Chapter 7.5 : Teman atau Musuh?

Začít od začátku
                                    

"Tidak," ucapnya kecil membuatku geli. Bilang tidak, tetapi tetap dilakukan. Apalagi ketika ia langsung berjalan menjauh meninggalkan kami.

Sebelum aku ikut menyusul, mataku mengarah pada Zeon yang memegang perutnya sendiri-sembari mencoba untuk berdiri. Rasa kasihan menyelimuti dadaku, namun aku segera menghempaskan segala pemikiran itu. Aku bukan orang baik, aku tahu. Maka dari itu, kali ini saja aku mengabaikan bagaimana mata biru itu menatapku sayu seakan menyesal telah membuat kami seperti ini.

Dalam hati, sekali lagi. Aku berterimakasih kepada Aaric.

Air mataku menetes bertepatan ketika aku memalingkan wajah darinya. Aku sungguh tidak sanggup melihatnya seperti itu, sungguh. Melihat bagaimana hancurnya wajah itu dengan darah di sudut bibirnya. Apalagi ia tidak lagi berusaha bangun, namun sengaja terduduk di sana dan menatap kepergian kami dengan pandangan kosong.

Dasar rambut silver bodoh!

🐞 🐞 🐞

Kami berhenti tepat di atas bukit untuk beristirahat sebentar sebelum meminta bantuan Aaric untuk turun melewati jurang yang bawahnya langsung pepohonan hutan. Tentu saja sulit melakukannya manual karena kondisi kelompok kami yang seperti ini.

Menyedihkan, bisa dibilang.

Lunara terduduk di ujung bukit sembari memeluk lututnya sendiri dan menatap kosong matahari yang ingin menyembunyikan sinarnya. Aku sudah mencoba berbicara kepadanya sedari tadi, namun tidak ada satu pun jawaban yang keluar dari bibirnya. Nathan juga tidak mau mengatakan apapun sejak kejadian tadi. Mungkin karena cekikan dari Zeon yang membuatnya kesulitan berbicara. Ia lebih memilih menatap matahari terbenam dengan pandangan yang menerawang pula.

Aku menghela napasku pasrah. Kenapa bisa menjadi seperti ini? Kupikir ujian Hutan Aukwood hanyalah ujian bertahan hidup dengan segala rintangan di dalamnya. Ternyata bisa jadi separah ini, cih. Makanya Zeon bersikeras membantuku beberapa hari yang lalu.

"Bisa bicara?" Sebuah rekor baru mulai tertulis, bung! Seorang Aaric mengajakku berbicara? Yang benar saja!

Mataku teralih pada Aaric yang duduk di sampingku tiba-tiba. Padahal seingatku tadi, dia ada di sebelah Nathan entah sedang melakukan apa. Mau melakukan salto, roll depan, roll belakang, bahkan meroda pun aku tidak peduli.

"Kupikir kau seperti yang lainnya. Menatap matahari dengan pandangan kosong," celetukku dengan senyuman miris. Lagipula aku bingung, mengapa mereka memperhatikan matahari seolah-olah jika matahari itu pergi, mereka bisa kehilangan nyawa?

Matahari memang pusat dunia kami, tetapi bukan berarti kami menyerahkan segalanya untuk matahari. Dasar, aku memang tidak tahu berterima kasih memang.

Tanpa kuduga, Aaric terkekeh. Suara tawanya sedikit aneh di pendengaranku, namun cukup membuatku tercengang. Benarkah ia sekarang tertawa tulus? Kupikir ia hanya bisa tertawa meremehkan.

"Aku tidak ingin menjadi seperti mereka," ucap Aaric menendang dagunya sendiri membuatku menaikkan satu alis.

"Maksudmu?"

Manik mata kami bersitubruk. "Aku tidak suka matahari."

Aku menyernyitkan dahiku. Memang kalau ingin menatap matahari, kita harus suka terlebih dahulu? Mungkin pemikiran seperti itu hanya ada pada Aaric saja.

El Academy [Proses Revisi]Kde žijí příběhy. Začni objevovat