Bagian Ke-15 Sang Pendoa -30

Mulai dari awal
                                    

Setiap kali Utara melakukan ibadah di masjid, ada saja warga yang menitipkan botol air mineral untuk didoakan, lalu airnya dibawa pulang untuk anggota keluarga mereka yang sedang sakit atau membutuhkan doa. 

Kadang si sakitnya sekalian dibawa ke masjid untuk didoakan secara langsung oleh sang ustadz. Katanya, selalu manjur. 

Kabar dari mulut ke mulut itu akhirnya menyebar sampai ke luar desa dan orang mulai berbondong-bondong datang ke masjid untuk mencarinya.

Awalnya Nisa tidak terlalu menyadarinya. Dia sendiri jarang bertemu suaminya karena kesibukan mereka berdua. Tapi semakin hari dia merasa suaminya ini makin jarang pulang sehingga lama-lama dia merasa aneh juga. 

Ada kesibukan baru apa yang membuat suaminya itu berlama-lama di masjid? Dan dia mulai mengingat-ingat jam berapa suaminya itu berangkat ke masjid dan jam berapa dia akan kembali lagi ke rumah. Dengan sangat heran dia menemukan bahwa bahkan untuk sarapan dan makan siangnya kadang harus dikirimkan ke masjid karena dia tak sempat pulang.

Abah yang sudah sampai di rumah seusai sholat Dhuha yang ditanya, kenapa Aa' tidak pulang bersamanya untuk sarapan pagi hanya mengangkat bahu. Penjelasannya sungguh mengherankan, "Aa' masih banyak tamu."

"Tamu siapa, Bah? Dari mana?" tanya Anissa dengan heran. 

Abah menarik napas panjang, "Kebanyakan warga desa sekitar sini yang anaknya sakit atau mau ujian atau alasan lain dan minta didoakan oleh si Aa'."

Nisa sampai menaikkan kedua alisnya dengan heran, "Minta didoakan? Memangnya mereka tidak bisa berdoa sendiri?" Abah menghela napas panjang.

"Neng, mungkin ini salahnya Abah. Abah yang sering minta bantuannya untuk mendoakan warga yang sakit saat mengajaknya menjenguk mereka. Lalu orang-orang mulai sadar bahwa jika si Aa' yang mendoakan, doanya pasti dikabulkan oleh Alloh dengan cepat,"

Anissa memandangi ayahnya dengan kening berkerut, "Maksudnya, Abah?"

Abah tersenyum, "Masakah kamu tidak tahu Neng? Tidak sadar selama ini Abah selalu mengajak Aa'mu jika akan menjenguk warga yang sakit atau sedang kesusahan? Doanya selalu manjur, Neng. Sekarang bukan hanya Abah yang tahu, orang sekampung juga jadi tahu. Makanya mereka datang ke dia untuk didoakan,"

"Abah! Orang sakit itu ke dokter, bukan malah ke masjid! Mau lulus ujian itu belajar, bukan malah minta didoakan orang lain. Mereka juga kan bisa berdoa sendiri?!? Kenapa nyuruh si Aa' doain?" Nisa masih tidak mengerti. 

Sekarang Sarah yang sejak tadi ikut mendengarkan juga duduk di samping kakaknya dengan kening berkerut, "Jadi itu sebabnya si Aa' sering berlama-lama di masjid sampai kerjaannya berantakan?" ujarnya kesal.

"Ih, atuh! Kalian ini. Tara itu laki-laki yang sholeh. Mengabdikan hidupnya pada agama. Jelas aja doanya lebih didengar dibanding doa kita semua dijadikan satu. Wajarlah orang minta bantu didoakan. Abah aja sering minta didoakan,"

"Abah!!  Bukan berarti dia bisa mengorbankan urusan pribadinya demi mendoakan orang lain dong, Bah! Ini sudah jam berapa dia belum sarapan. Belum lagi urusan kerjaan! Belum lagi waktu bersama keluarga! Dia kan bukan dokter, ulama juga bukan! Masa sih, segitu sibuknya?!" Kali ini Nisa berdiri dan berjalan mondar-mandir dengan kesal.

Pantas akhir-akhir ini suaminya itu selalu tampak kelelahan. Sebagai istri dia merasa sudah lalai memperhatikan suaminya. Terlalu sibuk dengan urusan pesantren sehingga tidak menyadari kesibukan suaminya sendiri. 

Nisa tahu dia harus ikut campur. Dia tahu persis siapa suaminya. Aa' nya tipe orang yang tak tega menolak permintaan orang lain. Jika tidak diinterupsi, dia akan terus menolong orang lain dengan mengorbankan kesehatannya sendiri.

Tentang Dia Buku Kedua, Novel Sudah ReadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang