengan Rendi di sampingku.

"Loh kok mbak duduk di sini?"

"Iyalah duduk, capek dorong kamu." Kataku pura-pura capek menghadapnya.

Padahal aku duduk di sini hanya ingin menemaninya, serta memastikan kalau dia baik-baik saja. Rendi sepertinya bukan pasien dengan penyakit biasa. Kalau aku inget-inget dia kan lagi nungguin pendonor. Jadi kemungkinan dia mengidap penyakit serius.

"Maaf ya mbak udah ngrepotin. Kalau kakiku punya tenaga buat menopangku berjalan. Pasti aku nggak akan merepotkan orang." Ucapnya sedih.

Aku menepuk bahunya, menyalurkan semangat padanya. Ada perasaan ikut sedih saat melihat wajahnya yang muram.

"Nggak usah sedih. Kamu harus semangat biar cepat sembuh." Terangku memotivasinya.

Rendi tersenyum. Dia sama sepertiku punya satu lesung pipi di sebelah kiri saat tersenyum.

"Saudara mbak udah sehat?"

"Alhamdulillah, adik mbak udah keluar ICU. Mungkin tiga hari lagi udah bisa pulang." Jawabku tentang kondisi Bila.

"Syukur deh. Kita nggak bisa ketemu lagi dong." Rendi kembali bersuara.

"Maksudnya?" Tanyaku heran.

"Iya. Nggak tahu kenapa nyaman aja dekat mbak. Padahal kita baru dua kali ketemu hehehe."

Dahiku mengernyit menatapnya aneh. Nih anak halu apa ya. Nyaman di sampingku, maksudnya apa nih. Anak masih bau kencur udah ngomong aneh-aneh.

"Nggak usah mikir nggak-nggak mbak. Seleraku bukan mbak-mbak kayak situ. Aku bingung aja kenapa bisa ngrasa nyaman ngobrol dan deket sama mbak. Soalnya baru kali ini aku ketemu sama orang yang kayaknya enak buat jadi teman pertamaku."

Awalnya aku udah pengin jitak kepala nih bocah. Bisa banget nebak apa yang aku pikirkan. Tapi di akhir kalimatnya buat aku kembali terenyuh.

Seakan tahu apa yang kembali aku pikirkan. Dia kembali berbicara.

"Mbak bisa jadi teman pertamaku. Selain suster dan dokter di sini." Rendi menjeda perkataannya, "aku dari kecil bolak-balik ke rumah sakit. Jadi aku nggak punya teman, saudaraku juga udah meninggal."

Kembali aku mengetahui kenyataan dari sosok Rendi.

Rumah sakit benar-benar jadi tempat aku mengetahui banyaknya sebuah masalah pelik. Yang membuatku berkali-kali mengucapkan syukur kalau aku masih lebih beruntung dari mereka. Dan satu hal lagi, aku yang selama ini selalu merasa kalau aku punya masalah paling berat. Tapi ternyata di luar sana banyak yang lebih berat dariku

"Yah, ini malah bengong. Mbak nggak usah mikir nggak-nggak. Aku baik-baik aja dengan semua takdirku ini. Jadi mbak nggak usah ngasihani aku ya," ujar Rendi, menatapku tersenyum.

Aku merasa bersalah saat ini. Karena kasihan aku mau membantunya. Harusnya aku membantu seseorang tanpa adanya embel-embel kasihan.

Tapi benar juga sih ada perasaan nyaman yang aneh. Pokoknya bukan perasaan tentang cintrong ya. Tapi rasa nyaman kayak ngobrol sama bang Aries atau bang Igo.

"Mbak, suka banget sih bengong. Hati-hati loh nanti kayak ayam punya engkong."

Tuk

Karenq kesal sentilanku mampir di jidat Rendi yang nyebelin banget.

Rendi malah tertawa terbahak-bahak. Tapi melihat tawanya membuat hatiku bahagia. Bisa membuat bibir tipis yang pucat milik Rendi tertawa.

Tanpa aku sadari ada seseorang yang tersenyum bahagia melihatku dan Rendi tertawa dari kejauhan.

Asheeqa (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now