Bagian Ke-7 The Workaholic Girl - 23

524 87 12
                                    

Fathia Annisa

Rupanya aku ketiduran saat kedua orang tuaku sedang berbicara dengannya. Waktu aku bangun, adzan Subuh sedang berkumandang, dan dia sudah lama pulang dari rumah kami. Bukan dia yang mengumandangkan adzan pagi ini dan entah kenapa aku jadi merasa ada yang kurang lengkap dengan pagiku hari ini.

Aku langsung mandi dan berwudhu lalu memutuskan untuk sholat Subuh di rumah saja. Ambu dan Aisha sudah menunggu di musholla sementara Abah sudah sejak tadi berangkat ke masjid. Hari ini aku akan menghabiskan hariku di pesantren putri untuk menyusun kurikulum dan rencana kerja setahun bersama staf pengajar yang baru saja lengkap terbentuk jadi aku meminta teh Mirah, asistennya Ambu untuk menyiapkan bekal untuk makan siangku nanti sehingga aku tak perlu pulang atau makan siang di luar nanti.

"Kamu gak makan siang di rumah nanti, Neng?" Tanya Ambu saat menghampiriku di meja sarapan.

"Kayaknya gitu, Ambu. Banyak yang harus kami kerjakan supaya bisa ngejar pesantrennya buka awal tahun depan." Ambu menganggukkan kepalanya.

"Kemarin malam si Aa' titip salam buat kamu, Neng." Ujarnya sambil merapikan gelas-gelas kosong di atas meja makan. Aku mengangkat wajahku dan menjawab, "Oh?"

"Ambu bilang kamu sudah tidur kemarin, pas dia mau pamit." Aku tersipu. Aku terlalu tegang semalam.

"Iya Ambu, ketiduran," Desahku sambil menyibukkan diri dengan botol minum yang akan kubawa.

"Tadi malam Abah jadi bicara sama dia, Ambu?" Tanyaku kemudian, dengan suara pelan. Ambu menghela napas panjang dan menganggukkan kepalanya.

"Iyah, jadi." Aku menunggu lanjutan cerita Ambu sambil memandanginya. Tapi ambu malah sibuk meminta teh Mirah mengangkat gelas-gelas bekas teh dari atas meja makan.

"Jadi apa katanya, Ambu?" Tanyaku lagi, tak berhasil menahan diri. Ambu tersenyum dengan lembut lalu mengusap bahuku.

"Ya dia kaget. Gak nyangka kayaknya kalau Abah bakal ngomongin soal perjodohan sama dia. Dia pikir kali dia dipanggil untuk ngomongin koperasi atau Rumah Yatim kayak biasanya." Lalu Ambu tertawa.

"Jangan-jangan dia sudah punya calon ya, Ambu? Ayas yang sering dia sebut dalam mimpinya itu?" Tanyaku dengan suara pelan. Hatiku entah kenapa diliputi kesedihan akan kemungkinan dia menolak rencana perjodohan ini.

"Ah, kata siapa? Ayas siapa?" Ambu malah balik bertanya dengan heran. Masakah Abah tidak pernah cerita ke Ambu? Soal nama seseorang yang sangat sering diteriakkan dalam mimpi buruknya? Bahkan Sarah pun pernah mendengarnya waktu dia diminta Abah menemaninya di rumah sakit dulu.

"Oh, Ayas yang itu. Dari mana kamu tahu itu pacarnya? Dari mana kita tahu Ayas itu perempuan? Mimpi 'kan hanya bunga tidur, Neng." Lalu Ambu menggelengkan kepalanya, tidak percaya.

"Semalam juga si Abah sudah tanya ke dia, apa dia sudah punya calon, dia geleng kepala kok, Neng." Sambung Ambu sambil berusaha mengingat-ingat hasil curi dengarnya kemarin malam. Aku memandangi Ambu dengan pandangan tak percaya. "Masakah, Ambu?"

Si Ambu malah senyum-senyum menggodaku. "Ciee.. Seneng nih yaaa denger si Aa' belum punya pacar..." Wajahku langsung merona.

"Ambu apaan, sih!" Seruku merajuk. Sambil membanting kaki aku mencium tangannya lalu cepat-cepat keluar.

"Pamit ya Ambu, takut kesiangan," Gerutuku masih cemberut. Ambu terkikik geli melihat kejengkelanku. Heran, suka sekali orang tuaku menggodaku sih.

Selama satu bulan berikutnya jadwalku luar biasa padatnya. Start-up pesantren Fatima Azzahra membutuhkan banyak sekali energi dan waktuku. Aku beruntung team yang membantuku sudah lengkap dan sama bersemangatnya denganku. Kebanyakan juga masih sebaya denganku sehingga aku seperti mendapat teman baru selain juga rekan kerja. Meskipun hampir setiap hari kami pulang malam, tapi karena kami mengerjakannya dengan gembira, rasa lelah dan jenuh hampir tak terasa.

Tentang Dia Buku Kedua, Novel Sudah ReadyWhere stories live. Discover now