prologue

458 35 2
                                    

"Aku sudah bilang kan, kalau artikel seperti ini tidak akan menarik minat baca. Tolong kamu segera perbaiki." Kukembalikan kertas-kertas yang diajukan penulis.

Sebenarnya emosiku sudah sangat memuncak. Sejak kemarin bawahanku tidak bisa mengerjakan tugasnya dengan baik. Padahal deadline sudah menanti didepan mata.

Kerjaan yang menumpuk menjadi gunung ini memaksaku untuk kerja lembur hingga larut malam.

Deringan telepon di meja mengalihkanku dari kertas kertas yang sedang kukerjakan. "Ya, ada apa, Yiren?"

"Nona Jang, mohon maaf, ada yang ingin bicara dengan anda di sambungan telepon." Jawab Yiren, sekeratisku, di telepon yang lokasi meja kerjanya berada tepat didepan ruangan ini.

"Bukankah sudah kubilang jangan menerima telepon kecuali emergency? Aku sedang sibuk, kau tidak mengerti?" Mungkin kalian akan menilaiku galak, namun memang saat ini moodku sedang jelek.

"Ini emergency, nona. Ayah anda yang menelpon." Sahutnya.

Matilah gue.

"Y-yak, baiklah... kau ga bilang daritadi. Cepat sambungkan!"

Tuuut-!

"..."

"H-h-halo? ......ayah?" Aku memanggilnya untuk memastikan bahwa teleponnya sudah tersambung ke salurannya.

"Don't test me, Gyuri." Geraman yang berasal dari saluran seberang membuatku tegang. Ini bukan saatnya main-main, gyuri... Ayah benar-benar marah saat ini. Udah ngomong pake bahasa inggris coba, tuh. Biasanya kalau beliau seperti itu berarti ia sedang dead-serious.

"I-i'm sorry, but i have this deadline that i got to finni-"

"I don't want to hear excuses. You. Come here. Right. Now."

Tut tut tut.

Sambungannya pun terputus.

Sekarang aku ingat kalau malam ini merupakan pesta ulang tahun ayahku. Aku diwajibkan untuk datang ke pestanya karena kali ini banyak tamu-tamu undangan penting yang datang ke acara tersebut.

Tapi bagaimana bisa aku menelantarkan pekerjaanku, ya ampun.

Aku segera memasukkan barang-barang ke tas jinjing dan bergegas keluar ruangan kerjaku.

"Yiren, tolong kau suruh itu editorial assistant untuk menyelesaikan artikel yang kuminta dan kirimkan ke e-mailku malam ini pukul 12 tepat. Tidak ada ngaret-ngaret." Aku memberinya perintah saat melewati mejanya.

"Bukannya baru tadi anda menyuruh gadis itu untuk merivisi artikelnya, nona?" Interupsinya membuatku menoleh sepersekian detik.

"Kau mau komplain?"

"Segera saya beritahukan kepadanya." Yiren langsung mengalihkan pandangannya dariku ke laptopnya, ketakutan.



=#=#=#=#=#=#=#=#=#=#=#=



Sudah banyak mobil terparkir di halaman rumahku menandakan bahwa tamu-tamu undangan telah berkumpul dan pesta telah dimulai.

Aku dengan panik berlari memasuki rumah dan disambut ibuku di pintu masuk "Ayahmu sudah menunggu daritadi. Tidak terlihat baik, kau hati-hati dengan ucapanmu."

Dalam hati ku tertawa, betulkah begitu, bu? Apa keadaanku terlihat lebih baik dari ayah? Peduli setan. Aku melongos saja seolah tidak ada orang yang berbicara padaku.

Rumah ini cukup besar, namun tidak terlalu besar karena kami hanya tinggal bertiga dan juga hanya memperkerjakan satu asisten rumah tangga serta satu koki. Ayah ingin aku melakukan apapun sendiri dan tidak bergantung pada siapapun.

Kulangkahkan kaki ku ke pusat acara dan berdoa semoga Ayah tidak marah besar padaku. Aku tidak ingin mendapat stress lagi.

Atau malah lebih baik jika di pesta ini aku bisa menemukan pria mapan yang sesuai dengan kriteriaku untuk dijadikan kekasih. Itu akan sangat membantu meredakan stress.

Mataku menemukan sosok ayah sedang berbincang dengan teman-temannya. Disebelah kanannya ada Tuan Shinoda, merupakan sekertaris inspektorat jenderal kementrian keuangan dan yang satunya lagi Tuan Nakamoto pengusaha manufaktur tobacco di Osaka.

Ayahku adalah seorang Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Ya, iya terkenal seantero Jepang. Maka dari itu, yang datang ke pesta ulang tahunnya ini bukanlah orang-orang sembarangan. Dan kehadiranku sebagai anak satu-satunya disini sangatlah penting untuk tolak ukur keberhasilannya mendidik putrinya.

Walaupun aku tidak bisa mengikuti jejak yang sama dengannya, namun aku berhasil menjadi seorang editor-in-chief A.K.A. pemimpin redaksi majalah fashion no. 1 di Jepang tentu juga merupakan sebuah kebanggaan untuk Ayah.

Banyak sekali lelaki yang mengejarku, namun aku memasang standar tinggi bagi siapapun yang ingin menyentuhku walau hanya dengan ujung jarinya.

Ya.

Se-ekstrim itu.


Aku ingin laki-laki yang punya segalanya.

Tampan.

Mapan.

Pintar.

Atletis.

Cool.

Tidak banyak omong/komen.

Dan yang paling penting, sudah pasti.... memiliki selera fashion yang bagus.

Dia harus bisa menyetarakan levelnya saat bersanding di sampingku.

Oh, jika aku sudah bilang itu yang terpenting, sebenarnya masih ada yang lebih penting lagi. Ketika lelaki tersebut have passed semua kriteria yang kusebutkan, maka yang terakhir adalah...

.
.
.
.
.
.


Dia harus tidak pernah mencintai siapapun.

.
.
.
.
.
.

Bahkan lebih baik jika dia tidak mencintai diriku.

________________________________________________________

A/N: Kaget yaaa?? Tungguin next chap-nya, ok?

Vote+comment ya guys. Biar author tambah semangat buat update, hehe. Makasih dah mau bacaaa

There is no way she could be match for my standard!Where stories live. Discover now