“Kepalamu masih sakit? Kau butuh ke kamar mandi?” suara itu muncul lagi. Renjun berharap itu hanya halusinasinya saja.

Sayangnya hal itu terbukti salah saat siluet seseorang menaungi wajahnya—ia hampir berteriak kalau tidak ingat keadaan kepala dan perutnya yang menyedihkan. Alih-alih ia mencoba untuk berbicara.

“Dimana..” ucap Renjun lirih, ia berjengit mendengar suaranya yang serak dan pecah seperti sehabis menelan pasir. “Bagaimana...”

Dimana aku? Bagaimana aku sampai di tempat ini?

Apa yang harus kujelaskan pada Kun-ge nanti!?

Renjun menghembuskan nafas lelah. Masih dengan mata menatap ke atas—dia tidak tahu apa menariknya langit-langit itu—ia bergumam miris.

“Seberapa buruk aku mengacau Mark hyung?”

Setidaknya Mark cukup baik untuk tertawa—walaupun kedengarannya mengejek itu cukup membuat Renjun sedikit lega daripada kesunyian total. Tanpa aba-aba Mark mendudukan diri di samping Renjun, pergerakannya membuat kasur sebelah kiri menurun.

Renjun kembali dibuat terkejut saat punggungnya perlahan terangkat sedikit dari permukaan kasur. Lengan-lengan kokoh mengait di pundak dan belakang lututnya membawa tubuhnya menyandar pada headboard yang dilapisi bantal.

“Tidak cukup untuk menyeretmu ke penjara. Minum ini.”

Segelas air dan sebuah kapsul obat disodorkan tepat di muka Renjun. Pemuda itu mengernyit tidak suka.

“Pil itu terlihat mencurigakan,” tolaknya lemah sambil memalingkan wajahnya.

“Semua obat terlihat mencurigakan bagimu sejak dulu. Jangan rewel dan minum saja,” timpal Mark tidak gentar. Tangannya masih setia menggantung di udara.

“Tidak,” cetus Renjun keras kepala.

“Kau mau aku membantumu meminumnya?” Mark mengangkat satu alisnya menantang. Beberapa skenario hasil comotan adegan anime dan manga murahan yang dulu sering Renjun baca berkelakar cepat di kepala. Cepat-cepat ia menyambar gelas dan obat yang ada di genggaman Mark dan meminumnya brutal.

“Uhuk!” Ia tersedak.

“Santai saja. Kau segitu tidak inginnya menerima bantuanku ya?”

Renjun mengelap air yang menetes di ujung bibirnya kasar. Membuatnya meringis begitu merasa perih—ia lupa bibirnya masih terluka. Seketika ingatan saat Jeno menciumnya di klub berputar dengan jelas.

Tubuhnya bergidik samar tanpa ia sadari, namun jelas tertangkap oleh mata tajam Mark yang sedari tadi mengawasi dengan intens. Renjun mungkin berhalusinasi tapi sekilas ia dapat melihat pupil Mark yang seakan mengelap seiring rautnya yang berubah dingin seperti biasa. Renjun mulai bergerak tidak nyaman di tempatnya. Manik amber Mark menyorotnya tajam seakan menelanjangi seperti mesin x-ray.

“Terima kasih,” gumam Renjun pelan. Matanya terpaku pada gelas silinder yang bersarang di antara kedua genggamannya.

Tidak ada jawaban.

“Pukul berapa?”

“Lima pagi. Kukira kau akan tertidur sampai tengah hari. Kenapa? Kau mau kabur?”

Renjun mengangkat kepalanya, mati-matian berusaha untuk tidak berjengit menatap mata Mark yang seolah-olah menghakiminya.

“Aku harus pulang. Kun-ge akan membunuhku,” Renjun mencoba beralasan.

“Kau gila kalau kau pikir dapat menemukan kendaraan di waktu sepagi ini—di tempat ini. Lagipula, memangnya kau bisa berjalan dengan benar?”

Rasanya Renjuj ingin menenggelamkan diri di sungai Amazon mendengar Mark membanting alasannya yang cetek dan tidak bermutu begitu saja. Walaupun ia tidak sepenuhnya salah—syaraf motorik Renjun memang belum bisa diandalkan untuk saat ini.

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now