SATU

25.7K 992 58
                                    


Aku tiba di rumah kakakku sekitar jam 19.30. Mbak Andini dan Mas Imam menyambutku dengan hangat. Sudah lama aku tak bertemu mereka. Sejak pindah ke Jerman, hanya sesekali aku berkomunikasi dengan keluarga kakak perempuanku ini.

"Jadi kamu sekarang benar-benar pindah ke Indonesia?" tanya Mbak Andini.

Aku mengangkat bahu. "Aku cuma mengikuti training sekitar tiga bulan, setelah ini aku akan tinggal di Singapura, ditempatkan disana."

Tampak sinar kekecewaan di mata Kak Andini.

"Tapi aku akan mengunjungi kalian sesering mungkin. Singapur Jakarta kan paling cuma dua jam," aku tersenyum.

"Syukurlah," ujar Mas Imam. "Kakakmu ini sering mengkhawatirkanmu. Kalau bisa bujuklah atasanmu agar kamu bisa ditempatkan disini."

Aku mengangguk tapi tak berani berjanji, hanya untuk menenangkan Mbak Andini. Kakakku itu jadi over protektif sejak kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orangtua kami.

"Kamarmu nanti ada di lantai dua," tunjuk Mbak Andini. "Sekarang kita makan dulu, Mbak sudah menyiapkan makanan kesukaanmu." Mbak Andini beringsut menuju ruang makan. Aku dan Mas Imam mengikutinya.

Di meja makan terhidang tahu tempe bacem, sayur lodeh, ikan asin, sambal, babat goreng, dan sate usus. Perutku langsung berbunyi melihat makanan-makanan yang tak pernah kumakan sejak tinggal di Jerman.

"Nicky mana, Ma? Udah pulang, kan?" tanya Mas Imam menyebut nama Nicky, anak semata wayangnya.

"NIIICK... NICKYYY... Makan dulu nak!" teriak Mbak Andini.

"IYA BENTAAAR!" jawaban dari atas yang kuyakin suara Nicky. Sepertinya dia sudah besar sekarang.

Mbak Andini mulai menyendok nasi serta lauk untukku dan Mas Imam. Aku menyantap makan malamku dengan lahap, hingga Nicky datang.

Aku terpaku.

Nicky sudah besar dan... tampan!

Ya Tuhan, jantungku mulai berlari kencang.

"Nicky, salim dulu sama Om Dika," perintah Mbak Andini.

"Ini... ini Nicky?" aku meyakinkan padanganku.

Nicky mencium tanganku dan tersenyum. "Om Dika lupa lagi sama Nicky?" ujarnya tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi.

"Dulu, kamu sekecil ini," kugerakkan tanganku sejajar dengan tangan kursi yang kududuki. "Sekarang udah setinggi ini?" kutaksir tingginya sekitar 185 cm.

"Ya iyalah Om, masa Nicky kecil terus," Nicky terkekeh lantas duduk disamping mamanya.

Aku masih takjub dengan perubahan Nicky. Sepuluh tahun yang lalu, dia adalah bocah kecil bertubuh gemuk dan berpipi tembam. Dia adalah teman mainku, bonekaku yang lucu.

"Kok bengong, Om?" ucap Nicky membuyarkan lamunanku.

"Ah iya," aku jadi salah tingkah. "Segera menyendok makanan di piringku. Makan dengan lahap."

*

Selesai makan, aku diantar Nicky ke kamar. Kamarku tepat di sebelah kamarnya. Dia membantuku mengangkat koper dan membukakan pintu.

"Di Jerman gimana Om? Seru nggak?" tanya Nicky, ia duduk di samping tempat tidur. Bocah itu mengenakan celana kolor yang sangat pendek hingga memperlihatkan kedua pahanya yang putih.

Aku mengangguk. "Nanti kalau udah lulus SMA, Om ajak kamu kuliah di Jerman. Seru banget!"

"Bener, Om?" kedua matanya yang besar itu tampak berbinar tapi hanya sesaat. "Tapi mama nggak bakal setuju. Jangankan di Jerman, ke warung sebelah aja mesti dianter sama Mang Udin," sungut Nicky menyebut nama supir keluarganya.

Aku terkekeh. "Tapi kalau ke Jerman kan, ada Om yang nganter," cetusku.

Tepat pada saat itu, Nicky menggeser duduknya, membuat kedua celananya tertarik semakin atas. Memperlihatkan tonjolan diantara kedua pahanya.

Glek!

Aku menelan ludah. Lantas kurasasakan penisku mulai bergerak, membesar. Segera kualihkan pandanganku. Beranjak menuju koper dan membongkar isinya.

Ya Tuhan...

"Mau Nicky bantuin, Om?"

"Nggak, nggak usah," tolakku. "Mending kamu istirahat, kan besok sekolah."

"Tapi Nicky masih kangen sama Om. Pengen tahu banyak soal Jerman."

"Besok Om ceritain semuanya, sekarang kamu tidur dulu ya."

Nicky tampak kecewa, namun akhirnya mengangguk. Bocah itu beranjak keluar dari kamar.

Aku menghela napas. Susah payah berdiri lantas duduk di pinggir tempat tidur. Kuraba dadaku. Jantungku berdebar kencang.

"Ya Tuhan, kenapa harus Nicky?" ratapku. Nicky adalah keponakan kesayanganku, seharusnya aku bisa mengendalikan diri.

Kuatur napasku demi meredakan detak jantung yang semakin memburu.

Namun sayangnya, penisku tak bisa kukontrol. Ia malah semakin tegak dan keras membuat kepalaku pening.

Aku tak bisa lagi menahannya. Akhirnya kurebahkan tubuhku, kuturunkan celanaku, kuterobos celana dalamku, kugenggam erat kontolku. Kugerakkan tanganku. Ahhh... rasanya nikmat. Bayangan Nicky berkelabat di kepalaku, membuat napsuku membara. Kukocok lebih kencang.

"Ahh.. Nicky..." desisku. "Hmmff..."

Aku semakin menikmati sensasi yang berasal dari titik sensitif penisku. Tubuhku mengejang penuh kenikmatan.

"Ahhh...Nicky..."

Tinggal sebentar lagi...sebentar lagi aku tiba di puncak.

Sebentar lagi...

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. "Om, lihat handphoneku nggak?"

HAH? NICKY?!

***BERSAMBUNG***

My Cute NephewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang