Berjalan di lorong rumah ini tidak pernah terasa sangat menyesakkan sebelumnya.  Pembicaraan dengan ayahnya tadi meninggalkan rasa pahit di ujung tenggorokannya dan membuat kepalanya keruh.

Ia berjalan dengan langkah cepat dan berapi-api di sepanjang lorong menyeberangi ruang makan menuju pintu belakang. Berjalan-jalan di taman dan mencari ketenangan di sana mungkin dapat meredakan amarah yang sejak tadi menggerogoti hatinya.

Langkahnya terputus di jalan setapak beberapa meter dari mansion. Berjalan berlawanan arah dengannya adalah sosok yang tidak asing bagi Mark. Ia menundukkan kepala singkat menyapa laki-laki berjas putih yang menenteng tas hitam di tangannya. Mark mungkin mempunyai sikap yang dingin dan kurang ajar tapi ia selalu segan tiap melihat senyum hampir tidak duniawi yang selalu orang ini setel.

“Dokter Qian,” dadanya singkat.

“Tidak perlu seformal itu padaku, Tuan Muda Lee.”

Mark mendengus pelan. “Aku juga dapat mengatakan hal yang sama padamu, Dokter.”

Kun terkekeh pelan mendengar jawaban Mark. Tawanya mengingatkan pemuda itu akan musim semi. Sangat ringan, menyegarkan. Hampir seperti malaikat—sangat tidak duniawi. Qian Kun mungkin orang paling murni dan anggun yang pernah Mark temui. Setiap ia berjalan langkahnya sangat ringan, seperti melayang. Senyum tidak pernah absen dari wajahnya dan kalau Mark harus melukiskan seorang Qian Kun di atas kanvas, ia akan menyematkan Halo di atas kepalanya.

“Memeriksa kakek?”

“Seperti biasa. Beliau sedang bersantai di paviliun sekarang.”

Mark berpikir sejenak sebelum kembali berbicara. “Bagaimana—bagaimana keadaannya?”

Mark ingin menampar dirinya sendiri melihat senyum lebar Kun. Untuk apa juga dia bertanya? Terdengar aneh sekali mengingat sepanjang hidupnya ia selalu bermusuhan dengan pria tua itu.

“Kau bisa tanyakan sendiri, mungkin lebih baik begitu,” jawab Kun sambil menoleh ke arah  belakang.

Suasana canggung mendadak mengelilingi dua laki-laki yang berdiri di tengah jalan setapak. Walau masih tersenyum, Mark tahu Kun sedang ragu-ragu dan segan untuk mengatakan sesuatu. Tidak jauh beda dengan Mark yang juga mempertimbangkan untuk menanyakan—atau lebih tepatnya membuat pengakuan.

“Renjun—”

“Renjun—”

Mereka mengatakannya bersamaan. Terlihat konyol saat mereka bungkam serba salah tidak tahu harus memulai dari mana. Nyatanya hal yang akan mereka ungkapkan melibatkan orang yang sama.

“Renjun ada di apartemenku di Daechi-dong semalam. Aku mempertimbangkan untuk membawanya ke Seocho tapi mengingat keadaannya sepertinya bukan hanya Renjun yang akan diganyang oleh Sicheng.”

Mendengar pengakuan Mark yang cenderung blak-blak an membuat Kun agak tertegun. Namun ia merasa geli kemudian. Tingkah Mark kadang-kadang membuat orang di sekitarnya kehabisan kata-kata.

“Apa dia menyusahkanmu?”

“Hah—maksudku, tidak,” balas Mark cepat. “Dia mabuk berat tapi sudah baik-baik saja saat tadi pagi kutinggal bersama Lucas.”

“Begitu ya... Well, terima kasih sudah menampungnya. Kalau begitu aku permisi.”

Kun sudah sepuluh langkah di belakangnya ketika Mark menyadari sesuatu yang mengganjal pikirannya sejak tadi.

“Kau tidak menyumpahiku atau mengutukku atau bagaimana? Secara teknis aku menculiknya di bawah pengaruh alkohol!” Mark setengah berteriak pada punggung Kun yang membelakanginya.

Di luar dugaannya, Kun hanya berbalik sejenak dan tersenyum. “Kurasa kau sudah terlalu banyak mendengarnya sampai hafal, Mark Lee. Sampai jumpa!”

Mark Lee, huh?





Lucas menatap pemandangan di hadapannya dengan bosan. Sudah setengah jam sejak dua gumpalan daging ini bergulat di lantai kayu yang dilapisi karpet tipis. Makian dan geraman satu dua kali terdengar bergantian dari mulut mereka.

Diliriknya satu manusia lagi yang juga berada di ruangan itu. Duduk menghadap meja kerjanya, Sicheng tengah sibuk menatap layar laptop setelah puas memberi wejangan pada Renjun.

( “Dasar berandal, beraninya kau tidur si luar tanpa seizinku!?”

“Gege, aku bahkan tidak tahu kalau aku tidur di apartemen orang lain. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caraku ke sana—ADUH!!”

Renjun berusaha mati-matian antara menjelaskan keadaannya—sekaligus mencari pembelaan—dan menghindar dari serangan bantal serta rincian leher dari Sicheng.

“Si bodoh Mark itu yang membawaku ke sana, idiot. Kau pikir bagaimana lagi? Itu apartemennya.”

