KEGELAPAN

7.6K 693 11
                                    

"adik adik semua, perkenalkan nama kakak andara. Oh ya, Hari ini kakak akan memberikan penyuluhan tentang pencegahan cacingan dengan cara menjaga kebersihan, adik adik nggak mau cacingankan?

Serempak murid murid sekolah itu menjawab,"tidak kak"

"bagus, nah berhubung ini adalah musim kemarau, kakak mau bertanya dulu deh, kalian pasti sering kepanasan dan jadi rajin mandi kan, kalian mandinya pakai sabun nggak hari ini?"

Aku berbicara di depan kelas, setelah seorang guru memberikan aba aba jika muridnya siap mendengarkan pengarahan. Kasihan sekali sekolah ini, bobrok dan kumuh, bahkan atapnya banyak sekali yang berlubang. Kayaknya sering diterpa angin dari dalam huta. Anak anak nya kesekolah bahkan tak beralas kaki, yang kupikirkan bagaimana bisa terhindar dari cacingan apabila bagian tubuh mereka langsung tereskpos dengna bibit penyakit yang akan di berantas? Seharusnya aku datang dengan sepatu untuk dibagikan, bukan hanya dengan tangan kosong seperti ini.

Semuanya menggeleng, bahkan satupun tidak mengiyakan. Memang beginilah kondisi lapangan yang sebenarnya, dimana pemerataan pendidikan dan kesehatan penuh kesenjangan. Melihat mereka saja hatiku sedih sekali.

"kalian nggak ada sabun?"

"kita mandi pakai buah lerak kak, sabun belum sampai ke desa kita"

Salah satu dari bocah laki laki yang duduknya disamping kanan menjawab. Aku mengangguk sebentar, setauku buah itu memang terkenal pengganti sabun untuk para petualang di hutan.

"iya mbak andara, anak anak disini orang tua terutama ayah mereka jarang sekali pulang, ada yang suka meditasi, atau ada juga keluar desa buat mengabdi"

Aku mengangguk setelah wali kelas memberikan alasan, kebudayaan nenek moyang sepertinya di desa ini masih terlalu kental bahkan bau bau wangi wangian persembahyangan juga masih bisa tercium sampai keruangan.

"ya sudah, jadi kakak akan jelaskan beberapa gambar ke kalian semua tentang menjaga kebersihan agar kita terhindar dari cacingan, gambar pertama itu adalah kebersihan tempat tinggal contohnya mengenai kebersihan kakus, gambar kedua itu tentang kebersihan diri, yakni kalian dapatkan dari mandi dan beralas kaki dan yang ketiga yaitu kebersihan lingkungan sekitar ini bia kalian daptkan dengan turut serta menjaga kebersihan sepert buang sampah pada tempatnya terlebih sampah basah kayak sampah dari makanan"

Aku jelaskan panjang lebar yang telah ku gambar dialat praga. Anak anak disini benar bnar keliatan bersemangat dengan pengarahan yang ku berikan. Beberapa dari mereka bahkan bertanya tanpa malu malu, mengacungkan tangan tinggi tinggi ,semangat mereka memang empat lima. Dan aku juga tak segan segan memberikan pertanyaan walaupun aku tak memberikan satupun hadiah sebagai motivasi tambahan. Tapi dengan tepuk tangan yang mengudara sudah membuat murid murid yang bertanya sudah merasa teramat bahagia.

"kakak aku belum kebagian, ayo ditanya lagi"

Seorang murid dengan rambut dikucir kuda keliatan kesal karena dia juga ingin menjawab pertanyaan agar diberi tepuk tangan.

"sudah cukup sekian ya anak anak, karena keterbatasan waktu karena sudah memasuki jam pulang, kita semua mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya karena kak andara sudah menyempatkan datang kesini memberi penyuluhan, tepuk tangan untuk kak andara" wali kelas tadi memperhatikan cahaya dari luar sudah mulai redup. Kayaknya aku tadi terlalu menikmati sehingga lupa waktu.

"terima kasih kak andara, sampai ketemu lagi lain kali" mereka membuat ruangan ini bergema dengan suara mereka yang serempak. Lalu tepukan kembali mengudara.

Ini adalah sebuah kebahagian yang membuat diriku berarti. Walaupun sederhana tetapi ini pengalaman yang tak pernah aku lupakan, karena ini adalah untuk kali pertama aku ke desa tertinggal seperti ini.

1. ..2...3

Senyap...

Ku ingat satu hal, desa tertinggal? Kapan aku pergi? Bukannya tadi aku masih di ranjang menuliskan bahan praga untuk besok pagi dalam acara BEM BERBAGI? Aku sadarkan diri, saat aku bangun, spidol masih ditangan kiri, tintanya meleber membuat pulau diselimutku yang bewarna biru langit. Ku kucek mata sekali lagi, rasa rasanya itu nyata sekali.

---------------

"Kau sudah bangun, tadi ibu perhatikan kau tidur, minum dulu teh hangat ini" ibu meletakan secangkir teh panas di atas nakas. Aku perhatikan raut muka ibu, sepertinya dia tak marah lagi setelah tadi aku pecahkan gelas di depannya karena saking kesalnya aku dengan ketidak pengertiannya.

"apa yang bisa ibu bantu? Mewarnai ini kah?"

Aku tau ibu memang begitu orangnya, selalu turun tangan dengan apa saja kesibukanku. Diusianya sudah hampir berkepala enam ibu masih membantuku menyelesaikan tugas tugas kuliah; maklum dia juga dulu seorang dokter, dan waktu aku sma dia juga sering sekali terlibat membantu jika aku ada tugas kerajinan tangan. Kali ini dia sepertinya tau apa yang akan dia lakukan untukku.

"nggak usah bu, aku bisa sendiri"

"jangan gitu, ibu sebelah sini dan kau disebelah sana "ibu menunjuk nunjuk bagiaanya dan bagian ku, dan kebetulan alat praga gambar ini memang terbagi tiap sisinya ada dua bagian kayak komik manga, ibu mulai mengambil spidol warna warni, dia goreskan spidol itu dengan rapi ke karton bergambar tadi.

"kau tau nak, dulu waktu ibu seusiamu ibu suka sekali begini"

"aku tau bu, saking sukanya ibu menggambar ibu sampai bikin mural di ruang tamu kakek sampai ibu dijemur seharian nggak boleh masuk rumah"

Ibu bernostalgia, aku tau dia bahagia, mengingat itu saja ada senyum tipis di bibirnya. Temaram lampu kamar menyamarkan kerutannya, dia masih saja fokus dengan mewarnai, lalu sesekali mengomentari hasil mewarnaiku.

"disini kurang rapi, seharusnya kau tidak mewarnai melewati garis"

"aku bukan seorang perfeksionis, ibu"

Ibu ku menyerah, kayaknya dia paham bagaimana membuatku tidak kembali marah. Lalu meletakan jemarinya ke pundakku, memijatnya sedikit.

"ibu tau kamu capek nak, ingin ibu ambilin koyo?"

Aku mengangguk, ibu segera bangkit, merapikan piyamanya lalu menarik knop pntu dengan segera.

Ku ambil secangkir teh bikinan ibu di nakas. Mataku sepertinya kurang fokus, sehingga salah memprediksi letak cangkir tadi, maklum minus tujuh. Ku coba sekali lagi setelah kukenakan kacamata dengan bingkai kuningan, tembus?

Apa apaan ini, ini nggak mungkin, aku yakin tadi ibu meletakannya disini

-----

Aku terbangun sekali lagi.

Jam dinding berdentang dua kali.

Kertas karton itu sebagian besar benar benar belum diwarnai . Spidol itu masih di tangan kiri dan Tintanya meleber mengotori selimut biru langit yang kutiduri. Dan ku arahkan pandangan ke jendela, seharusnya ada nenek nenek bongkok yang menawararkan sirih dan pinang jam segini. Nenek dengan rambut putih terurai sampai kepunggungnya, dan mengunyah sirih sampai membuat merah seluruh bibirnya. Kemana dia?

Sudah 15 menit aku menunggunya, hanya untuk meyakinkan jika aku bukanlah di alam mimpi, akhirnya ku cubiti pipiku sendiri, aw, sakit.

Aku tidak mimpi,

Aku rasa kesadaranku sudah pulih seutuhnya. Ku tarik ganggang pintu perlahan, "ibu ayah apakah kalian sudah tidur?" begitu ucapku dengan suara kering serak, mungkin segelas air di dapur cukup menetralkan gangguan pada kerongkongan.

Pintu itu terbuka, ku perhatikan semua di depanku kosong. Gelap gulita, tak ada tv, sofa maupun lemari, kemana ruang keluarga ini? Ini seperti ujung dari hutan mati, seperti ada jurang yang gelap sekali, seperti ada lubang hitam tanpa sedikitpun cahaya, dan ruangan ini pasti melayang, kalian imajinasikan saja ini seperti film zathura mengisahkan kedua kakak beradik terjebak di galaksi karena permainan papan aneh yang mengundang kesialan satu keluarga.

Tapi ini sepertinya nyata,  lalu ku pukul diriku berulang kali. Tak lama tubuhku seperti ditarik gravitasi menuju pusaran setelah dorongan seseorang dibelakang dekat ku berdiri. Aku tidak mau mati, tapi tubuhku terisap oleh lubang itu. Ayah ibu, tolong aku


Kemana Andara pergi?

jangan lupa vomment yaaa

DUPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang