04| PENGUNTIT

831 138 9
                                    

Jinhwan berhenti di sebuah rumah minimalis dengan pagar kayu berwarna cokelat tua. Di sampingnya, Hanbin juga berhenti dan memperhatikan rumah itu dengan seksama.

"Ini rumahku. Terima kasih telah mengantarkanku pulang."

Jinhwan membungkuk formal, berdiri di tempatnya dan menunggu Hanbin pergi. Namun, laki-laki itu masih berdiri disana dengan satu tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.

Apa memangnya? Mau menginap?

"Bukankah seharusnya kau mengajakku mampir?" ujar Hanbin.

Sebelum sempat Jinhwan cegah, pemuda itu telah menjulurkan telunjuknya duluan untuk menekan bel. Jinhwan membelalakkan mata, secara relfeks memukul lengan itu kesal.

Tak lama, seorang wanita cantik keluar dari rumah. Masih memakai celemek dengan rambut dicepol, wanita itu menghampiri Jinhwan dan Hanbin dengan wajah berseri cerah.

"Jinanie sudah pulang?" sapanya, mengecup dahi Jinhwan sebelum menyadari bahwa anaknya tidak pulang sendirian. Ia memperhatikan Hanbin lekat-lekat. "Siapa dia? Temanmu?"

"Iya, dia..."

"Annyeonghaseyo, eomonim! Saya Kim Hanbin, teman sebangkunya Jinhwan yang telah mengantarkan Jinhwan pulang ke rumah dengan selamat." serobot Hanbin, membungkuk sopan dengan senyuman yang membuat Jinhwan ingin sekali menonjok wajahnya.

"Aigoo... beruntung sekali Jinanie mendapat teman sebangku sebaik Hanbin." puji Hyorin, mengusap-ngusap kepala anaknya dengan sayang, sementara Jinhwan meringis.

Hanbin hanya terkekeh, berusaha menanggapi dengan cara paling keren meski jiwanya sudah melambung tinggi hanya dengan dikatai baik.

"Sebagai ucapan terima kasih, bagaimana kalau Nak Hanbin ikut makan malam bersama kami? Ibu baru saja selesai memasak."

Jinhwan buru-buru merangkul Hanbin, menutupi mulut laki-laki itu dengan telapak tangan sebelum ia sempat mengiyakan ajakan ibunya. "Hanbin akan makan di rumahnya, Bu. Lagipula, hari sudah mulai gelap dan sekolah benar-benar melelahkan tadi. Jadi, Hanbin harus segera pulang." Ia memelototi Hanbin yang sedang meronta kesusahan bernapas dalam rangkulan mautnya. "Benar, kan?"

Hanbin kemudian mendorong telapak tangan itu dari mulutnya secara paksa.

"Benar." katanya dengan napas yang belum teratur, sekilas melirik ibunya Jinhwan yang terlihat agak kecewa. "Tapi, besok aku akan kesini lagi untuk menjemputmu, tepat pukul tujuh pagi. Boleh kan, eomonim?"

Hyorin jelas tidak keberatan dengan tawaran tersebut. Kenyataan bahwa anaknya telah memiliki teman yang dapat menjaganya jelas membuat ibu muda itu sedikit lebih tenang. Ia pun mengangguk tanpa ragu.

"Tentu saja boleh. Jadi, Ibu tidak perlu khawatir lagi, karena sudah ada Hanbin yang akan menemani Jinhwan berangkat dan pulang sekolah."

Hanbin menyengir kuda, sementara bibir Jinhwan mengerucut sebal. Apa ini berarti dirinya dan laki-laki idiot itu akan menempel terus lebih lama? Demi Tuhan, seharusnya tadi ia biarkan saja pemuda itu mati kehabisan napas dalam rangkulannya.

"Kalau begitu saya permisi dulu, eomonim." Hanbin membungkuk lalu berlari kecil sambil melambai-lambaikan tangannya kepada Jinhwan. "Annyeong, Jinanie!"

Hyorin terkekeh geli. Melihat Jinhwan yang justru membalas lambaian tersebut dengan sebuah kepalan tangan ke udara, membuat Hyorin yakin bahwa hubungan keduanya sudah cukup akrab meski baru satu hari berkenalan. Hyorin menarik senyum. Semoga saja memberikan kepercayaan kepada Hanbin adalah keputusan yang tepat. Lagipula, Hanbin terlihat seperti anak laki-laki yang baik.

LOST.Where stories live. Discover now