Aku hanya diam dan masih terkejut, dan malah memundurkan satu langkah dari samping bed Bila.
"Bisa?" Tanya Azlan memastikan.
"Eh." Kataku masih bengong, memperhatikan komunikasi antara Bila dan dokter Azlan, yang menggunakan bahasa isyarat.
"Bisa telpon Rayan."
"Oh iya dok bentar." Kataku, buru-buru aku merogoh saku mengambil handphone dan menghubungi orang rumah.
"Sudah dok." Kataku setelah mengakhiri telpon.
Bila menatapku dan tersenyum, manis sekali.
Satu tangan Bila yang terbebas dari infus bergerak keatas kepala memegang puncak kepalanya.
Lagi-lagi Bila menggunakan jari-jarinya yang masih lemah berbicara dengan dokter Azlan. Aku sendiri benar-benar nggak tahu apa maksudnya.
Aku iseng mencoba nebak, "Bila pusing?" Tanyaku.
Bila hanya menggeleng, dokter Azlan yang tahu artinya kemudian pergi menuju nurse station dan membawa selembar kain berwarna putih. Kemudian memakaikannya diatas kepala layaknya hijab untuk menutupi rambut Bila.
Aku benar-benar kehabisan kata tentang semua ini. Aku masih terdiam, dan nggak tahu harus apa.
"Bila bisa baca gerak bibir. Jadi kalau mau ngomong, ngomong aja tapi pelan-pelan biar Bila tahu apa yang kamu bicarain." Terang dokter Azlan yang melihatku masih diam saja.
"Kenalkan aku Mehru. Aku teman Rayan." Kataku menuruti dokter Azlan berbicara dengan pelan dan jelas agar Bila bisa baca gerak bibirku.
Bila kembali tersenyum. Dan aku hanya bisa tersenyum kecut di depannya.
Sepuluh menit kemudian Rayan datang tergopoh-gopoh bareng bunda dan abah. Rayan langsung memeluk dan mencium adik bungsunya.
Rasa haru benar-benar terasa saat ini. Seperti biasa bunda sudah berurai airmata. Aku sendiri masih terdiam. Aku baru tahu kenyataan tentang sosok Bila. Dan memilih untuk pergi keluar menghirup udara segar. Memberi waktu buat Rayan dengan Bila.
***
Aku memilih sendiri sekarang, duduk di bangku taman di bawah pohon besar. Tempat yang nyaman buatku.
"Boleh duduk di sini?" Izin dokter Azlan, menunjuk bangku sebelahku yang kosong.
Aku hanya mengangguk.
"Kenapa kamu jadi diem?" Tanya dokter Azlan setelah duduk di ujung bangku yang aku duduki. Mungkin kalau dilihat-lihat aku dan Azlan saling duduk di ujung bangku taman, kayak orang musuhan.
Aku hanya tersenyum dan kembali larut dalam pikiranku. Sejak keluar dari ruang ICU dan makan bareng di kantin aku memang lebih banyak diam. Nggak tahu kenapa aku merasa di tegur sama Allah.
"Bila salah satu pasien spesialku. Dia yang selalu ngajarin aku buat bersyukur." Cerita Azlan.
Aku hanya menunduk mendengarkannya.
"Kamu terkejut ya ternyata Bila salah satu anak berkebutuhan khusus?" Tanya Azlan tanpa memandangku.
Aku hanya tersenyum dan kembali menunduk. Sebenarnya ini hanya salah satu kenyataan yang aku baru tahu tentang sosok Bila. Dia salah satu penyandang disabilitas. Bila Tunarungu.
"Atau kamu lebih terkejut, saat Bila sadar kalau dia nggak pakai hijab. Dan memintaku mencari kain untuk menutupi rambutnya." Tebak Azlan terus terang.
Aku makin menunduk lebih dalam.
Perkataan Azlan benar. Ya seratus persen bukan melainkan seribu persen benar. Aku lebih terkejut saat tahu Bila mengetahui kalau auratnya terbuka selama dia koma. Itu benar-benar cambuk buatku.
Bila masih kecil, umurnya juga baru sembilan tahun. Bisa di bilang Bila belum Baligh. Tapi dia tahu kalau rambut yang orang bilang mahkotanya wanita harus ditutupi dan hanya mahramnya yang boleh lihat.
Itu berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat denganku. Aku masih mengumbar auratku di depan laki-laki yang bukan mahramku. Padahal bunda, abah, umi, abi dan abang-abangku terus-terusan mengingatkanku untuk menutup aurat. Tapi apa yang terjadi padaku, aku benci dan marah ketika mereka mengingatkanku. Aku malah lebih suka membiarkan rambutku terlihat oleh orang-orang dan penampilanku yang mirip dengan laki-laki. Lagi-lagi karena sakit hati dan sulitnya aku memaafkan sosok ayah dalam hidupku.
"Aku hanya seorang dokter di sini, yang mengobati pasienku. Tapi bagaimanapun aku mengobati pasien jika orang-orang yang ada di dekat pasienku malah menghindari si pasien karena keterbatasannya. Itu yang malah buat si pasien lebih lama untuk sembuh. Para penyandang disabilitas, mereka tidak suka di kasihani. Mereka lebih menginginkan kalau mereka di hargai dan di anggap normal bukan malah di jauhi."
"Aku bukan orang seperti itu!" Tolakku akan pendapat Azlan. Menatapnya tajam.
"Terus. Apa yang membuatmu diam?" Azlan menjeda perkataannya dan menatapku sekilas kemudian kembali menatap ke depan.
"Atau kamu malu kalau bila menutup auratnya di balik dia yang kekurangan?" Pertanyaan Azlan, menohok jantungku.
Aku membuang muka.
"Ternyata benar. Seorang Asheeqa yang ceplas-ceplos dan berkata tanpa berpikir sebelumnya ternyata masih punya sisi malu."
"Jangan panggil aku Asheeqa! Kamu nggak berhak!" Kataku mengacungkan jari telunjuk di depan Azlan, marah. Sorot mataku berubah benci pada dokter singa.
Azlan tersenyum tapi malah terkesan mengejek bagiku.
"Menutup aurat itu pilihan buat seorang wanita. Apakah dia ingin menaati perintah agamanya atau dia ingin melanggarnya. Yang menggiring dia sendiri menuju ke neraka.Tapi di balik sebuah keterbatasan yang Allah berikan kepada hamba-Nya, bukan menjadi halangan untuk seorang hamba untuk tidak taat perintah Allah. Melainkan lewat keterbatasanyalah Allah ingin menguji hamba-Nya apakah dia bersyukur terhadap nikmat Allah atau dia menjadi seorang yang kufur nikmat." Ucap dokter Azlan panjang lebar.
Aku hanya diam seribu bahasa. Tidak seperti biasanya aku yang selalu bisa menjawab nasehat dari abang. Kini lidahku benar-benar kelu.
"Maaf kalau aku terlalu berlebihan dan sok tahu. Tapi aku ingin memegang janjimu untuk menjadi seorang kakak yang baik untuk mereka bertiga. Bersikap lah seperti biasa saja di hadapan Bila. Jangan lihat kekurangannya tapi lihatlah kelebihannya. Permisi Assalamu'alaikum," ujar dokter Azlan pamit dan berdiri meninggalkanku sendiri.
"Wa'alaikumsalam" Jawabku lirih dan terbata.
*Disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal.
*Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baiksebagian atau seluruhnya yag diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengaranya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupannya secara kompleks.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asheeqa (SUDAH TERBIT)
SpiritualPesan via shopee aepublishing Aku tidak pernah tahu, Aku pun tak ingin mengetahuinya. Yang aku tahu, aku mengenal sosoknya pada diri orang lain. Tanpa pernah aku merasakan kehadirannya di sampingku. Dan ini,,,, membuatku sulit berdamai dengan kehi...
Asheeqa 12
Mulai dari awal
