Tanda Lingkaran

27 4 0
                                    

Keesokan harinya, dimana sepertinya cahaya pagi begitu terang menyinari dari arah lapangan. Aku bangun paling akhir dan sudah dipastikan sudah tidak ada yang masih terlelap di sisi-sisiku.

Hari ini merupakan hari dimana aku ke-lima kalinya bangun tidur saat mentari sudah menggantung tinggi. Apalagi kicauan burung sudah tak terdengar. Biasanya aku dan yang lain sangat senang menikmati rebusan daun anggur hangat di pagi hari sambil mendengarkan siulan indah dari para mahluk terbang.

Dan aku sungguh penasaran, bagaimana hasil perburan tadi malam? Apakah Yomna mendapatkan apa yang ia harapkan, seekor domba tua gendut yang mengenyaangkan. Dan kuyakini, pasti dombanya masih dalam keadaan hidup. Karena aku sungguh tidak akan memaafkan mereka jika sudah dimakan tadi malam, dan  aku tidak mendapatkan bagianku.

Aku mengucak kedua mata, dan diluar sana aku melihat seekor domba tua yang besar dan bertanduk panjang. Dugaanku benar, mereka semua tak akan melewatkannya untukku.

Aku melangkah kearah dimana domba itu terikat sebuah tali tambang pada bagian lehernya, yang dikaitkan pada sebuah pohon besar. Hewan tersebut mengembik malang, dan akan menemukan nasibnya segera.

"Radian."

Aku terkejut mendengar panggilan yang dilontarkan oleh Kerni tiba-tiba.
Ia datang tersenyum melihatku memandang domba ini.
"Kali ini Yomna berhasil menjebak domba yang diinginkannya. Tentu bukanlah hal termudah yang didapat. Aku sebisa mungkin membantunya dengan susah payah, apalagi gerombolan domba itu tiba-tiba aja terbangun setelah yang ku temui terdapat Jukka yang terluka, lengannya tergores senjatanya".

"Namun, apa dia terluka serius?" tanyaku.
"Semoga saja tidak, karena saat itu pula ia langsung di obati dan kembali pulang. Dan tetap saja Yomna begitu angkuh. Wanita memang menyebalkan wataknya".

Aku tersenyum mendengarnya.

"Jadi hari ini kita akan bersenang-senang dengan daging guling domba tua cap Yomna".

Berselang beberapa jam berikutnya, domba telah di sembelih. Para orang dapur tengah membersihkan serta memotong daging domba tersebut.

Aku kembali bertugas hari ini, mencari barang-barang digedung-gedung yang masih belum terjamah oleh kami. Terkadang jika bangunan yang telah kami singgahi, akan kami kasih tanda sebuah kayu yang ditanam pada teras bangunan. Bahkan ku yakin isyarat ini hanya dapat dimengerti oleh kaum kami sendiri.

Jika kaum yang lain menandainya dengan mencoreng dinding dengan lumpur basah, atau menggunakan arang hitam bertanda X. Namun terkadang kami menemukan tanda bercak darah yang melingkar seperti ular yang tengah beristirahat, entah itu sebuah tanda bekas seseorang yang pernah singgah menggunakan darah hewan, ataupun hal yang tidak kami ketahui.

Aku, Yomna, Tirsa dan Mesha sudah berada didalam hutan. Cuaca terik ini menghujamku dengan panasnya yang menyengat. Yomna memakai pakaian yang menutupi bagian belakang kepalanya.
Ia selalu lebih dulu melesat dibanding para laki-laki lain. Kupikir ia lebih cocok jadi pria seutuhnya dibandingkan jadi wanita yang anggun, sifatnya yang urakan dengan rambut yang dipotong sebelah bagaikan tukang pukul orang masalalu, begitu yang kudengar dari buku sejarahku, Nenek.

Kali ini kami berjalan jauh ke arah selatan. Jaraknya cukup jauh dan memakan waktu kira-kira dari pagi fajar hingga menjelang matahari terbit setelahnya. Tentu bukan hanya satu persinggahan, beberapa kali kami memasuki bangunan namun tidak terdapat hasilnya. Memang terkadang adapula yang pernah singgah namun tidak memberi tanda, bahkan pula memberi tanda, namun nyatanya banyak barang yang disembunyikan. Dan selebihnya itu rahasia dan jebakan. Jebakan antar suku.

Tiba disalah satu gedung tertinggi. Aku berharap banyak gedung ini menyimpan apa yang aku cari. Aku membutuhkan pakaian dan senjata baru.

"Kencangkan sabuk pinggang kalian, dan berjalan pelan tanpa gangguan. Aku akan melesat lebih dulu." ucap Yomna membelakangi kami.

100 Tahun SetelahnyaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz