Prolog

134 9 0
                                    

Malam ini sudah amat larut, hal yang sudah kami lewatkan bertahun-tahun berlalu menikmati kegelapan sepanjang malam. Dingin menyerbak ke segala arah tanpa tahu sasaran empuknya.

Enyah dari pandangan ketika cahaya bulan di selimuti awan malam yang memakan waktu cukup lama.

Aku bersama beberapa sahabatku berkeliling mencari buruan. Buruan apapun, terkecuali buah ataupun manusia.

Kami biasa makan malam bersama selarut ini, dan mencari buruan di tengah malam ketika anak-anak tertidur pulas.

Suatu adrenalin untuk memacu kecerdikan kami ketika berburu di malam hari. Bagaimana caranya hewan kabur di dalam kegelapan, ataupun jika beruntung akan menemukan hewan yang tengah beristirahat bersama keluarganya, itulah sasaran kami tujuannya.

Aku membawa sebilah pisau runcing yang sedikit karatan. Sementara yang lainnya membawa senjata mereka masing-masing, seperti sabit dan tombak dari batang bambu yang di poles tajam dan menyakitkan.

Kami berjalan pelan-perlahan sambil memperhatikan langkah kaki. Beruntung apabila di ujung terdengar suara dengkuran hewan seperti kambing ataupun domba. Mereka agak malas untuk berlari, jadi lebih mudah mendapatkannya ketimbang rusa, kijang, dan hewan gesit lainnya.

''Aku mendengar dengkuran.'' Ucap salah satu sahabat priaku bernama Kerni.
Dia melesat pelan membelakangi pohon besar, dimana ia mendengar suara dengkur tersebut.

Tombaknya yang runcing siap menikam sang calon buruan dalam kegelapan, layaknya seorang malaikat pencabut nyawa.

Ketika tombak bambu Kerni menancap perutnya, hewan itu mengembik. Dan beberapa yang lainnya kabur berlari tanpa perlu kami kejar.

Kerni tersenyum bangga dan di sambut girang oleh kami bertiga. Siapa yang tidak akan senang coba jika mendapatkan buruan seekor kambing malang tua yang gemuk. Kurasa akan cukup untuk menyimpan dagingnya selama 3 hari untuk dijemur dan dijadikan dendeng daging oleh Ibu kami.

''Ahay, kali ini siapa yang masuk daftar teratas untuk buruan?''

Kerni masih bangga dengan buruannya. Tapi bagi kami itu juga buruan kami. Kami semua satu koloni yang akan memakannya bersama-sama.

''Akan ku coba esok. Jangan belagu jika hanya dapat satu ekor kambing tua saja.'' timpal Yomna, gadis sangar yang memotong habis sebelah rambutnya dengan sabitnya.

''Buktikan saja jika bisa. Paling gak 3 kali tusukkan bakal bisa tumbangin buruan.''

''Ya terserah bualanmu, cepat angkat. Semua sudah menunggu.'' ujar Yomna yang merasa paling cantik sendiri disini.

Sehingga kami bertiga, Kerni dan satu teman cowokku Tirsa akan memegangi kaki-kaki dan tubuh kambing ini. Sementara Yomna menyembelihnya.

Suara penyembelihan itu terdengar memilukan, namun sudah sering kami lakukan. Setidaknya seminggu sekali waktu berburu akan dimulai, dan tentu pada saat malam hari ketika cahaya bulan malam sedang terang-terangnya.

Kami segera membawa kambing tua dan berat ini ke tempat kami dengan cara memegangi kaki-kakinya bergantian.

Tapi sebelum membawanya ke pemukiman, aku memperkenalkan diriku. Seorang pria berusia 19 tahun, tampan dan pemberani kurasa, Radian namanya. Seorang anak dari kepala koloni, ya Ayahku seorang ketua Koloni.
Koloni kami bernama Markas Singgarsani, katanya ada sedikit penyerapan bahasa dari suku-suku jawa pada jaman dahulu.

Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara suku jawa menciptakan sebuah kata yang kini kami serap. Hampir semua disini kami kebanyakan tidak mengetahui sejarah jaman sebelum seratus tahun ini terjadi.

Apakah dulunya tanah ini makmur? Dan mungkinkah bangunan besar yang terdapat sebuah kaca-kaca yang biasa kami gunakan untuk membuka luka itu dulunya berdiri tegap menjadi tempat yang bagus dan baik untuk di tinggali?

Malah kurasa itu tidak mungkin. Dalam reruntuhan bangunannya yang hancur ketika ku telusuri bersama yang lain banyak menemukan kerangka tulang-belulang manusia yang kotor. Kadang mendapati anjing liar atau serigala mematahkan tulang rusuknya untuk di santap.

Bagian apa yang ku ingat ketika Mesha sahabat kami yang badung menyepak benda bulat dari tulang itu layaknya sebuah alat untuk di tendang. Hingga mengeluarkan kaki seribu dari lubang matanya, seperti layaknya sarang.

Dan dimana ada barang-barang yang dulunya mewah sudah tidak bisa digunakan kembali. Tapi anak-anak kecil di koloni sering di carikan sebuah benda penghibur diri seperti manusia tiruan yang mini ataupun sebuah mainan yang katanya terbuat dari plastik, sebuah benda padat yang mudah terbakar pada masanya.

Entah apalagi, teknologi luar biasa itu tiba-tiba tidak ada apa-apanya sekarang setelah gempa bumi 100 tahun lalu membinasakannya.

Kini hanyalah tinggal pakaian yang berjamur, kusam, dan sudah dimakan waktu yang tersisa. Benda-benda yang lain sudah dimakan karat, seperti pisau penemuanku yang ku asah dengan kaca beling yang ku dapatkan dari reruntuhan rumah untuk mempertajamnya.

Seolah-olah aku ingin merasakan bagaimana hidup pada masa itu. Sepertinya menyenangkan. Pasti mereka bisa menikmati hidup dengan canggih, makan yang enak, pakaian beragam jenis dan bentuknya, dan katanya dulu mereka punya cahaya sendiri berasal dari energi bumi. Benar-benar mengagumkan. Tapi keberuntunganku adalah lahir pada saat ini, dimana aku menyaksikan sendiri dengan mata kepalaku bahwa hidup mereka tidak sampai saat ini. Semua hanyalah tinggal tulang belulang saja pada akhirnya. Dan tentunya kenangan yang hilang.

Setelah kami membawakan kambing tua ini ke hadapan para Ibu. Segera mungkin mereka membelah isi perutnya untuk diurai dan di bersihkan.

Aku bersama 3 temanku kembali untuk duduk di dekat perapian besar yang di kelilingi oleh banyak para koloni kami.Ada kurang lebih 30 orang dalam koloni kami. Sisanya ada beberapa koloni lainnya yang menjadi tetangga jauh kami.

Kami semua bisa berkumpul antar koloni tanpa bisa membeda-bedakan. Uniknya kami bisa berpindah-pindah koloni, dimana koloni yang membuat kami nyaman disitu kami bertahan. Asalkan kami semua bisa di untungkan juga dan tidak bermalas-malasan atau kau akan di usir dari koloni. Terkecuali orang sakit yang harus di sembuhkan tanpa membedakan. Ramuan tradisional turun-temurun akan menyembuhkannya.

Kerni masih membesar-besarkan kebanggaannya menombak kambing itu di depan sahabat yang lain. Aku hanya bisa tersenyum tak berkata apa-apa setelah melihat Yomna yang tangkas bersikap masa bodoh seolah-olah menutup telinganya.

Sedangkan Khairi yang baru sampai langsung menimbrung dan membual di sana hingga memicu kebisingan.

''Alah, baru segitu. Aku yakin bakal bisa dapat kambing yang lebih besar dari yang kau buru nanti, paling tidak rusa daripada kambing tua yang dagingnya keras itu.'' kembali Yomna menusuknya dari depan.

''Ya buktikan, buktikan ya, manis.'' di balasnya dengan santai.

Sehingga membuat beberapa orang sedikit tertawa.

100 Tahun SetelahnyaWhere stories live. Discover now