“Mana kutahu, aku kan tidak sadar.”

Renjun menyesali kata-katanya saat rincian di lehernya makin erat. Ia bisa mati kalau begini caranya. Tapi Sicheng mana peduli.

“Uhukk—lepas, kkhh.”

“Itu dia, adikku yang manis tapi bodoh, kenapa juga kau ceroboh minum banyak alkohol kalau tahu toleransinya rendah!? Kau memang sengaja cari masalah ya!?”

Renjun mengeluarkan suara seperti kucing tercekik sembari meminta Sicheng untuk melepaskannya. Yang berakhir dengan Sicheng mengabaikan permintaannya dan terus meneriakan wejangan tepat di samping telinga Renjun yang mulai berdengung.

Setelah hampir membuat Renjun sekarat, barulah Sicheng melepaskan beragamnya pada Renjun. Lucas menatap nanar pada wajah Renjun yang sesikit memerah dan nafasnya tersengal.

“Oh, dan kau punya tamu, by the way.”

Renjun hanya mendelik sengit pada Sicheng—masih dengan tangan mengelus lehernya.

“Halo, Injunie...”

Tubuh Renjun membeku sesaat mendengar bariton rendah yang sangat ia kenal. Yang berhari-hari ini tidak ia dengar secara langsung karena si pemilik suara memilih untuk menghindarinya. Entah karena alasan apa.

Jaemin?”

Laki-laki jangkung itu tersenyum canggung sambil menggaruk tengkuknya yabg tidak gatal.

“Jaemin..” Renjun membeo dengan tampang bego—Lucas nyaris mengejeknya kalau tidak tahu situasi.

“Well, aku hanya ingin melihat keadaanmu. Lama tidak bertemu ya?”

Lama tidak bertemu.

Lama tidak—

Bugh!

Bola mata Lucas nyaris keluar dari soket melihat bayangan Renjun yang melesat cepat menubruk tubuh Jaemin hingga terkapar di lantai.

“Brengsek! Kau pikir salah siapa berhari-hari ini kita tidak bertemu!?”

“Renjun—tunggu dulu.”

Bukannya mendengarkan, Renjun kini sibuk menghujani tubuh Jaemin dengan pukulan-pukulan kecil dari kepalan tangannya.

“Kau pikir aku tidak khawatir? Punya salah apa aku!? Kau—aaaarrgh!”

“Astaga! Tenang dulu—” )

Dan hal itu berlangsung sampai saat ini. Lucas sama sekali tidak berniat melerai dua laki-laki beranjak dewasa yang terlihat konyol bergulat amatir di atas lantai. Ia mencibir.

“Mau sampai kapan kalian main Sumo jadi-jadian seperti itu?”

Cibiran Lucas yang terdengar malas menghentikan sengketa dua makhluk itu. Dengan pakaian dan rambut acak-acakan, mereka perlahan berdiri dan berdehem pelan.

“Sampai sekarang,” jawab Renjun ketus mengundang tawa dibuat-buat dari Lucas.

“Hahaha, lucu sekali. Sudah selesai? Aku bisa pergi tanpa kalian mencoba membunuh satu sama lain kan?”

“Kenapa? Kau mau menemui anak pembawa acara itu? Atau pelayan bar yang kemarin malam kau kunjungi?” kali ini Jaemin yang menanggapi tak kalah ketus.

Lucas ternganga melihat keduanya yang kini menyudutkannya. Bukankah mereka sedang bersitegang tidak ada semenit yang lalu?

“Wah, wah, kalian memang perlu menyelesaikan apapun masalah yabg terjadi—apapun. Dan berhentilah menyudutkanku dan bertingkah seperti wanita sedang PMS begitu!”

PMS!? HUH? CARI MATI YA!?” raung Renjun tidak terima pada Lucas yang sudah lari menuju mobilnya.

Dari sampingnya, Renjun mendengar Jaemin berdehem meminta perhatiannya. Ia melirik sinis dan menyilangkan tangan di hadapannya seraya menghadap Jaemin.

“Apa?” ujarnya tenang namun sengak.

“Aku perlu meluruskan sesuatu.”

Renjun memutar bola matanya malas. Ia ingin mengumpat Jaemin dan membuatnya menderita sedikit lagi kalau saja Sicheng tidak menegur mereka berdua.

“Selesaikan baik-baik. Kalau kalian perlu tempat untuk berkelahi, pilih kebun belakang. Aku tidak mau ada perabot pecah di dalam rumah,” celetuknya tanpa mengalihkan pandangan dari layar persegi yang menyala redup.

Apanya yang selesaikan baik-baik kalau begitu? Renjun mencibir dalam hati.

Hembusan nafas pelan keluar dari mulut Renjun, seiring dengan perangainya yang melunak. Staturnya sudah tidak selalu tadi, tangannya menggantung di sisi-sisinya dan matanya memandang Jaemin sendu.

“Kita bicara di teras belakang.”


.
.
.

A/N: apa kabar kalian semua wkwk adakah yang menunggu cerita ini 😂😂

Anyway ini adalah chap 13, semoga tidak membosankan :"

Kalau ada kritik dan saran boleh banget hehehehe

Anyway enjoy the Chapter, selamat membaca!

See you next chap^^ 안녕! 🌻🌻

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now